Kerohanian tidak terbatas pada relasi vertikal dengan Allah Tritunggal. Tidak pula diukur hanya dari penampilan & aktivitas seseorang di dalam gereja. Kerohanian sejati juga harus terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Secara lebih spesifik, yang bisa mengukur kerohanian seseorang dengan lebih cermat adalah orang-orang yang ada di dalam rumahnya. Keluarganya.
Mengapa demikian? Karena dalam keluarga tidak ada ruang untuk pencitraan. Tidak ada celah untuk kemunafikan. Semua terlihat secara transparan.
Bagaimana seorang Kristen seharusnya bersikap di tengah-tengah keluarganyanya? Apa alasan di balik sikap yang demikian?
Di Kolose 3:18-4:1 Paulus membahas tentang relasi antar keluarga: suami – isteri, orang tua – anak, tuan – hamba. Para teolog mencoba menafsirkan alasan di balik pembahasan. Ada yang mengaitkannya dengan rumor kedatangan Tuhan kedua kali yang segera akan terjadi sehingga sebagian orang Kristen tidak lagi peduli dengan hal-hal duniawi, termasuk dengan keluarga mereka. Ada pula yang menduga bahwa keluarga-keluarga Kristen mulai hidup secara sekuler, tidak berbeda dengan keluarga-keluarga lain yang duniawi. Walaupun dugaan-dugaan ini terdengar menarik, tetapi tidak ada petunjuk teks yang kuat ke arah sana. Semua hanya sekadar dugaan belaka.
Mengingat nasihat tentang relasi dalam keluarga juga muncul di beberapa bagian Alkitab yang lain (Ef. 5:22-6:4; 1Pet. 3:1-7), kita tidak perlu mencari alasan yang spesifik di balik pembahasan ini. Para penulis Alkitab mungkin hanya sekadar menasihati orang-orang Kristen untuk tidak mengabaikan tanggung-jawab mereka dalam keluarga. Menjadi keluarga besar (dalam gereja) bukan substitusi bagi keluarga kecil (dalam keluarga). Keduanya perlu dijaga keseimbangannya.
Perhatian Paulus terhadap keluarga pengatiuran domestik dalam keluarga di Kolose 3:18-21 sebenarnya tidak terlalu asing. Para filsuf yang menjadi pemerhati etika juga berkali-kali menegaskannya nilai penting keluarga dan bagaimana seseorang harus bersikap di dalamnya. Kekristenan bukan gerakan separatis yang menabrak semua tatanan sosial masyarakat. Bukan pula sebuah komunitas spiritual yang menarik diri dari tanggung jawab sosial.orang-orang Kristen ada di dalam dunia untuk menggarami dan menerangi apa yang sudah ada.
Apakah penjelasan ini berarti bahwa nasihat Paulus hanyalah sekadar petuah moral biasa? Sama sekali tidak! Paulus mengaitkan semua tanggung jawab keluarga ini dengan Injil Yesus Kristus. Perspektif Injil inilah yang memberi keunikan dalam nasihat-nasihat Paulus.
Tanggung jawab isteri (ayat 18)
Tanggung jawab seorang isteri pasti banyak dan beragam. Paulus tidak ingin mencantumkan semuanya di sini. Sebaliknya, dia hanya berfokus pada satu tanggung utama dalam kaitan dengan suaminya, yaitu ketundukan. Seorang isteri harus tunduk (hypotassesthe) kepada suaminya.
Bagi mereka yang mengadopsi feminisme, nasihat ini mungkin terlihat diskriminatif terhadap perempuan. Mereka menuntut kesetaraan gender. Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Dengan pola pikir seperti ini, tidak heran jika mereka mencoba menafsirkan ulang Alkitab, bahkan sebagian menolak otoritasnya.
Terlepas dari beberapa tujuan mulia di balik feminisme, misalnya peniadaan penindasan terhadap perempuan, pandangan tersebut kurang tepat. Alkitab mengajarkan laki-laki sebagai kepala, bukan penguasa. Kepemimpinan adalah rancangan awal dalam penciptaan (Kej. 1-2). Penaklukan maupun penguasaan merupakan hasil dari kejatuhan (Kej. 3).
Nasihat Paulus di Kolose 3:18 juga perlu diletakkan pada konteksnya, baik konteks kultural maupun tekstual. Dari sisi konteks kultural, masyarakat pada waktu itu memang patriakhal. Maksudnya, laki-laki dianggap sebagai figur dominan. Nah, di tengah budaya seperti inilah Paulus memberikan nasihatnya. Dia tidak sedang merombak tatanan sosial yang ada. Dia bukan tokoh politis yang reformis. Namun, dia juga bukan tergolong konformis. Dia tidak mau menerima tatanan sosial apa adanya. Dia tetap ingin ada sesuatu yang berbeda.
Dari sisi konteks tekstual, Paulus sangat berhati-hati dalam mengemas nasihatnya supaya tidak memberi kesan diskriminatif terhadap perempuan. Kata kerja “tunduk” (hypotassÅ) tidak selalu mengandung unsur penaklukan atau penguasaan. Kata yang sama digunakan, misalnya, dalam konteks anggota tubuh Kristus yang harus saling merendahkan diri satu sama lain (Ef. 5:21). HypotassÅ merujuk pada penundukan (subordination), bukan penaklukan (subjugation).
Di samping itu, Paulus juga masih memberi keterangan tambahan: “sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan” (hÅs anÄ“ken en kuriÅ). Kata “seharusnya” (anÄ“ken) sering muncul dalam filsafat Stoa dan merujuk pada kesesuaian dengan tatanan alamiah. Ide ini juga muncul di tulisan-tulisan lain di luar karya pemikir Stoa. Walaupun demikian, Paulus tidak mengambil ide tersebut seluruhnya. Dia menambahkan frasa “di dalam Tuhan” (en kuriÅ). Dia menyadari bahwa apa yang ada tidak selalu identik dengan apa yang seharusnya ada. Dosa telah membawa perubahan besar pada tatanan dunia. Kesesuaian bukan hanya dengan tatanan alamiah, tetapi dengan aturan Tuhan.
Tanggung jawab suami (ayat 19)
Gambaran keliru tentang suami yang otoriter di ayat 18 akan segera sirna ketika seseorang membaca ayat ini. Paulus menasihati para suami untuk mengasihi isteri mereka (ayat 19a, agapate tas gynaikas). Tugas utama seorang suami bukan menguasai atau mengatur, tetapi mengasihi isteri. Yang ditekankan bukan otoritas dan hak para suami, melainkan kewajiban dan tanggung jawab mereka.
Walaupun kata “mengasihi” (agapaÅ) tidak selalu merujuk pada kasih Allah kepada manusia, jemaat Kolose kemungkinan besar akan mengaitkan kasih ini dengan Allah. Kata kerja agapaÅ sudah muncul sebelumnya di 3:12 dan merujuk pada kasih Allah kepada umat-Nya (ayat 12a “sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya”). Lagipula, nasihat di 3:18-4:1 secara konsisten dihubungkan dengan Tuhan. Dukungan terakhir berasal dari nasihat paralel di Efesus 5:25. Di sana Paulus mendorong para suami untuk mengasihi isteri mereka seperti Tuhan telah mengasihi mereka.
Nasihat untuk mengasihi isteri dibarengi dengan larangan untuk tidak berlaku kasar terhadap isteri (ayat 19b). Hampir semua versi mengambil terjemahan ini. Terjemahan yang lebih hurufiah disediakan oleh NASB: “jangan menjadi pahit dengan mereka” (mÄ“ pikrainesthe pros autas). Kata kerja pikrainÅ memang memiliki arti “menjadi pahit” (Why. 8:11; 10:9, 10). Akar kata yang berhubungan dengan pikrainÅ (misalnya pikros) seringkali dikaitkan dengan kekuasaan yang otoriter. Mereka yang berada di bawah pemerintahan seperti itu seringkali mengalami kepahitan.
Menariknya, bentuk pasif pikrainesthe menyiratkan yang mengalami kepahitan mungkin adalah pihak suami (NASB “do not be embittered against them”). Para suami perlu menjaga hati supaya tidak mengalami kepahitan. Secara legal mereka memang memiliki hak dan kuasa atas isteri. Mereka bisa memaksa isteri untuk taat. Namun, nasihat untuk mengasihi isteri akan membatasi penggunaan kuasa tersebut. Suami mempersuasi isteri melalui kasih, bukan menguasai melalui kuasa. Hal ini memang bisa menimbulkan dilema bagi suami apabila isteri tidak memberikan ketundukan sebagaimana seharusnya. Memaksa dengan kuasa merupakan pelanggaran tetapi dibiarkan saja bisa menimbulkan kepahitan. Justru di situlah kasih memainkan peranan dominan. Kasih akan menjaga keseimbangan: tidak mengeksploitasi kekuasaan tetapi juga tidak dikuasai oleh kepahitan.
Tanggung jawab anak (ayat 20)
Anak-anak diperintahkan untuk menaati orang tua mereka (ayat 20a). Nasihat ini jelas cukup umum, baik dalam tradisi Yahudi maupun Yunani-Romawi. Menaati orang tua merupakan kebajikan yang dijunjung tinggi di hampir semua budaya. Dalam budaya Yahudi, perintah untuk menghormati orang tua diletakkan pada posisi teratas dalam deretan perintah yang mengatur relasi horizontal dengan sesama (perintah ke-5 dalam Dasa Titah). Anak yang durhaka dan membangkang terhadap orang tua bahkan layak dihukum mati (Im. 20:9; Ul. 21:18-21).
Ketaatan yang diharapkan diberi keterangan “dalam segala hal” (kata panta). Frasa ini merupakan tipikal nasihat dalam budaya kuno. Maksudnya, secara umum anak-anak memang sepatutnya menaati orang tua mereka dalam segala hal. Di balik anggapan umum ini tentu saja ada sebuah asumsi bahwa orang tua telah bertindak dengan benar sebagai orang tua yang baik. Dalam situasi seperti itu anak-anak perlu mempercayai dan mempercayakan diri mereka pada orang tua. Jadi, nasihat ini tidak boleh ditafsirkan secara mutlak sampai pada perintah orang tua yang secara jelas bertabrakan dengan firman Tuhan (bdk. Luk. 14:26; Kis. 5:29).
Dugaan di atas didukung oleh pemunculan frasa “karena itulah yang indah di dalam Tuhan” (ayat 20b, touto gar euareston estin en kuriÅ). Terjemahan “indah” di sini berarti “berkenan atau menyenangkan” (Rm. 12:1-2; 14:18; 2Kor. 5:9; Flp. 4:18). Jika ketaatan anak-anak kepada orang tua dipandang berkenan atau menyenangkan di dalam Tuhan, tidak mungkin ketaatan itu berkenaan dengan perintah orang tua yang bertabrakan dengan firman Tuhan.
Perlu dicatat, walaupun orang tua tidak secara mutlak selalu menerima ketaatan anak-anak, mereka patut dihormati dan dihargai tanpa syarat. Ini berarti bahwa anak tetap harus menunjukkan rasa hormat terhadap orang tua, bahkan ketika mereka merasa perintah orang tua bertentangan dengan Alkitab. Untuk perbedaan pendapat antara anak-anak dan orang tua yang tidak melibatkan firman Tuhan, anak-anak sepatutnya mengikuti orang tua. Dalam situasi seperti inilah ketaatan dan penghargaan anak-anak terhadap orang tua benar-benar diuji.
Tanggung jawab orang tua (ayat 21)
Paulus tidak lupa menyinggung tentang tanggung jawab orang tua (diwakili ayah) kepada anak-anak. Menariknya, kali ini tidak ada nasihat yang berbentuk perintah (misalnya didiklah atau nasihatilah). Yang ada hanyalah larangan: “Janganlah sakiti hati anakmu” (ayat 21a), yang diikuti oleh tujuan: “supaya jangan tawar hatinya” (ayat 21b).
Fokus pada larangan ini sangat mungkin menyiratkan keprihatinan Paulus terhadap posisi anak-anak dalam budaya kuno. Posisi mereka cukup mengenaskan. Anak-anak dianggap sekadar sebagai properti ayah mereka. Dalam kasus-kasus tertentu keadaan anak-anak justru lebih menyedihkan daripada para budak. Ada banyak contoh tentang situasi ini. Ayah berhak menentukan apakah bayi yang lahir layak diberi kesempatan untuk hidup atau tidak. Ayah dapat menjual anak-anaknya menjadi budak. Bahkan setelah anak itu bebas, si ayah masih bisa menjualnya lagi. Intinya, selama seorang anak berada di bawah penawasan ayah, dia menjadi milik ayahnya sepenuhnya.
Dalam konteks kultural seperti nilah, Paulus menasihati para ayah untuk tidak menyakiti hati anak-anak mereka. Terjemahan “sakiti hati” (erethizÅ) di sini sebenarnya tidak selalu mengandung arti negatif. Arti dasarnya adalah mengaduk-aduk hati seseorang, baik untuk sesuatu yang buruk (Kol. 3:21) maupun baik (2Kor. 9:2). Hampir semua versi Inggris mengambil terjemahan “memprovokasi” (KJV/RSV/ESV), entah kepada kemarahan (NASB) atau kepahitan (NIV).
Tujuan dari larangan tersebut adalah menjaga hati anak-anak supaya mereka tidak tawar hati (mÄ“ athymÅsin). Alkitab versi Inggris menerjemahkan kata athymeÅ di sini dengan “kehilangan hati” ( “lose heart,” NASB) atau “dipatahkan semangatnya” (“discouraged,” KJV/RSV/NIV/ESV”). Kata ini hanya muncul sekali di seluruh Perjanjian Baru. Di Perjanjian Lama (Septuaginta/LXX), kata ini seringkali berkaitan dengan “kemarahan” (1Sam. 1:6-7; 15:11; 2Sam. 6:8; 1Taw. 13:11). Jadi, gabungan antara erethizÅ dan athymeÅ menyiratkan sebuah tindakan yang menyulut kemarahan dalam hati.
Tentu saja kemarahan anak-anak tidak selalu diungkapkan di depan ayah secara terang-terangan. Budaya kuno waktu itu sangat membatasi kebebasan ekspresi anak-anak. Jika seorang ayah tidak terima dengan perlakuan anaknya, si ayah bisa melakukan apa saja terhadap anak tersebut. Akibatnya, kemarahan anak-anak biasanya hanya tertimbun di dalam hati. Dari kemarahan berubah menjadi kepahitan.
Biarlah melalui khotbah hati ini setiap keluarga Kristen dipulihkan oleh Tuhan sendiri. Tanpa Tuhan tidak mungkin ada harapan. Tuhan adalah alasan bagi setiap pemulihan. Soli Deo Gloria.