Banyak orang berkata bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik. Pepatah populer ini tidak sepenuhnya benar. Banyak orang tidak mau belajar dari pengalaman. Walaupun kehidupannya sudah terpuruk karena berbagai keputusan dan tindakan yang buruk, mereka tetap tidak keluar sebagai pribadi yang lebih baik. Yang mau belajar dari pengalaman juga kadangkala malah belajar sesuatu yang salah dari pengalaman, misalnya menjadikan masa lalu yang pahit sebagai pembenaran untuk menjadi pribadi yang pahit.
Yang paling penting bukanlah jumlah pengalaman, melainkan jumlah pelajaran yang dipetik dari setiap pengalaman. Yang diperlukan bukan hanya ketahanan dalam menghadapi persoalan, tetapi kepekaan untuk menangkap maksud Tuhan dalam setiap persoalan. Dengan kata lain, kebijaksanaan lebih penting daripada ketahanan dan keberanian. Untuk apa berada dalam proses penderitaan yang luar biasa jika nantinya kita keluar sebagai orang yang biasa-biasa saja?
Teks kita hari ini akan mengajarkan kepada kita bahwa tidak semua orang memang mau belajar dari pengalaman. Tidak peduli seberapa keras pukulan dari TUHAN yang telah diterima, bangsa Israel tetap tidak belajar apa-apa. Apa saja hukuman yang TUHAN sudah berikan? Apa saja yang seharusnya kita pelajari?
Hukuman dari TUHAN
Tidak sukar untuk melihat bahwa 4:6-11 merupakan satu kesatuan tekstual. Isinya adalah pelbagai hukuman. Jika dibaca dengan teliti, kita akan menemukan progresivitas pada deretan hukuman ini. Hukuman terakhir adalah klimaks dari rangkaian hukuman yang diberikan.
Di setiap jenis hukuman diakhiri dengan keterangan bahwa bangsa Israel tidak mau berbalik kepada TUHAN (4:6, 8, 9, 10, 11). Keterangan ini sekaligus menunjukkan berapa banyak jenis hukuman yang diberikan: total ada 5 jenis hukuman.
Pertama, kelaparan nasional (ayat 6). Ungkapan “gigi yang tidak disentuh oleh makanan” secara hurufiah berarti “kebersihan gigi” (lihat hampir semua versi Inggris). Terjemahan hurufiah ini dalam konteks Indonesia bisa memberikan arti dan kesan yang berbeda. Pilihan LAI:TB “gigi yang tidak disentuh oleh makanan” menyediakan pilihan yang lebih baik daripada “lapar” (NLT) atau “perut kosong” (NIV).
Kelaparan yang dialami ini bukan hanya terjadi di satu atau dua kota (4:11a), tetapi seluruh tempat (4:11b). Ini adalah keadaan darurat nasional. Minimnya persediaan pangan bahkan mencakup kebutuhan bahan pokok (4:11 “kekurangan roti”). Jika makanan pokok saja tidak tersedia apalagi bahan-bahan sekunder lainnya?
Kedua, kekeringan yang ekstrim (ayat 7-8). Bagian ini berfungsi untuk menjelaskan mengapa jenis hukuman sebelumnya bisa terjadi. Kelangkaan bahan poko disebabkan oleh kemarau ekstrim yang menyebabkan kegagalan panen (4:7). Curah hujan sangat jarang (3 bulan kemarau hebat) dan tidak merata (turun bergantian ke daerah tertentu). Ironisnya, hujan tidak turun di daerah yang memasuki masa panen. Akibatnya terjadi gagal panen yang luar biasa.
Ayat 7-8 juga memberi gambaran yang lebih serius daripada ayat 6. Orang bisa bertahan lebih lama tanpa makanan, tetapi ketahanan jauh berkurang jika tanpa air. Menurut berbagai riset rata-rata orang bisa bertahan 3 minggu tanpa makanan, tetapi hanya 4 hari tanpa minuman.
Yang terjadi pada bangsa Israel adalah kekeringan yang sangat buruk. Untuk mendapatkan air, mereka harus pergi ke kota lain yang menerima hujan. Yang mereka cari tidak lagi air untuk pengairan sawah atau ladang. Mereka membutuhkan air minum (4:8). Kalaupun mendapatnya, mereka tidak dapat menikmatinya dengan leluasa. Apa yang diperoleh tidak sepadan dengan perjalanan jauh yang ditempuh.
Ketiga, kegagalan panen (ayat 9). Poin ini sebenarnya sudah disiratkan di jenis hukuman sebelumnya, namun fokus sebelumnya terletak pada ketidakadaan hujan yang memadai (4:7-8). Di ayat 9 kita menemukan faktor-faktor lain yang menyebabkan kegagalan panen.
Amos menyebut tentang “hama dan penyakit gandum” (LAI:TB; shiddÄpôn dan yÄ“rÄqôn). Dua ungkapan ini memang sering muncul bersamaan dalam konteks penghukuman ilahi melalui kegagalan panen (Ul. 28:22; 1Raj. 8:37; 2Taw. 6:28; Hag. 2:17). Kata shiddÄpôn (LAI:TB “hama”) merujuk pada angin panas dan kering dari padang gurun Arabia yang bisa melayukan tanaman dan bunga dalam sehari (NASB “blasting wind”). Kata yÄ“rÄqôn (LAI:TB “penyakit gandum”) mengarah pada sejenis jamur berwarna putih yang merusakkan beragam jenis tanaman (tidak hanya tanaman gandum).
Selain angin panas dan jamur, kegagalan panen juga dapat disebabkan oleh “belalang” (gÄzÄm, Yl. 1:4; 2:25). Versi-versi Inggris memberikan dua opsi terjemahan: ulat (KJV/NASB) atau belalang (RSV/NIV/ESV/NLT). Variasi terjemahan ini sebenarnya tidak terlalu jauh berbeda: gÄzÄm merujuk pada belelang, tetapi dalam tahap perkembangan yang jauh lebih awal. Jenis belalang ini biasanya tidak memakan daun pohon zaitun, kecuali tanaman lain sudah tidak ada lagi. Jadi, gambaran belalang memakan daun zaitun menyiratkan keadaan yang benar-benar ekstrim.
Keempat, penyakit dan kematian yang hebat (ayat 10). Tiga jenis hukuman di awal bisa mengakibatkan kematian. Ternyata kematian juga dapat datang dari arah yang berbeda. Bukan dari kelaparan atau kekeringan saja, tetapi dari penyakit sampar dan kekalahan perang. Amos tidak memberi penjelasan detil tentang penyakit menular (deber) yang disebutkan di ayat 10a. Dia juga tidak menerangkan apakah penyakit ini menimpa binatang atau manusia atau keduanya. LAI:TB menafsirkan penyakit ini sebagai penyakit sampar, karena kata deber juga muncul pada kisah pelepasan dari Mesir (Kel. 5:3; 9:3, 15). Jika kita menjadikan frasa “seperti kepada orang Mesir” (4:10) sebagai patokan, kita mungkin harus menafsirkan penyakit ini dalam kaitan dengan binatang. Bagaimanapun, dari sisi arti kata, deber bisa menimpa binatang (misalnya, 1Raj. 8:37) maupun manusia (misalnya, 1Taw. 21:14).
Apakah penyakit di atas menyebabkan kematian? Teks tidak menyediakan petunjuk eksplisit. Dari seluruh pemunculan kata “penyakit sampar” (deber) di Alkitab, tidak berlebihan jika kita menduga penyakit ini sampai menyebabkan kematian. Konteks Amos 4:10 juga mendukung ke sana. Bangsa Israel mengalami kekalahan perang yang telak. Tentara terbaik mereka (“terunamu”) tewas oleh pedang musuh.
Yang tidak begitu jelas adalah nasib kuda-kuda di 4:10b. Sebagian versi memahami kuda-kuda jarahan ini ikut tewas dalam pertempuran (NASB/NIV), sementara yang lain memisahkan antara pembunuhan teruna dengan penjarahan kuda (RSV/KJV/ESV/NLT). Dari sisi tata bahasa, arti yang pertama tampaknya lebih sesuai (lit. “Aku telah membunuh dengan pedang teruna-terunamu bersama kuda-kuda jarahan”). Maksudnya, kalau dulu bangsa Israel pernah menang dalam peperangan dan menjarah kuda-kuda musuh, sekarang para tentara dan kuda-kuda tersebut tewas oleh pedang.
Bagian terakhir dari ayat 10 menegaskan kuantitas dan kualitas kekalahan perang di atas. Begitu banyak bangkai kuda dan mayat manusia sehingga bau busuk yang sangat menyengat merebak dari perkemahan bangsa Israel. Jumlah kematian begitu banyak. Tidak ada orang yang mampu mengurus semua bangkai dan mayat itu. Sebuah kekalahan perang yang sangat telak!
Kelima, kehancuran yang mengerikan (ayat 11). Kita tidak dapat memastikan rujukan historis di balik kata “menjungkirbalikkan.” Sebagian penafsir mengaitkannya dengan gempa bumi (1:1), tetapi yang lain menganggap dugaan ini tidak sesuai dengan gambaran “seperti puntung yang ditarik dari kebakaran” (4:11b). Gempa bumi juga kurang terkait dengan hukuman atas Sodom dan Gomora (bdk. Kej. 19). Amos mungkin sedang membicarakan peristiwa tertentu yang supranatural dan sangat mirip dengan penghukuman Sodom dan Gomora. Sayangnya peristiwa itu hanya dimengerti oleh Amos dan pendengarnya saja. Tidak ada rujukannya di bagian Alkitab lain.
Ketidakjelasan ini tidak menghalangi kita untuk menangkap kesan yang kuat bahwa hukuman TUHAN bersifat tiba-tiba dan membawa kerusakan hebat. Gambarannya seperti sebuah kayu kecil yang hangus dan diselamatkan dari kebakaran. Nyaris musnah semuanya.
Setelah melewati berbagai hukuman seperti ini bangsa Israel tetap tidak berubah. Mereka tidak kembali kepada TUHAN. Hukuman demi hukuman datang – dan bahkan semakin serius – tetapi bangsa Israel tetap hidup di dalam dosa.
Pesan teologis di balik hukuman
Teks kita hari ini mengajarkan beberapa poin penting tentang Allah dan hukumannya. Bangsa Israel telah gagal memahaminya. Jangan sampai kita mengulangi kesalahan yang sama.
Pertama, tujuan dari hukuman TUHAN bukan hanya retributif melainkan transformatif. Allah yang kudus memang tidak mungkin berkompromi dengan dosa. Keadilan-Nya menuntut setiap pelanggaran dibalaskan dengan hukuman. Walaupun demikian, hukuman TUHAN tidak sebatas pembalasan. Hukuman dimaksudkan untuk mendatangkan perubahan. Tujuannya bukan kehancuran, tetapi pertobatan dan pemulihan.
Pemunculan frasa “namun kamu tidak berbalik kepada-Ku” di akhir setiap jenis hukuman menunjukkan bahwa pemberian hukuman dimaksudkan untuk mendatangkan pertobatan. Ketika bangsa Israel sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi, mereka diharapkan mencari TUHAN dengan kesungguhan. Sayangnya, bangsa Israel tetap tidak peduli.
Kedua, hukuman TUHAN menunjukkan kesetiaan-Nya terhadap perjanjian. Semua jenis hukuman yang diucapkan oleh TUHAN melalui Amos memiliki kesamaan dengan ancaman hukuman yang diucapkan oleh TUHAN melalui Musa. Dalam konteks perjanjian antara Alah dan bangsa Israel dulu sudah ditetapkan sebuah aturan: taat mendatangkan berkat dan pelanggaran mendatangkan hukuman (Im. 26:14-39; Ul. 27-28). Karena Allah setia kepada perjanjian-Nya, Dia menghukum umat-Nya.
Ketiga, tingkat hukuman TUHAN selaras dengan tingkat ketidaktaatan. Pembahasan sebelumnya menerangkan bahwa jenis hukuman yang diberikan semakin progresif dan mencapai puncaknya di ayat 11. Struktur seperti ini bukan tanpa alasan. Semakin tidak taat akan semakin mendatangkan hukuman yang lebih berat.
Terakhir, akar ketidaktaatan berada di hati. Tidak peduli seberapa berat hukuman sudah dijatuhkan, manusia tetap tidak mau dan tidak mampu bertobat. Kegelapan hati seringkali menutupi kesadaran akal budi. Kedegilan mengalahkan penalaran.
Karena itulah pertobatan sejati hanya dimungkinkan jika terjadi dari dalam. Roh Kudus diberikan untuk menggantikan hati yang keras dengan hati yang taat (Yeh. 11:19; 36:26). Kristus datang untuk menyucikan hati nurani kita yang jahat dengan darah-Nya (Ibr. 9:14). Tanpa karya TUHAN, kita tidak memiliki harapan untuk mengalahkan ketidaktaatan. Soli Deo Gloria.