Dalam Bulan Keluarga 2015 ini sangat tepat apabila kita memulai khotbah berseri seputar keluarga dengan mengangkat tema “karunia membujang/selibat”. Tema ini sangat jarang dibicarakan di dalam gereja. Tidak heran, mereka yang menjalani kehidupan selibat seringkali merasa diabaikan di dalam gereja. Mereka sendiri juga seringkali mengalami kesulitan untuk memaknai kehidupan mereka dan menempatkan diri di tengah sebuah komunitas.
Hal ini sangat bisa dipahami. Pandangan umum tentang kehidupan selibat cukup beragam. Di satu sisi, hal ini di banyak budaya dianggap sebagai aib bagi keluarga. Beberapa bahkan menganggap bahwa pernikahan yang tidak bahagia tetap lebih baik daripada kehidupan membujang. Di sisi lain, ada periode tertentu di mana kehidupan membujang dipandang sebagai sebuah tanda kerohanian. Sebagian laki-laki Kristen memutuskan untuk menjauhi keinginan seksual dan pernikahan dengan cara menyendiri di gua atau mengebiri dirinya.
Bagaimana seharusnya kita menyikapi hal ini?
Kehidupan membujang adalah karunia dari Allah (ayat 7)
Di ayat ini Paulus menerangkan bahwa baik kehidupan selibat maupun pernikahan sama-sama karunia dari Allah (“yang seorang karunia ini, yang lain karunia itu”). Sebagai sebuah karunia (charisma), hal ini seyogyanya diterima dengan sukarela dan sukacita. Itulah sebabnya Paulus sendiri bahkan tidak segan-segan mengesampingkan keinginan dan pendapat pribadinya. Dalam teks Yunani, ayat 7a berbunyi: “Aku berharap semua orang seperti aku” (mayoritas versi Inggris; kontra LAI:TB). Namun, dengan segera Paulus menambahkan bahwa tidak semua orang mendapat karunia yang sama seperti dia. Di ayat 35 ia sekali lagi menandaskan: “Semuanya ini kukatakan untuk kepentingan kamu sendiri, bukan untuk menghalang-halangi kamu dalam kebebasan kamu” Dengan kata lain, walaupun Paulus sendiri mengalami keindahan kehidupan selibat, ia menyadari bahwa tidak semua orang terpanggil untuk hal itu, karena itu ia tidak mau memaksakan pendapat maupun pengalaman pribadinya kepada orang lain.
Tuhan Yesus juga pernah mengajarkan konsep yang sama tentang kehidupan selibat (Mat 19:10-12). Menikah atau tidak menikah ditentukan oleh Allah (bdk. sikap murid-murid di ayat 10). Tidak semua orang mampu dan mau menjalani kehidupan selibat. Diperlukan anugerah untuk memahami hal tersebut (Mat 19:11, 12b). Diperlukan anugerah pula untuk menjalani kehidupan semacam itu.
Dari penjelasan di atas kita juga bisa menarik kesimpulan bahwa tidak semua orang yang membujang menerima karunia selibat. Ada banyak faktor mengapa seseorang akhirnya menjalani kehidupan selibat. Jika demikian, bagaimana kita dapat mengetahui apakah seseorang dipanggil untuk membujang?
Petunjuk-petunjuk penting bagi kehidupan selibat (ayat 32-37)
Dalam bagian ini Paulus memang tidak secara khusus membahas tentang selibat. Ia sedang membicarakan tentang sebagian jemaat Korintus yang belum menikah (7:25). Atau lebih tepatnya, tentang mereka yang dalam tahap pertunangan (ESV “now concerning the betrothed”; bdk. ayat 28; kontra LAI:TB “tentang para gadis”). Walaupun demikian, apa yang ia ajarkan tentang pedoman untuk tidak menikah tetap relevan bagi pembahasan kita tentang kehidupan selibat. Paulus sangat mungkin tetap memikirkan karunia membujang di 7:7 pada saat ia memberikan pedoman-pedoman untuk tidak menikah di 7:32-37.
Pertama, memusatkan pikiran pada perkara-perkara ilahi (ayat 32-35). Salah satu hal yang menonjol dari bagian ini adalah pemunculan akar kata Yunani merimn- secara berulang-ulang (kata sifat amerimnous, 1x di ayat 32a; kata kerja merimna, 4x di ayat 32b-34). Dari sini terlihat bahwa kata kerja “memusatkan pikiran” (merimnaÅ) mempunyai akar kata yang sama dengan “tanpa kekuatiran” (amerimnos; LAI:TB/RSV/ESV). Tatkala seseorang kuatir tentang sesuatu hal, pikirannya selalu tertuju pada hal tersebut. Orang yang menikah akan menguatirkan hal-hal seputar keluarganya. Pikirannya pasti akan terpecah antara keluarga dan Tuhan.
Bagaimana dengan orang yang tidak menikah? Mereka memusatkan pikiran (seolah-olah “menguatirkan”) perkara-perkara Tuhan (ta tou kuriou). Paulus tidak lupa menerangkan apa yang ia maksud dengan perkara-perkara Tuhan. Perkara Tuhan berkaitan dengan bagaimana menyenangkan Dia (ayat 32b). LAI:TB sedikit menukar subyek-obyek di ayat ini (“bagaimana Tuhan berkenan kepadanya”), sedangkan semua versi Inggris dengan tepat mempertahankan terjemahan “bagaimana ia dapat memperkenankan Tuhan”. Perkara Tuhan juga merujuk pada kekudusan hidup (ayat 34b). Secara hurufiah bagian ini berbunyi: “bagaimana menjadi kudus di dalam tubuh dan roh” (mayoritas versi Inggris). Perkara Tuhan juga berhubungan dengan keadaan yang baik dan pelayanan kepada Tuhan yang konsisten dan tanpa gangguan (ayat 35b).
Berdasarkan penjelasan ini, kita dapat menarik kesimpulan bahwa mereka yang memutuskan untuk tidak menikah adalah mereka yang secara serius membaktikan hidup untuk Tuhan dan pelayanan tertentu. Begitu spesifik dan besarnya panggilan ke arah sana, sehingga pernikahan justru berpotensi mengganggu fokus tersebut. Dengan cara yang sama kita juga dapat menyimpulkan bahwa mereka yang selibat tidak merisaukan hal-hal duniawi yang sementara. Mereka tidak dikuasai oleh kekuatiran terhadap kehidupan mereka sendiri.
Kedua, menguasai keinginan seksual dengan baik (ayat 36-37). Ada dua kata penting di ayat 37 yang perlu kita perhatikan secara seksama, yaitu aschÄ“monein (LAI:TB “tidak berlaku wajar”) dan hyperakmos (LAI:TB “bertambah tua”). Kata yang pertama memiliki jangkauan arti yang luas: semua hal yang tidak wajar, tidak pantas, atau tidak ideal. Kata yang kedua secara hurufiah berarti “melampaui batas”. Sebagian versi memahami batasan di sini adalah usia, sehingga diterjemahkan “bertambah tua” (KJV/ASV/NASB/NIV). Sebagian lagi mengaitkannya dengan nafsu seksual, sehingga diterjemahkan “nafsunya besar” (RSV/NRSV/ESV). Mempertimbangkan ungkapan “menguasai kemauannya” di ayat 37 (versi Inggris “mengontrol keinginannya”), hyperakmos sebaiknya dihubungkan dengan keinginan seksual. Jika demikian, di ayat 37 Paulus sedang menganjurkan beberapa orang untuk menikah daripada mereka jatuh pada dosa perzinahan (bdk. 7:9). Sebaliknya, bagi mereka yang tidak memiliki kebutuhan seksual yang besar – yang ditandai dengan kemampuan untuk mengontrol keinginan seksual tersebut – mereka dianjurkan untuk tidak menikah (ayat 37). Poin yang ditekankan di sini adalah otoritas (exousia) atas keinginan seksual. Bukan berarti orang itu tidak memiliki keinginan seksual sama sekali (walaupun keadaan frigid bisa menjadi salah satu petunjuk yang mengarahkan pada kehidupan selibat). Ia mungkin memiliki hasrat seksual sama seperti orang lain, namun ia benar-benar dapat menguasai hasrat tersebut dengan sangat baik.
Ketiga, memiliki keyakinan hati yang besar (ayat 37). Dalam teks Yunani, ayat 37 dimulai dengan kalimat: “tetapi mereka yang diteguhkan hatinya secara kuat” (LAI:TB “benar-benar yakin dalam hatinya”). Pemunculan kata “hati” yang kedua kali di ayat ini menyiratkan sebuah penekanan (dalam teks Yunani, ayat 37c berbunyi “telah mengambil keputusan di dalam hatinya”, lihat KJV/RSV/ESV; kontra LAI:TB). Bentuk kata kerja perfek pada kata kerja “diteguhkan” maupun “memutuskan” (kekriken) menyiratkan tindakan yang terjadi pada masa lampau tetapi hasilnya tetap bisa dirasakan. Dengan kata lain, ini bukan keputusan emosional yang mendadak dan sesaat.
Walaupun proses untuk mengenali karunia selibat biasanya cukup panjang, melelahkan, dan – bahkan – menyakitkan, tetapi pada akhirnya orang yang selibat harus memiliki keyakinan yang kuat di dalam dirinya. Apa pun faktor yang dipakai Allah untuk mengarahkan seseorang pada keputusan tersebut, orang itu tetap harus menerima itu dengan kerelaan yang besar. Jalan yang harus ditempuh mungkin tidak mudah, namun keyakinan dan kerelaan hati yang besar akan menjadi modal yang penting untuk tetap bersukacita menjalani kehidupan selibat. Inilah yang membedakan orang-orang selibat yang diberi karunia ilahi dengan mereka yang selibat tetapi tanpa karunia Allah.
Aplikasi
Khotbah hari ini merupakan teguran bagi para orang tua yang selalu memaksa anak-anak mereka untuk menikah. Tuhanlah yang berhak menentukan masa depan seseorang, bukan orang tua maupun tuntutan sosial. Orang tua hanya membantu mengarahkan anak-anak mereka pada ketentuan itu. Khotbah ini juga merupakan penghiburan bagi anak-anak muda yang dipanggil Tuhan secara khusus bagi sebuah kehidupan dan pelayanan tertentu yang akan lebih efektif apabila dijalani sebagai seorang bujangan. Khotbah ini sekaligus menghibur beberapa orang yang sudah lebih dahulu menjalani kehidupan selibat. Tidak ada yang aneh dengan gaya hidup ini. Ini adalah gaya hidup anugerah. Beberapa tokoh besar juga sudah menjalani kehidupan yang sama: Tuhan Yesus, Yohanes Pembaptis, Paulus, dsb.
Pada akhirnya, inti dari segala sesuatu bukanlah menikah atau membujang, melainkan memberikan diri seutuhnya secara serius kepada Allah. Jikalau kita lebih efektif dalam mencapai tujuan ini melalui pernikahan, maka pernikahan adalah hal yang terbaik bagi kita. Jikalau kita merasa kehidupan selibat lebih memperbesar efektivitas hidup kita bagi Tuhan, maka kehidupan selibat adalah pilihan terbaik untuk kita. Soli Deo Gloria.