Salah satu momen yang mendorong orang menjadi bijaksana adalah ketika seseorang melihat kematiannya di depan mata. Dengan kata lain, ketika dia berada di akhir hidupnya. Orang akan dipaksa untuk melihat ke belakang dan menarik sebuah kesimpulan: Apakah dia sudah menjalani kehidupan yang benar dan membawa kepuasan atau dia justru telah menghabiskannya dengan percuma?
Tatkala menulis surat Filipi, Paulus juga berada dalam situasi seperti ini. Dia sedang dipenjara (1:12-17) dan tidak tahu apakah dia akan dibebaskan atau dihukum mati (1:19-20). Walaupun dia meyakini bahwa dia kemungkinan besar akan dibebaskan (1:25), tetapi kemungkinan yang lain tetap tidak bisa disingkirkan. Dia bisa saja dijatuhi hukuman mati.
Ibarat sebuah film, apakah kehidupan Paulus berakhir dengan kebahagiaan (happy ending)? Sebagian orang mungkin menganggap kehidupan Paulus sebagai sebuah tragedi. Dia dulu orang yang terpandang dan sukses dalam agama Yahudi. Gara-gara pertobatannya Paulus terus-menerus berada dalam bahaya dan derita. Bahkan dia sekarang sedang menunggu nasib di dalam penjara.
Teks hari ini mengungkapkan sikap Paulus pada momen krusial ini. Tidak ada nada kecewa. Tidak ada nuansa putus asa. Sebaliknya, kata “sukacita” mendominasi dua ayat ini.
Bagaimana dia menyikapi situasinya seperti ini? Dalam khotbah hari ini kita akan menemukan tiga rahasia sukacita Paulus.
Kehidupan adalah persembahan kepada Allah
Ayat 17 memuat beberapa istilah terkenal yang biasa dikaitkan dengan persembahan kepada Allah. Frasa “darahku dicurahkan” (LAI:TB) secara hurufiah berarti “aku dicurahkan” (spendomai). Mayoritas versi Inggris memberi tambahan “sebagai persembahan curahan” (RSV/NASB/NIV/ESV/NLT). Walaupun tambahan ini tidak ada dalam teks Yunani, yang ada dalam pikiran Paulus kemungkinan besar memang kurban curahan. Kata kerja spendomai berkali-kali muncul dalam Septuaginta (LXX) dengan arti kurban curahan (Kej. 35:14; Kel. 25:29; 30:9; 38:12; dst).
Tambahan terjemahan “darahku” (LAI:TB) mungkin dimaksudkan sebagai rujukan pada kematian Paulus di penjara yang bisa saja terjadi. Walaupun maksud di balik penambahan ini baik, sebagian orang mungkin justru bisa menangkap sebuah kesan yang keliru, yaitu korban curahan berupa darah. Ini jelas salah. Kurban curahan berupa air (2Sam. 23:16; Kej. 35:14) atau anggur (Bil. 15:4-5).
Istilah berikutnya adalah “korban” (thusia). Pemunculan kata ini jauh lebih sering daripada spendomai. Kata yang muncul lebih dari 400 kali di seluruh Alkitab ini dikaitkan dengan beragam jenis persembahan, terutama korban bakaran.
Istilah terakhir adalah “ibadah” (LAI:TB). Dalam teks Yunani kata yang digunakan adalah leitourgia (lit. “pelayanan”). Kata yang memiliki arti cukup luas ini seringkali dihubungkan dengan pelayanan di kemah suci atau bait Allah (Im. 4:24. 27, 28, 33; 7:5, 7, 8; 8:22, 25; Ez. 7:19, dst).
Tiga kata di atas menggambarkan cara Paulus memandang kehidupan. Hidup bukan tentang memanfaatkan Allah untuk mendapat sesuatu bagi kita, melainkan memberikan segala sesuatu kepada Allah sebagai ucapan syukur atas semua kebaikan-Nya. Jika kesuksesan diukur dari seberapa banyak kenyamanan jasmani yang kita terima dari Allah, Paulus mungkin akan menyikapi akhir hidupnya dengan air mata. Tidak banyak “berkat jasmani” (kekayaan, kelimpahan, kesenangan, dsb) yang dia alami.
Semua yang ada pada kita seharusnya dipersembahkan kepada Allah. Ibarat korban bakaran yang harus hangus seluruhnya tanpa sisa, demikian pula dengan kehidupan kita. Ibarat korban curahan yang didorong oleh ucapan syukur atas kebaikan Allah, kita harus menguras semua talenta yang Tuhan percayakan kepada kita.
Kehidupan adalah kemitraan dalam pelayanan
Poin ini sangat ditentukan oleh penafsiran kita terhadap frasa “korban dan ibadah imanmu” (LAI:TB). Apakah frasa ini merujuk pada pelayanan Paulus bagi iman jemaat Filipi atau pada pelayanan jemaat Filipi yang bersumber dari iman? Penerjemah NIV dan NLT secara tepat memilih opsi yang terakhir (NIV “coming from your faith”; NLT “your faithful service”).
Ada beberapa alasan kuat yang mengarah ke sana. Di akhir surat ini Paulus menyebut bantuan jemaat Filipi untuk dirinya sebagai korban (thusia) yang berkenan kepada Allah (4:18). Lebih jauh, kedatangan Epafroditus sebagai utusan jemaat Filipi untuk melayani kebutuhan Paulus dalam penjara dikatakan: “untuk memenuhi apa yang masih kurang dalam pelayananmu [leitourgia] kepadaku” (2:30). Bukan kebetulan jika dua kata ini muncul bersamaan di 2:17. Kesimpulan yang paling wajar mengarahkan kita untuk memahami frasa “korban dan ibadah imanmu” di 2:17 sebagai rujukan pada pelayanan jemaat Filipi.
Jika penafsiran di atas diterima, kita dapat melihat kemitraan pelayanan yang luar biasa antara Paulus dan jemaat Filipi. Kemitraan ini ibarat korban curahan (pelayanan Paulus) dan korban bakaran (pelayanan jemaat). Penggabungan dua jenis korban ini akan menghadirkan persembahan yang harum dan menyenangkan hati Allah.
Yang lebih menarik, analogi korban di ayat ini cukup mengagetkan. Dari sisi kronologis, pelayanan Paulus lebih dulu ada, sehingga lebih pantas diibaratkan sebagai korban bakaran. Lagipula pekabaran Injil yang dilakukan oleh Paulus terlihat lebih utama daripada bantuan dari jemaat Filipi. Pelayanan jemaat Filipi seharusnya hanyalah korban curahan yang menambah wangi korban bakaran tersebut. Korban curahan sendiri tidak harus ada di setiap persembahan korban bakaran.
Ternyata, Paulus membalik kiasan ini. Dia tampaknya ingin menegaskan pentingnya pelayanan jemaat Filipi. Mereka telah mengambil bagian dalam kesusahan Paulus (4:14). Buah dalam pelayanan Paulus juga menjadi buah pelayanan mereka (4:17). Seandainya Paulus jadi dijatuhi mati dalam penjara, kematiannya akan menjadi korban curahan yang menyempurnakan korban jemaat Filipi.
Tidak ada buah pelayanan yang lebih manis daripada menyaksikan orang-orang yang kita layani sekarang juga memberi diri dalam pelayanan. Kesuksesan pelayanan tidak diukur dengan seberapa banyak orang yang dilayani, melainkan seberapa banyak yang sudah dilayani akhirnya memberi diri sebagai pelayan bagi orang lain lagi. Bukan hanya didasarkan jumlah yang mau dimuridkan, tetapi yang mau memuridkan.
Kehidupan adalah berbagi sukacita
Kebersamaan antara Paulus dan jemaat Filipi telah diwujudkan dalam banyak hal. Jemaat Filipi secara konsisten mengambil bagian dalam pelayanan Paulus (1:5). Mereka sama-sama menderita demi Injil sejak hari pertama Paulus berada di sana (1:29-30). Di antara jemaat-jemaat lokal yang lain, tidak ada satupun yang menyamai jemaat Filipi dalam hal kepedulian terhadap kesusahan dan pelayanan Paulus (4:15-16). Mereka sama-sama memperhatikan kepentingan pihak lain (2:25-30).
Kebersamaan ini sekarang terancam bubar. Paulus sedang menunggu keputusan pengadilan. Jika dia dijatuhi hukuman mati, di situlah akhir dari kebersamaan dengan jemaat Filipi. Kesedihan pasti menguasai hati jemaat Filipi.
Di tengah antisipasi terhadap hal terburuk inilah Paulus menuliskan 2:17-18. Pesan yang ingin disampaikan sudah sangat jelas: ada alasan untuk bersukacita walaupun skenario terburuk terjadi. Jemaat Filipi sudah menggunakan hidup mereka sebagai persembahan yang harum di hadapan Allah (2:17; 4:18). Kematian Paulus akan menjadi penambah aroma harum pada korban mereka (ibarat korban curahan). Itulah sebabnya Paulus bekata: “aku bersukacita dan aku bersukacita dengan kamu sekalian. Dan kamu juga harus bersukacita demikian dan bersukacitalah dengan aku” (2:17b-18).
Tidak lupa dia mengajak jemaat untuk bersukacita bersama dia (ayat 18). Ajakan ini penting untuk ditekankan. Paulus mungkin sudah menyiapkan diri untuk segala kondisi. Dia memiliki pemahaman teologi yang mendalam. Dia terlatih dalam begitu banyak kesendirian dan penderitaan selama pelayanan. Tapi bagaimana dengan jemaat Filipi? Selama ini figur rohani yang mereka paling kagumi adalah Paulus. Membayangkan bahwa sebentar lagi mereka mungkin akan kehilangan figur seperti ini pasti menjadi tantangan yang tidak mudah untuk jemaat Filipi. Di sinilah Paulus sedang menyiapkan mereka. Dia menyediakan alasan untuk tetap bersukacita seandainya kemungkinan terburuk terjadi.
Perpisahan sementara secara ragawi pasti akan terjadi. Ini berlaku untuk segala jenis relasi. Yang paling penting bukanlah meratapi perpisahan melainkan memaksimalkan kebersamaan. Jika kebersamaan telah diisi dengan hal-hal yang memuliakan Tuhan, tidak ada alasan untuk berlarut-larut dalam kesedihan. Kematian seseorang yang sudah habis-habisan melayani Tuhan adalah sebuah panggung pertunjukan bagi kesetiaan dan kedaulatan Tuhan.
Ketika kita ditinggal mati oleh orang yang kita kasihi, kita memiliki dua opsi: menyalahkan Allah dan diri sendiri atas waktu di depan yang hilang atau bersyukur kepada Allah dan puas dengan diri sendiri karena telah mengisi waktu di belakang dengan maksimal untuk Tuhan. Jemaat di Filipi pasti memilih opsi yang terakhir. Mereka sudah berkali-kali melayani bersama-sama dengan Paulus. Kapanpun kebersamaan ini berakhir, sukacita mereka akan selalu bergulir. Mereka telah menjadi hamba yang baik dan setia.
Paulus dan jemaat Filipi dapat memberi diri bagi kemajuan Injil karena mereka sudah digerakkan oleh Injil. Perjuangan mereka dinafasi oleh Injil (1:27). Tujuan hidup mereka adalah mengalami persekutuan dengan Yesus Kristus di dalam kematian dan kebangkitan-Nya. Soli Deo Gloria.