
Apa yang disampaikan dalam teks ini masih berkaitan dengan ayat-ayat sebelumnya. Hidup dalam kesatuan (4:1-3), sukacita (4:4), kebaikan (4:5), dan kedamaian (4:6-7) sangat dipengaruhi oleh apa yang kita pikirkan (4:8). Pikiran seseorang menentukan perasaan, perkataan, perbuatan, dan pergaulan seseorang. Semua dimulai dari pikiran.
Sayangnya, banyak keluarga kurang mengindahkan prinsip ini. Para orang tua lebih tergoda untuk menerapkan ratusan aturan bagi anak-anak tanpa menjelaskan mengapa dari perspektif injil Yesus Kristus peraturan-peraturan itu perlu dijaga. Mereka terjebak pada legalisme tanpa injil. Anak-anak juga lebih memilih untuk mengungkapkan ketidaksetujuan dan protes mereka terhadap orang tua melalui tindakan-tindakan yang negatif. Tidak ada upaya untuk mengubah cara berpikir pihak lain. Jika ini yang dilakukan, pemulihan dalam keluarga akan sulit dicapai.
Keharmonisan keluarga akan tercipta apabila semua memiliki pemikiran yang sama. Bukan berarti harus setuju dalam setiap hal. Kesatuan pemikiran, bukan kesamaan ide atau pendapat. Yang dipentingkan lebih ke arah cara berpikir, bukan isi pikiran. Pemikiran yang sama seringkali membawa pada pikiran yang sama.
Dalam teks kita hari ini Paulus mengajak jemaat Filipi untuk memikirkan hal-hal yang positif. Bagaimana seharusnya kita berpikir? Apa saja yang perlu kita pikiran?
Bagaimana seharusnya kita berpikir?
Terjemahan LAI:TB “pikirkanlah” di akhir ayat ini perlu dipahami secara lebih seksama. Ini bukan sekadar mengingat atau merenungkan. Kata logizomai lebih ke arah “mempertimbangkan”.
Mempertimbangkan di sini bukanlah tindakan akhir (sekadar aktivitas intelektual). Seseorang mempertimbangkan sesuatu untuk tujuan tertentu. Pertimbangan menentukan keputusan dan tindakan seseorang.
Sebuah contoh yang jelas disediakan di 3:13. Berbeda dengan para pengajar sesat yang menilai diri mereka sempurna, Paulus mengakui “Saudara-saudara, aku sendiri tidak menganggap (logizomai), bahwa aku telah menangkapnya”. Pemikiran seperti inilah yang membuat dia mampu berkata: “aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku”. Seandainya dia menganggap diri sudah sempurna, dia tidak akan bersusah-payah melakukan semuanya ini. Sekali lagi, apa yang kita pikirkan akan mempengaruhi apa yang kita putuskan dan lakukan.
Tentu saja tidak setiap pikiran akan menentukan perbuatan. Yang disorot adalah pemikiran (cara berpikir), bukan sekadar isinya. Ini tentang kebiasaan berpikir. Poin ini terlihat dari kata kerja logizesthe (imperatif present) yang menyiratkan sebuah tindakan yang terus-menerus. Paulus tidak hanya menasihati jemaat Filipi untuk mengingat hal-hal positif di ayat 8. Tidak cukup hanya memikirkan semua itu jikalau ada waktu luang atau di jam-jam tertentu. Pikiran kita harus terus-menerus tertuju pada hal-hal itu. Dengan kata lain, kita meletakkan pikiran kita di sana. Sepanjang waktu. Di semua keadaan. Kebiasaan berpikir seperti ini pasti akan menghasilkan perasaan, keputusan, dan tindakan yang benar.
Apa saja yang perlu kita pikirkan?
Sebelum kita menguraikan setiap poin secara detil, kita sebaiknya meneliti terlebih dahulu jumlah poin yang dimaksud oleh Paulus. Penerjemah LAI:TB menganggap ada delapan poin. Para penerjemah versi Inggris tidak menunjukkan sikap yang jelas; mereka hanya menyediakan petunjuk bahwa dua poin terakhir mungkin berbeda dari enam poin sebelumnya.
Pengamatan yang teliti terhadap sintaks dan tata bahasa Yunani menggiring kita untuk memperlakukan dua poin terakhir secara terpisah. Paulus tampaknya sengaja membedakan dua kategori ini. Kategori ke-1 (enam poin) menggunakan struktur “hosa + kata sifat” (“semua yang ……”). Kategori yang ke-2 (dua poin) memakai “ei tis + kata benda” (“jika ada……”).
Tugas selanjutnya adalah menemukan fungsi dua poin terakhir. Untuk apa Paulus memisahkannya dari enam poin sebelumnya? Para penafsir Alkitab pada umumnya menganggap dua poin terakhir sebagai rangkuman dari enam poin sebelumnya. Enam poin diringkas menjadi dua poin: semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji.
Fungsi yang lain adalah antisipasi poin-poin lain yang tidak sempat disebutkan oleh Paulus sebelumnya. Paulus hanya menyinggung enam poin, lalu menambahkan dua poin lain sebagai payung bagi semua poin yang belum tercantum.
Sekarang marilah kita menguraikan masing-masing poin ini. Yang pertama adalah “semua yang benar” (hosa estin alēthē). Kata “benar” (alēthēs) lebih mengarah pada sesuatu yang sesuai dengan kenyataan (aktualitas dari sesuatu).
Makna seperti ini tersirat dari beberapa kali kata alēthēs dikontraskan dengan “pembohong” atau “penipu”. Allah adalah benar (alēthēs), sedangkan manusia adalah pembohong (Rm. 3:4). Para rasul kadangkala dituduh sebagai penipu, padahal ternyata mereka dapat dipercayai (alēthēs, 2Kor. 6:8). Tidak seperti orang-orang Kreta yang suka berbohong, kesaksian dari firman Allah adalah benar (alēthēs, Tit. 1:12-13).
Yang kedua adalah “semua yang mulia” (hosa semna). Kata “mulia” (semnos) muncul beberapa kali dalam Alkitab, dan merujuk pada sesuatu yang terhormat. Sesuatu yang membuat seseorang pantas untuk dihormati. Sifat ini harus ada dalam diri para diaken (1Tim. 3:8) maupun isteri-isteri mereka (1Tim. 3:11). Bahkan orang-orang tua pun harus memiliki sifat ini (Tit. 2:2).
Jika konteks masing-masing pemunculan kata semnos ini diperhatikan, kita dapat melihat bahwa kehormatan yang dimaksud tidak berhubungan dengan status sosial maupun ekonomi. Kehormatan ini lebih berkaitan dengan sikap hidup yang baik (secara moral atau spiritual): tidak pemfitnah maupun pemabuk, sebaliknya hidup dalam kesederhanaan, kebijaksaan, dan iman yang sehat.
Yang ketiga adalah “semua yang adil” (hosa dikaia). Kata dikaios bisa berarti “benar” (NASB/NIV) atau “adil” (KJV/RSV/ESV). Arti mana yang sedang dipikirkan oleh Paulus cukup sukar untuk ditentukan. Secara pribadi saya lebih memilih arti yang pertama (benar). “Benar” dalam arti sesuai dengan kepatutan (1:7 “sudahlah sepatutnya”), misalnya seorang anak patut menaati orang tuanya (Ef. 6:1 “haruslah demikian”). “Benar” juga dalam arti sesuai dengan standar ilahi. Dengan kata lain, benar di sini mengarah pada “benar di hadapan Allah” (Rm. 1:13; 3:10; Gal. 3:11). Pendeknya, dikaios di sini mengarah pada kesesuaian dengan standar moralitas manusia maupun standar kekudusan Allah.
Yang keempat adalah “semua yang suci” (hosa hagna). Hampir semua penerjemah versi Inggris secara tepat menerjemahkan kata sifat hagnos di sini dengan “murni” (pure). Kemurnian dalam arti terbebas atau terpisah dari segala yang najis dan jahat. Jemaat Korintus seharusnya menjadi perawan yang suci (murni) bagi Kristus (2Kor. 11:2). Di tempat lain Paulus menyebut jemaat Korintus “tidak bersalah (murni) dalam segala perkara itu” (2Kor. 7:11). Timotius dinasihatkan untuk tidak terburu-buru menumpang tangan atas seseorang, sehingga turut terlibat dalam kesalahan; dia perlu menjaga kemurnian dirinya (1Tim. 5:22). Jadi, ide pokok yang disiratkan dalam kata tulisan-tulisan lain, kata ini seringkali merujuk phagnos adalah penjagaan diri dari semua yang najis atau jahat.
Yang kelima adalah “semua yang manis” (hosa prosphilē). Kata ini tidak pernah muncul dalam Perjanjian Baru. Berdasarkan pemunculan di Septuaginta (Est. 5:1; Sir. 4:7; 20:13) dan ada sifat yang disukai atau diperkenan oleh banyak orang. Kesukaan dan perkenaan ini terkait dengan keramah-tamahan, sesuatu yang bisa disetujui atau yang menyenangkan.
Yang terakhir adalah “semua yang sedap didengar” (hosa euphēma). Makna euphēmos yang lebih tepat adalah “terpuji” (ESV “commendable”; NIV “admirable”). Secara lebih spesifik, terpuji karena reputasinya (NASB “good repute”; KJV/ASV “good report”). Kata benda euphēmia muncul sekali di 2 Korintus 6:8, dan dikontraskan dengan “umpatan” (terjemahan yang lebih tepat “cemoohan” atau “laporan yang buruk”; lihat mayoritas versi Inggris).
Enam poin di atas tentu saja tidak lengkap. Karena itu Paulus lantas menambahkan “jikalau ada yang disebut kebajikan dan patut dipuji”. Intinya, segala sesuatu yang positif layak dan patut berada di pikiran kita terus-menerus.
Perspektif Injil Yesus Kristus
Sebagaimana sudah disinggung oleh sebagian penafsir, hal-hal positif yang disebutkan di ayat ini juga muncul di tulisan-tulisan lain di luar Alkitab. Para filsuf Yunani dan penulis Romawi kuno juga sering mengupas daftar kebajikan ini. Namun, hal ini tidak berarti bahwa Paulus meniru atau meminjam dari luar. Istilah-istilah yang digunakan sudah muncul di Septuaginta. Jumlah dan urutan kebajikan di daftar tersebut juga tidak sama dengan daftar di tempat lain.
Kemiripan dengan etika umum menyiratkan bahwa Paulus bersikap positif terhadap etika umum. Kebajikan umum merupakan bagian dari wahyu dan anugerah umum dari Allah. Dalam ungkapan Paulus, mereka memiliki “Hukum Taurat dalam hari mereka” (Rm. 2:14-15). Setiap orang Kristen juga harus menghargai dan menerapkan moralitas secara umum.
Walaupun demikian, Paulus pasti memahami semua istilah umum ini dari perspektif Kristiani. Sebagai contoh, “yang benar” (alēthos) bukan hanya kesesuaian dengan realita, tetapi dengan realita tertinggi (yaitu Allah) yang dinyatakan oleh Yesus Kristus sebagai Sang Kebenaran (Yoh. 14:6). Begitu juga dengan “yang adil/benar” (dikaios). Kebenaran sejati bukan dari perbuatan kita, melainkan kesempurnaan karya Kristus di atas kayu salib. Kita hanya perlu mengimani kebenaran Kristus tersebut supaya memperoleh kehidupan kekal (Rm. 1:16-17).
Pada momen Bulan Keluarga ini, marilah kita mendisiplin diri dalam hal pemkiran. Apa yang kita pikirkan sangat menentukan perasaan, perkataan, dan perbuatan. Pada akhirnya semua ini akan mempengaruhi keharmonisan dalam keluarga kita. Apakah Anda ingin mengalami perubahan dalam keluarga Anda? Mulailah dengan mengubah cara berpikir kita dan apa yang kita pikirkan. Soli Deo Gloria.