Yesus: Bait Allah Yang Baru dan Sejati (Yohanes 2:13-22)

Posted on 05/04/2015 | In Teaching | Leave a comment

Kisah tentang Tuhan Yesus menyucikan bait Allah dicatat oleh para penulis kitab injil kanonik. Walaupun demikian, catatan dalam Injil Yohanes tampak berbeda. Tidak ada ucapan Yesus tentang rumah doa segala bangsa atau tentang sarang penyamun (Mat 21:13//Mrk 11:17//Luk 19:46). Kronologi kisah ini dalam pelayanan Yesus juga berlainan: Yohanes menempatkannya di awal pelayanan, sementara para penulis lain di akhir pelayanan Yesus. Terlepas dari bagaimana perbedaan ini dijelaskan – apakah kisah ini terjadi sekali atau dua kali – kita tetap perlu menghargai keunikan masing-masing kitab injil.

Perdagangan di halaman bait Allah

Semua orang Yahudi yang sudah dewasa dituntut untuk mengikuti beberapa perayaan keagamaan yang dipusatkan di bait Allah. Paling tidak mereka akan mengikuti tiga hari raya (Kel 23:14-17). Salah satunya adalah Paskah (Yoh 2:13, 23).

Tiap kali suatu hari raya keagamaan diperingati di bait Allah Yerusalem akan penuh sesak dengan orang Yahudi dari berbagai tempat, baik yang dari wilayah Israel maupun negara lain. Mereka ingin menunaikan kewajiban agama mereka. Untuk itu mereka memerlukan hewan korban dan uang khusus untuk pembayaran ke bait Allah. Persoalannya, bagaimana mereka harus membawa hewan-hewan itu bepergian bersama mereka? Bagaimana pula mereka bisa mendapatkan uang khusus tersebut di negara mereka masing-masing?

Sebagai solusi, para imam telah mengizinkan para pedagang untuk memenuhi kebutuhan ibadah dari para peziarah. Mereka berjualan di halaman bait Allah atau di sekitar luar bait Allah. Kita tidak tahu persis barang apa saja yang mereka jual. Kita pun tidak tahu daerah mana saja di area bait Allah yang dijadikan tempat berjualan. Yohanes 2:14-15 hanya mencatat tentang para penjual kambing-domba, lembu, burung merpati, dan penukar uang.

Dari penjelasan di atas telihat bahwa motivasi awal di balik praktek penjualan hewan korban dan uang bea bait Allah adalah baik. Sangat tidak nyaman apabila para peziarah harus membawa binatang-binatang jauh-jauh dari tempat asal mereka. Mereka pun akan mengalami kesulitan mendapatkan mata uang khusus yang diperlukan. Jadi, perdagangan ini membuat praktek ibadah bangsa Yahudi menjadi lebih nyaman.

Benarkah tidak ada yang salah dengan hal itu?

Makna tindakan Yesus

Jika praktek perdagangan di bait Allah memang dilandaskan pada upaya untuk membuat ibadah menjadi lebih nyaman, apa yang salah dengan hal itu? Mengapa Yesus perlu mengusir para pedagang?

Jawaban terhadap pertanyaan di atas akan berbeda-beda, seturut dengan maksud masing-masing penulis kitab injil. Para penulis Injil Sinoptik (Matius, Markus, dan Lukas) tampaknya lebih menyoroti tentang gangguan bagi orang-orang non-Yahudi yang beribadah di bait Allah. Orang-orang non-Yahudi hanya boleh beribadah di area tertentu, sedangkan area itu atau di sekitar area itu mungkin sudah digunakan sebagai tempat berjualan sehingga menganggu ibadah mereka (Mrk 11:17). Injil-injil Sinoptik juga menyoroti kebobrokan dan kejahatan dalam perdagangan itu. Mereka mencatat teguran Yesus kepada para penjual yang telah menjadikan bait Allah sebagai sarang penyamun (Mat 21:13//Mrk 11:17//Luk 19:46).

Penulis Injil Yohanes pasti mengetahui alasan-alasan di atas. Namun, ia memilih untuk membahas sisi lain dari situasi yang sama. Sisi lain ini tidak kontradiktif (bertentangan), melainkan komplimentari (melengkapi) dengan catatan-catatan di Injil Sinoptik. Nah, apa alasan Yesus menyucikan bait Allah di Yohanes 2:13-22?

Pertama, ketidakadaan cinta terhadap rumah Bapa (ayat 17). Hanya Injil Yohanes yang mencatat ingatan para murid Tuhan Yesus tentang Mazmur 69:10 “Cinta untuk rumah-Mu menghanguskan Aku” (Yoh 2:17). Pasti ada maksud di balik penambahan keterangan semacam ini. Yesus mencintai rumah Bapa, sedangkan para pedagang – sebagai perwakilan dari keseluruhan ibadah bangsa Yahudi – tidak memiliki cinta seperti itu.

Injil Yohanes tidak menyediakan informasi eksplisit tentang bukti konkrit bahwa para pedagang itu tidak mengasihi Allah. Mungkin mereka sekadar memanfaatkan momen itu untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya, sehingga dengan demikian layak disebut sebagai para penyamun? Kita tidak tahu dengan pasti. Namun, paling tidak kita tahu bahwa Tuhan Yesus mengenal hati setiap orang (2:24-25). Dia melihat jauh ke dalam hati seseorang. Ada sesuatu yang salah dengan hati mereka. Para pedagang tampak sibuk membantu penyelenggaraan ibadah di bait Allah, tetapi mereka tidak memiliki kasih kepada Bapa.

Apakah hal yang sama tidak mungkin terjadi pada hamba Tuhan dan para pelayan di gereja? Kita sibuk dengan berbagai kegiatan gerejawi, tetapi tidak memiliki kasih kepada Allah yang sejati? Bukankah hal yang sama bisa terjadi pada jemaat Tuhan? Kita rajin mengikuti ibadah dan berkorban, namun kita tidak sungguh-sungguh mencintai persekutuan dengan Bapa?

Kedua, ada bait Allah yang baru dan sejati (ayat 21-22). Dalam bagian ini Yesus mengajarkan bahwa tubuh-Nya adalah bait Allah. Kebangkitan-Nya membuka ibadah yang baru, yang merestorasi ibadah yang lama di bait Allah Yerusalem.

Walaupun ide bahwa Yesus adalah bait Allah baru secara eksplisit diungkapkan di sini, tetapi sebelumnya sudah ada indikasi ke arah sana. Pasal 1:14 secara hurufiah berbunyi: “Dan Firman itu menjadi daging dan bertabernakel di tengah-tengah kita” (skēnoō, bdk. Why 7:15; 13:6; 21:3). Di pasal 1:51 Ia memberitahu Natanael bahwa Ia adalah rumah Allah, dengan cara membandingkan diri-Nya dengan Yakub yang berjumpa dengan Allah di Betel (lit. “rumah Allah”, Kej 28:12, 16-19). Nanti di pasal 4:23-24 Ia mengajarkan kepada perempuan Samaria bahwa penyembahan yang benar adalah di dalam roh (tidak terikat oleh tempat tertentu) dan di dalam kebenaran (Yesus adalah kebenaran, 14:6). Dalam tulisannya yang lain, Yohanes menggambarkan bahwa di surga kelak juga tidak ada bait Allah lagi. Allah dan Anak Domba yang jadi bait-Nya (Why 21:22). 

Kebenaran tentang Yesus sebagai bait Allah yang baru dan sejati merupakan kabar baik yang relevan bagi orang-orang Yahudi yang hidup sesudah kehancuran bait Allah di tahun 70 M. Mereka tidak lagi bisa merayakan berbagai hari raya keagamaan di bait Allah. Ibadah mereka perlu dikaji ulang, karena apa yang mereka anggap penting sudah tidak ada lagi. Solusi yang perlu mereka pikirkan adalah mempercayai Yesus sebagai bait Allah yang baru dan sejati.

Dua respon yang berbeda

Perkataan Yesus mengundang respon yang sama sekaligus berbeda dari orang-orang Yahudi maupun murid-murid-Nya. Sama, karena dua kelompok ini pada waktu itu sama-sama tidak mengerti makna di balik perkataan Yesus (2:18, 20, 22). Berbeda, karena murid-murid pada akhirnya percaya, sedangkan para pemimpin Yahudi tetap berada dalam ketidakpercayaan.

Mengapa mereka tidak percaya? Yohanes 2:13-22 tidak memberi petunjuk yang jelas. Mungkin mereka tidak melihat kebangkitan. Mungkin mereka memang tidak mau percaya.

Jika kita membandingkan dengan bagian lain di kitab injil yang sama, kita bisa menemukan sedikit penjelasan. Pasal 11:48-50 mengungkapkan betapa pentingnya bait Allah bagi para pemuka agama Yahudi. Mereka merisaukan popularitas Yesus yang mungkin bisa menarik perhatian pemerintah Romawi sehingga orang-orang kafir itu akan datang untuk merampas bait Allah dan Yerusalem. Mereka kuatir kehilangan bait Allah. Jika diperhadapkan pada dua pilihan: bait Allah atau Yesus, maka mereka spontan akan memilih yang pertama.

Hal ini dalam taraf tertentu bisa dipahami. Agama Yahudi sulit berjalan tanpa bait Allah (walaupun mereka juga pernah mengalami keagamaan yang tanpa bait Allah pada saat bait Allah dan Yerusalem dihancurkan oleh tentara Babel). Bait Allah telah menjadi kebanggaan dan identitas bangsa. Bait Allah juga menjadi sumber penghasilan besar bagi para imam dan penduduk Yerusalem, terutama pada momen-momen perayaan. Pendeknya, bait Allah adalah segala-galanya bagi mereka.

Melepaskan semua hal bagi Yesus tentu bukan perkara mudah, apalagi jika hal-hal itu berkaitan dengan identitas dan kebanggaan kita. Keberhasilan dan prestasi kita. Penghasilan dan karir kita. Kebiasaan dan hobi kita. Pasangan dan kesenangan kita. Jabatan dan aktivitas kita dalam pelayanan. Jika semua itu menghalangi kita untuk merengkuh Kristus, biarlah kita mulai memandang semua itu sebagai kerugian dan mulai melepaskannya. Kita meyakini bahwa tanpa Kristus, apa yang terbaik dalam kehidupan kita pun hanyalah sampah yang tanpa makna.

Biarlah di momen Paskah ini kita diingat dan didorong untuk menjadikan Kristus sebagai pusat ibadah kita. Dalam persekutuan dan ibadah bersama, kita ingin melihat Kristus dijadikan sebagai sorotan utama. Karya penebusan Kristus tidak diabaikan dalam setiap elemen ibadah. Di luar ibadah bersama, kita rindu supaya di mana pun dan kapan pun kita berada, kita selalu memberikan diri sebagai persembahan yang hidup bagi Kristus (Rom 12:1). Kita selalu dalam hadirat Allah (Coram Deo).

Soli Deo Gloria. 

 

Yakub Tri Handoko