Mendiskusikan peranan dan relevansi Hukum Taurat bagi orang-orang Kristen merupakan sebuah upaya yang tidak mudah. Topik ini begitu luas dan rumit. Beragam penafsiran sudah diajukan sebagai solusi.
Kerumitan ini tampaknya tidak hanya terjadi sekarang. Selama pelayanan Tuhan Yesus pun persoalan ini sudah muncul. Ungkapan “jangan kamu menyangka” di awal ayat 17 menyiratkan sebuah koreksi terhadap kesalahpahaman atau, paling tidak, sebuah antisipasi terhadap kesalahpahaman. Ajaran dan tindakan Yesus tentang Hukum Taurat telah membingungkan sebagian orang. Mereka menyangka bahwa Dia meniadakan Taurat.
Kesulitan di atas bukan hanya menjadi pergumulan para penganut Yudaisme, melainkan para pengikut kekristenan mula-mula juga. Berkali-kali Yesus Kristus bersilang pendapat dengan para ahli Taurat dan golongan Farisi, misalnya tentang pembasuhan tangan (15:1-9) atau penghormatan terhadap Hari Sabat (12:1-8). Tidak hanya berbeda dengan kelompok ahli Taurat, Farisi, dan Saduki, praktek relijius Yesus Kristus juga berbeda dengan Yohanes Pembaptis. Murid-murid Yohanes sempat bingung dan meminta klarifikasi dari Yesus seputar rutinitas puasa (9:14-17). Keunikan ajaran dan tindakan Yesus berpotensi memunculkan tuduhan bahwa Ia telah meniadakan Hukum Taurat. Jika ini yang terjadi, apa yang diajarkan dan dilakukan oleh Dia merupakan sebuah kasus yang sangat serius bagi masyarakat Yahudi. Hukum Taurat adalah tanda perjanjian. Ketaatan terhadap Taurat merupakan harga mati bagi sebagian besar orang Yahudi.
Bagi orang-orang Kristen sendiri, Matius 5:17-20 juga menyisakan sebuah persoalan teologis yang cukup pelik. Bukankah tidak ada seorang pun yang dapat dibenarkan melalui ketaatan terhadap Taurat (Rm 3:9-20)? Bukankah keselamatan adalah murni anugerah Allah (Ef 2:8-9)? Jika demikian, mengapa Yesus Kristus di Matius 5:17-20 seolah-olah mengajarkan keselamatan melalui perbuatan baik (terutama ayat 20)?
Sebelum menguraikan kerumitan ini, kita sebaiknya menggarisbawahi bahwa isu yang lebih tepat dalam Matius 5:17-20 bukan terbatas pada Hukum Taurat, melainkan seluruh kitab suci orang Yahudi (Perjanjian Lama). Ungkapan “Hukum Taurat dan kitab para nabi” seringkali digunakan sebagai rujukan teknis untuk seluruh Perjanjian Lama. Jadi, bagaimana kesinambungan Perjanjian Lama bagi orang-orang Kristen?
Yesus Kristus dan Hukum Taurat (ayat 17-18)
Dalam konteks pengharapan mesianis bangsa Yahudi terdapat sedikit ketegangan berkaitan dengan relasi antara Mesias dan Taurat. Apakah nubuat Yeremia tentang datangnya perjanjian yang baru dan Taurat yang baru pada saat TUHAN memulihkan umat-Nya (Yer 31:31-34) berarti bahwa Taurat yang lama akan ditiadakan? Matius 5:17-20 menjelaskan bahwa kedatangan yang baru bukan berarti peniadaan yang lama. Yang baru tidak meniadakan yang lama. Yang baru menggenapi yang lama.
Kata kerja “menggenapi” (plēroō) di ayat 17 telah dipahami secara berlainan oleh para teolog. Ada yang menafsirkan plēroō dalam arti menaati Taurat. Ada yang memahami plēroō dalam arti menerangkan makna yang sepenuhnya dari Taurat. Ada pula yang beranggapan bahwa kehidupan dan pelayanan Yesus (“Aku datang” di ayat 17) adalah untuk membawa Taurat pada tujuannya.
Dalam keseluruhan pelayanan Kristus, Ia memang melakukan tiga poin ini. Ia datang untuk menaati Taurat. Ia datang untuk menerangkan makna yang lebih esensial dari Taurat. Ia datang untuk merealisasikan tujuan Taurat. Bagaimanapun, dalam konteks Matius 5:17-20 hanya ada satu poin yang mendapat penekanan khusus.
Di antara alternatif yang ada, yang terakhir adalah yang paling masuk akal. Matius 5:17 tidak mengontraskan antara “meniadakan” dan “menaati.” Jika yang dimaksud adalah “menaati,” Matius pasti akan menggunakan kata kerja yang lebih jelas (misalnya akouō atau prassō). Opsi kedua juga kurang memuaskan. Yang dipersoalkan bukan hanya ajaran Yesus (makna Taurat bagi Dia), tetapi tindakan Yesus (nilai normatif Taurat bagi Dia).
Penggunaan plēroō di Injil Matius dan pertimbangan konteks Matius 5:17-20 menunjukkan bahwa tujuan dari kehidupan dan pelayanan Yesus Kristus adalah untuk memenuhi tujuan Taurat. Kata plēroō sebelumnya sudah muncul sebanyak lima kali dan dikaitkan dengan penggenapan nubuat para nabi (1:22; 2:15, 17, 23; 4:14; lihat juga 13:14; 26:54, 56). Yang digenapi oleh Yesus di Matius 5:17 memang bukan hanya Taurat, tetapi “Hukum Taurat dan kitab para nabi.” Ini bukan tentang tuntutan Taurat, tetapi tujuan Taurat. Ini bukan tentang aturan para nabi, melainkan nubuat mesianis yang mereka sampaikan.
Makna di atas sesuai dengan ayat 18 “Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi.” Hampir semua versi Inggris dengan tepat memilih terjemahan “sebelum segala sesuatu diselesaikan atau dicapai” (accomplished).
Melalui inkarnasi-Nya, Kristus menuntaskan tujuan kitab suci. Apa yang sudah direncanakan Allah dan dinyatakan melalui kitab suci direalisasikan melalui pelayanan Yesus. Sang Mesias datang untuk “menggenapkan (plēroō) seluruh kehendak Allah” (3:15).
Taurat menunjukkan keberdosaan manusia (Rm 7:7-25). Manusia tidak berdaya dalam menaati Taurat (Rm 3:9-20). Pengungkapan dosa melalui Taurat ini merupakan persiapan supaya mereka memahami keselamatan melalui anugerah Allah di dalam Kristus Yesus. Jika tidak ada seorang pun yang dapat dibenarkan karena melakukan Taurat, masihkah ada harapan bagi umat manusia? Puji Tuhan! Ketidakberdayaan manusia tidak selalu identik dengan ketidakadaan harapan. Melalui para nabi Allah berkali-kali menjanjikan kedatangan Mesias. Dialah yang akan memberikan harapan bagi orang-orang berdosa, sebab Dialah yang akan menggenapi Taurat.
Matius 5:18 menerangkan alasan mengapa Taurat tidak untuk ditiadakan melainkan untuk digenapi (lihat kata sambung “karena” di awal ayat ini). Alasan ini berkaitan dengan natur firman Allah yang kekal. Karena diwahyukan oleh Allah sendiri, kitab suci bersifat kekal. Selama langit dan bumi masih ada, firman Allah juga akan tetap sama. Tuhan Yesus bahkan menyatakan bahwa firman-Nya lebih permanen daripada keberadaan langit dan bumi (24:35).
Natur kedua dari firman Allah adalah otoritas yang menyeluruh dan detil. Dalam istilah teologi modern, natur ini disebut “pewahyuan keseluruhan bagian dan setiap kata” (verbal plenary inspiration). Seluruh bagian dan setiap kata dalam kitab suci dalah firman TUHAN. Kata “iota” (iōta) merujuk pada huruf yang terkecil (huruf yodh dalam alfabet Ibrani atau iota dalam alfabet Yunani), sedangkan titik (keraia) mengarah pada bagian terkecil dari suatu huruf. Bukan hanya huruf terkecil atau bagian terkecil dari huruf, perintah terkecil pun tetap berotoritas (5:19). Apa yang dipandang manusia sebagai perintah atau larangan yang sepele ternyata dipandang serius oleh Allah. Keseriusan tidak hanya ditentukan oleh “apa” (isi), melainkan “dari siapa” (sumber). Semua perkataan Allah adalah penting dan berotoritas.
Orang Kristen dan Hukum Taurat
Apa yang diucapkan Kristus bukan hanya sebuah penjelasan. Ada muatan normatif di sana. Ada konsekuensi praktis yang dituntut dari para pengikut Kristus. Hal ini disiratkan oleh pemunculan kata sambung “karena itu” di awal ayat 19. Hukuman dan upah di ayat ini semakin menguatkan nilai normatif dari perkataan Kristus.
Pertama, kita harus memegang erat, mengajarkan, dan melakukan seluruh firman Allah (ayat 19). Kata “meniadakan” (lyō, lit. “melepaskan”) di ayat ini menyiratkan usaha untuk bersantai atau menjadi kurang aktif (RSV/ESV bersikap rileks). Lawan katanya adalah memegang erat.
Memegang erat bukan berarti memonopoli. Firman Tuhan bukan hanya untuk kita, tetapi untuk orang lain. Setiap kita dipanggil untuk mengajarkannya (ayat 19b), baik dalam situasi yang formal (di ruang kelas atau ibadah) maupun non-formal (kehidupan sehari-hari melalui nasihat dan percakapan).
Walaupun mengajar orang lain adalah penting, tetapi harus disertai dengan teladan. Kita dipanggil bukan hanya untuk mengajar, namun juga untuk melakukan (ayat 19c). Ezra adalah contoh pengajar yang baik. Dalam Ezra 7:10 dikatakan: “Sebab Ezra telah bertekad untuk meneliti Taurat TUHAN dan melakukannya serta mengajar ketetapan dan peraturan di antara orang Israel.” Pahami dahulu, lakukan kemudian, ajarkan belakangan. Kira-kira seperti itulah semangat Ezra.
Kedua, kita harus memiliki ketaatan yang benar (ayat 20). Tuntutan untuk memiliki hidup keagamaan seperti orang-orang Farisi dan para ahli Taurat terdengar mustahil untuk dicapai. Para pemuka agama Yahudi ini begitu bersemangat dan detil dalam memelihara dan mengejawantahkan Taurat. Bahkan hal-hal terkecil pun tidak lepas dari perhatian mereka (misalnya 23:23a). Bagaimana mungkin para pengikut Kristus dapat melebihi mereka?
Rahasia untuk memahami tuntutan ini terletak pada kata dikaiosynē (LAI:TB “hidup keagamaan”). Dalam teks Yunani, kata ini secara hurufiah memiliki arti “kebenaran” (mayoritas versi Inggris “righteousness”). Matius 3:15 menjelaskan bahwa kebenaran ini berasal dari pelayanan Kristus. Yesus berkata kepada Yohanes Pembaptis: “Biarlah hal itu terjadi, karena demikianlah sepatutnya kita menggenapkan seluruh kehendak Allah.” Ungkapan “seluruh kehendak Allah” dalam teks Yunani adalah “seluruh kebenaran” (pasan dikaiosynēn). Baptisan Yesus jelas bukan karena tuntutan Taurat atau legalisme Farisi. Baptisan-Nya adalah wujud ketaatan pada rencana keselamatan Bapa di surga.
Pada saat Yesus memerintahkan para pengikut-Nya untuk memiliki kebenaran di atas kebenaran Farisi dan ahli Taurat, Ia sedang memaksudkan kebenaran yang khusus. Kebenaran yang muncul dari karya Kristus yang menggenapi tujuan Taurat dan kitab para nabi (5:17). Jadi, kita menaati perintah Allah bukan sebagai tuntutan legalistik atau syarat keselamatan. Ketaatan kita merupakan ekspresi iman dan ucapan syukur atas karya keselamatan yang dituntaskan oleh Kristus. Dialah sumber kebenaran kita. Soli Deo Gloria.