Relasi Dengan Dunia (Kolose 4:5-6)

Posted on 05/07/2020 | In Teaching | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/images/article/relasi-dengan-dunia-kolose-4-5-6.jpg Relasi Dengan Dunia (Kolose 4:5-6)

Relasi gereja dengan dunia tidak selalu berjalan semestinya. Bahkan seringkali terjadi kebalikannya. Gereja ada di dalam dunia seharusnya untuk memberikan dampak bagi dunia.Sayangnya, dunia seringkali tidak merasakan dampak apa-apa dari kehadiran dunia.

Di satu sisi gereja telah menjadi sama dengan dunia. Nilai dan gaya hidup duniawi dengan mudah menembus tembok gereja. Ironisnya, sebagian pendeta malah menjadi bintang iklan hedonisme duniawi: memberitakan kemakmuran dan menunjukkan kemewahan.

Di sisi lain gereja secara keliru telah melihat kerohanian hanya sebagai urusan pribadi antara mereka dan Allah. Paling jauh, antara mereka, Allah dan gereja. Mereka terlihat begitu antusias bersekutu dengan Allah dan melayani dalam gereja, namun tidak memiliki peranan signifikan di dalam dunia. Kehadiran mereka dalam dunia nyaris tidak terasa. Mereka telah lupa identitas mereka. Orang-orang Kristen bukanlah kumpulan kaum elite spiritual yang lebih sibuk dengan malaikat daripada dengan manusia. Kesenangan kita bukan berpetualang ke dunia roh melainkan berperan secara nyata di dalam dunia.   

 Situasi di atas sangat memprihatinkan. Gereja tidak berdampak bagi dunia karena telah menjadi sama dengan dunia. Kehadiran gereja tidak dirasakan oleh dunia karena gereja menarik diri dari urusan-urusan dunia.

Sudah waktunya kita secara proaktif merengkuh dunia tanpa menjadi duniawi, masuk ke dalam dunia tanpa terseret oleh arus di dalamnya. Kita tidak harus memberikan kontribusi yang signifikan berskala nasional atau internasional. Tidak semua orang dipanggil untuk itu. Namun, paling tidak, kita semua bisa mewarnai dunia dengan kehadiran kita. Melalui tindakan dan perkataan kita, dunia menjadi tempat yang lebih indah untuk ditinggali bersama.

Langkah kecil apa yang dapat kita lakukan bagi dunia? Bagaimana dunia dapat merasakan kehadiran kita di dalamnya? Marilah kita belajar bersama dari nasihat Paulus kepada jemaat Kolose di 4:5-6.

Dalam teks ini Paulus perlahan menggeser fokus nasihatnya: dari keluarga (3:18-4:1) kepada dunia (4:2-6). Dia menasihati jemaat untuk memiliki jangkauan pelayanan yang lebar. Orang-orang Kristen bukan jago kandang yang hanya bersuara lantang di dalam, tetapi pembawa kebenaran dan pembagi kehidupan di luar.

Ada banyak cara untuk mempengaruhi dunia. Paling tidak, kita bisa berdoa untuk kemajuan Injil Yesus Kristus (4:2-4). Namun, kita tidak boleh berhenti di situ saja. Kita juga harus menghidupi Injil (4:5-6). Tindakan dan perkataan kita harus mencerminkan nilai-nilai Injil.

 

Tindakan yang penuh hikmat (ayat 5)

Kata kerja “hiduplah” (peripateite) secara hurufiah berarti “berjalanlah” (KJV/ESV). Ada nuansa lebih dinamis dalam kata ini. Bukan sekadar “hidup,” tetapi aktif menjalaninya. Yang disorot terutama adalah tindakan kita (RSV/NASB “conduct yourselves; NIV “you act”). Aspek tindakan ini (ayat 5) nanti akan dibedakan dari aspek perkataan (ayat 6).

Nasihat untuk hidup dengan penuh hikmat bukanlah sesuatu yang mengagetkan. Kehidupan orang Kristen memang tidak terpisahkan dari hikmat. Dalam surat ini saja Paulus sudah berkali-kali menyinggung tentang hikmat. Hikmat sangat diperlukan untuk memahami kehendak Allah (1:9). Pemberitaan kebenaran juga perlu dilakukan dengan hikmat (1:28; 3:16).

Hikmat di sini tentu saja bukan menurut dunia (2:23). Hikmat dunia hanyalah seumpama fatamorgana: terlihat menjanjikan, tetapi menyesatkan. Hikmat yang dimaksud di sini berkaitan dengan Kristus karena “di dalam Dialah tersembunyi segala harta hikmat dan pengetahuan” (2:3).

Nasihat untuk hidup dengan penuh hikmat terhadap orang-orang luar di 4:5 sangat bertolak belakang dengan ajaran guru-guru palsu di 2:16-23. Hikmat kita bersumber dari Kristus (2:3), sedangkan hikmat mereka dari dunia (2:23). Hikmat dari Kristus menuntun kita pada interaksi yang membangun dengan semua orang (4:5), sedangkan hikmat mereka menciptakan gaya hidup spiritis yang aneh dan mengisolasi diri dari dunia (2:18, 21-23). Mereka yang memiliki hikmat dari Allah seharusnya mau terlibat ke dalam dunia milik Allah.

Bukan sebatas itu saja. Kalimat partisip di 4:5b menerangkan bagaimana wujud konkrit tindakan yang penuh hikmat dalam interaksi dengan orang-orang luar: “mempergunakan waktu yang ada” (LAI:TB). Secara hurufiah, bagian ini berbunyi: “dengan cara menebus waktu itu” (KJV “redeeming the time”). Maksudnya adalah menggunakan waktu sebaik-baiknya (RSV/ESV). Atau, secara lebih spesifik, memaksimalkan setiap kesempatan (NASB/NIV). Jadi, hidup dengan penuh hikmat tidak hanya mau terlibat, tetapi memaksimalkan setiap kesempatan yang lewat.

Bagaimana kita dapat memaksimalkan setiap kesempatan? Dengan menyadari betapa berharganya setiap kesempatan. Kata “menebus” (exagorazō) menyiratkan pembayaran. Ada harga yang dibayar untuk mendapatkan suatu barang. Jika barang itu tidak berharga, barang itu tidak dapat digadaikan dan tidak akan ditebus oleh pemiliknya. Kita tidak mungkin mau menebus sesuatu yang kita anggap tidak berharga. Begitu pula dengan waktu. Jika kita menilai hal itu berharga, kita pasti akan mati-matian mendapatkannya (kembali).

Satu-satunya yang berseberangan dengan kebenaran ini hanyalah penebusan Kristus. Yang ditebus tidak berharga, yang dijadikan tebusan justru sempurna. Namun, itupun dilakukan oleh Kristus karena kita sebelumnya telah dipilih untuk diselamatkan oleh Allah sejak kekekalan.  Dalam konteks rencana kekal inilah kita dipandang berharga, walaupun pada saat ditebus kita masih berdosa, lemah, dan menjadi seteru Allah.

Apakah kita benar-benar menganggap setiap kesempatan yang ada sebagai sesuatu yang berharga? Jika iya, kita pasti akan mendoakan dan memaksimalkannya. Kita mempersiapkan diri sebaik-baiknya supaya ketika kesempatan itu datang, kita dapat memaksimalkannya sebaik-baiknya. Tanpa persiapan dan persandaran pada Tuhan setiap kesempatan pasti akan terlewatkan.

 

Berkata-kata dengan penuh kasih karunia (ayat 6)

Kalau fokus Paulus di ayat 5 adalah tindakan, di ayat 6 adalah perkataan. Secara lebih spesifik, yang disorot di sini sebenarnya bukan “apa yang dikatakan,” melainkan “bagaimana berkata-kata.” Kata “senantiasa” (pantote) menyiratkan sebuah kebiasaan. Bukan sekadar perkataan tertentu yang diucapkan pada situasi tertentu. Ini tentang gaya berbicara anak-anak Tuhan.

Kata-kata kita harus senantiasa penuh kasih (LAI:TB). Secara hurufiah, bagian ini seharusnya diterjemahkan “di dalam kasih karunia” (en chariti, lihat versi Inggris “with grace” atau “gracious”). Sebagaimana kita sudah mengenal kasih karunia Allah (1:6), demikian pula perkataan kita harus mencerminkan kasih karunia itu (4:6).

Kata “kasih karunia” (grace) sangat berkaitan dengan “ucapan syukur” (gratitude). Kata Yunani yang sama  - yaitu charis – memang bisa berarti kasih karunia atau ucapan syukur. Dalam surat Kolose pun kata charis merujuk pada kasih karunia (1:2, 6; 4:6, 18) atau ucapan syukur (3:16). Keduanya sangat berhubungan erat. Tanpa kita menyadari bahwa segala sesuatu adalah grace, kita akan sulit untuk memiliki gratitude.

Kasih karunia Allah yang terbesar bagi kita tentu saja adalah Yesus Kristus sendiri (Yoh. 3:16; Rm. 8:32; 1Yoh. 4:9-10). Allah menjadi manusia untuk merengkuh dan mengalahkan kelemahan, penderitaan, dan kematian kita. Kasih karunia ini dinarasikan dengan sempurna di dalam Injil. Jika kasih karunia telah menguasai seluruh kehidupan kita, kasih karunia itu seharusnya terpancar dalam perkataan kita.

Paulus menerangkan perkataan yang penuh kasih karunia ini dengan “jangan hambar” (LAI:TB). Secara hurufiah, bagian ini berbunyi: “dibumbui dengan garam” (halati Ä“rtymenos, lihat semua versi Inggris). Majas figuratif yang berkaitan dengan garam sangat luas dan beragam. Arti spesifik yang dimaksudkan harus ditentukan oleh masing-masing konteks. Dalam Kolose 4:6, arti majas ini kemungkinan besar mengarah pada sesuatu yang enak atau nikmat (LAI:TB “tidak hambar”). Bukan sekadar menyenangkan orang lain, tetapi membangun orang tersebut. Padanan yang paling pas ada di Efesus 4:29b “pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia”. Jadi, perkataan yang beranugerah – dalam kedaulatan dan kebaikan Allah – bisa menuntun orang lain pada anugerah.

Jika kita terbiasa berbicara dengan penuh anugerah kepada semua orang, kita akan tahu bagaimana “harus memberi jawab kepada setiap orang” (ayat 6b). Yang ditekankan di sini lebih pada “bagaimana,” bukan “apa.” Jika perkataan kita dikuasai oleh anugerah, kita akan menjawab pertanyaan, keraguan, atau sanggahan orang lain dengan belas-kasihan, kesabaran, dan kelemahlembutan. Semua nilai ini bersumber dari Injil Yesus Kristus. Oleh belas kasihan-Nya Allah menyelamatkan kita. Dengan penuh kesabaran Dia mengejar dan merangkul kita pada diri-Nya. Dengan penuh kelemahlembutan Allah selalu menuntun kita pada kebenaran-Nya. Allah yang tidak membutuhkan apapun di alam semesta begitu menginginkan hati kita, sampai Dia rela mengurbankan Anak-Nya untuk mendapatkan kita!

Situasi yang sama pasti akan kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Ada orang-orang tertentu yang benar-benar menguji kesabaran kita. Yang asal bicara tanpa tahu apa yang dia bicarakan. Yang lebih mengandalkan otot daripada otak. Yang asal menyalahkan orang lain padahal dirinya sendiri lebih salah. Yang berlagak pintar padahal sedang memamerkan kebodohan dan kebebalannya. Ketika kita berada dalam situasi seperti ini, ingatlah kasih karunia Allah. Kitapun dulu jauh lebih buruk daripada itu, tapi Allah tak pernah menyerah untuk mendapatkan kita. Sebagaimana kita telah diselamatkan oleh kasih karunia, biarlah perkataan kita juga dikuasai oleh kasih karunia, sehingga kita bisa menuntun orang lain pada kasih karunia. Soli Deo Gloria.

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community