Injil mengungkapkan ketergantungan mutlak manusia pada Allah dalam keselamatan. Tanpa intervensi Allah tidak mungkin kita dapat dihidupkan dari kematian rohani kita. Orang yang mati tidak mungkin menghidupkan dirinya sendiri.
Ketergantungan ini tidak berhenti sampai di situ saja. Injil yang sudah menghidupkan seharusnya juga menjadi sandaran kehidupan. Sangat salah jika kita hanya memperlakukan Injil seperti jaket keselamatan yang kita lepaskan segera sesudah kita lepas dari bahaya. Seluruh kehidupan kita ditopang dan digerakkan oleh Injil. Yang menghidupkan berhak untuk menggerakkan kehidupan.
Prinsip ini berlaku untuk semua orang percaya, terutama mereka yang memberikan hidupnya sebagai pemberita Injil. Mereka dihidupkan oleh Injil, menghidupi Injil dan dihidupi oleh Injil. Dihidupkan oleh Injil: dari maut kepada kehidupan. Menghidupi Injil: mencerminkan nilai-nilai Injil. Dihidupi oleh Injil: mendapatkan tunjangan kehidupan dari Injil. Seluruh kehidupan mereka benar-benar menyiratkan ketergantungan mutlak pada Injil.
Teks kita hari ini merupakan bagian dari persiapan murid-murid sebagai para pemberita Injil. Mereka sudah diberi kuasa (10:1) dan penjelasan tugas (10:5-8). Tiba saatnya mereka diarahkan bagaimana mempersiapkan diri dalam perjalanan misi (10:9-15). Menariknya, mereka justru dinasihati untuk tidak terlalu banyak melakukan persiapan barang. Perjalanan misi dijalani dengan perbekalan seminimal mungkin (10:9-10). Tujuannya adalah melatih para pemberita Injil agar mereka menggantungkan hidup pada Injil. Inilah saatnya bagi mereka untuk mempraktekkan persandaran total pada Allah dalam seluruh kehidupan.
Sebagaimana mereka memperoleh kuasa secara cuma-cuma, demikian pula mereka seharusnya membagikannya (10:8b). Tidak boleh ada paksaan. Tidak boleh ada biaya yang ditentukan. Yang diperlukan hanyalah tunjangan kehidupan, bukan kelimpahan untuk hidup dalam kemewahan. Kecukupan, itulah kata kuncinya. Ajaran Tuhan Yesus sebelumnya tentang “janganlah kekuatiran” (6:25-33) perlu dipraktekkan dalam perjalanan misi.
Perbekalan (ayat 9-10)
Kata “membawa” (LAI:TB, ktaomai) memayungi deretan kata benda di ayat 9-10: emas, perak, tembaga, baju, kasut, dan tongkat. Arti di balik kata ktaomai sebenarnya bukan sekadar “membawa” tapi “mendapatkan” (Luk. 18:12; 21:19; Kis. 8:20; 22:28; NASB/ESV “acquire”). Maksudnya, murid-murid tidak perlu menambah perbekalan. Apa yang belum ada (emas, perak dan tembaga) tidak perlu disiapkan. Apa yang sudah ada (pakaian, kasut dan tongkat) tidak usah ditambahkan. Intinya adalah mencukupkan diri dengan apa yang ada dan tidak mengkuatirkan apa yang belum ada. Jika Anak Manusia saja tidak memiliki tempat untuk meletakkan kepala-Nya (8:20), maka para murid-Nya juga harus menyiapkan diri untuk situasi yang sama.
Murid-murid tidak membutuhkan emas, perak dan tembaga dalam perjalanan. Perbedaan peredaksian dengan kitab Injil lain (Markus = tembaga, Lukas = perak) menyiratkan bahwa yang dimaksud di sini adalah segala sesuatu yang dapat dijadikan persandaran selama perjalanan, entah dalam jumlah besar (emas dan perak) atau kecil (tembaga).
“Ikat pinggang” (ayat 9, LAI:TB, zÅnÄ“) sebenarnya lebih mengarah pada tas ikat pinggang daripada sabuk. ZÅnÄ“ adalah tempat untuk meletakkan beberapa barang (Mrk. 6:8). Dengan demikian zÅnÄ“ memiliki fungsi yang sama dengan kantong perbekalan (ayat 10, pÄ“ra; LAI:TB “bekal”, mayoritas versi Inggris “bag”). Yang satu untuk menyimpan barang (zÅnÄ“), yang satu makanan (pÄ“ra).
Murid-murid juga tidak boleh menyediakan dua baju (duo chitÅnas), sandal-sandal (hypodÄ“mata) maupun sebuah tongkat (rabdon). Bentuk jamak pada baju dan sandal menyiratkan bahwa dua barang ini sering dipakai dan cepat rusak/aus dalam pemakaian. Orang tergoda untuk menyediakan beberapa sekaligus sebagai antisipasi. Tongkat di sini berfungsi sebagai senjata (jika ada penyamun) dan alat bantu perjalanan (jika perjalanan turun-naik). Pendeknya, baju, sandal dan tongkat merupakan perlengkapan dasar dalam sebuah perjalanan. Murid-murid dilarang untuk menyediakan lebih daripada yang dibutuhkan. Apa yang sudah ada pada mereka (baju, kasut dan tongkat), cukuplah itu. Mereka tidak perlu menambahkan jumlah masing-masing barang tersebut.
Tuhan Yesus sedang mengajarkan mereka untuk bersandar pada Allah. Apakah itu berarti bahwa Allah akan menunjukkan mujizat-Nya sehingga selalu ada makanan dari surga (bdk. Kel. 16:13, 31) atau baju dan kasut mereka tidak akan rusak dalam jangka waktu yang lama (bdk. Ul. 29:5)? Tidak juga! Allah sudah menetapkan sebuah cara lain untuk memelihara hidup mereka. Allah selalu memelihara umat-Nya, tetapi bentuk pemeliharaan-Nya tidak selalu sama.
Kali ini bentuk pemeliharaan Allah terlihat biasa saja. Ayat 10b berkata: “sebab seorang pekerja patut mendapat upahnya”. Kata “patut” (axios) di sini lebih baik diterjemahkan “layak” (KJV/NASB/NIV “worthy”). Kata Yunani yang sama muncul juga di ayat selanjutnya (10:11, 13 LAI:TB “layak”). Kata ini bukan hanya menyiratkan kepantasan atau kepatutan (RSV/ESV “deserves”) tetapi sekaligus kehormatan para pemberita Injil. Mereka bukan seperti para pengkhotbah keliling dari aliran filsafat Cynics kuno yang perlu mengemis untuk mendapatkan uang atau makanan. Para pemberita Injil memang layak untuk mendapatkan upah mereka.
Pada saat yang sama kata ini juga tidak menyiratkan keharusan, apalagi paksaan. Pemberita Injil tidak boleh menggunakan prinsip ini sebagai dasar tuntutan untuk dinafkahi (bdk. 1Kor. 9:1-18). Semua kita terima secara cuma-cuma, karena itu juga perlu dibagikan secara cuma-cuma (Mat. 10:8). Adalah kehormatan bagi pendengar Injil untuk menyediakan upah, tetapi bukan bagian pemberita Injil untuk menuntut hal itu dari mereka.
Kata “upah” (trophÄ“) merujuk pada hal-hal pokok yang diperlukan untuk kelangsungan hidup. Kata ini bisa mengarah pada makanan (RSV/ESV), daging (KJV), atau tunjangan hidup (NASB). Makna yang disiratkan adalah kecukupan dasar. Tentang kebutuhan pokok dalam kehidupan, bukan simpanan dan kemewahan. Meminjam istilah Paulus, “Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah” (1Tim. 6:8).
Penerimaan orang (ayat 11-15)
Seperti sudah disinggung di atas, prinsip “seorang pekerja berhak mendapatkan upahnya” tidak boleh dijadikan dasar untuk menuntut orang lain memberikan tunjangan. Dalam hal ini para pemberita Injil sangat bergantung pada kebaikan orang lain yang mau menerima pemberitaan mereka. Mereka yang terbuka terhadap Injil sangat mungkin akan menyediakan penginapan, makanan dan bekal perjalanan selanjutnya bagi para pemberita Injil.
Situasi ini gampang-gampang susah bagi pemberita Injil. Gampang, karena masyarakat kuno umumnya menekankan keramahan terhadap orang asing. Itu termasuk praktek yang dianggap luhur dalam berbagai budaya kuno. Selain itu, jumlah orang yang sudah ditolong oleh Yesus di Galilea pasti ribuan. Tidak tertutup kemungkinan sebagian dari mereka akan siap membukakan rumah bagi murid-murid Yesus. Kalau diterima, itu berarti Allah memelihara hidup mereka melalui tuan rumah yang berbaik hati.
Susah, karena berita yang disampaikan oleh Yesus terdengar kurang sesuai dengan harapan populer waktu itu. Berita yang mereka bawa bahkan mungkin terdengar ofensif di telinga banyak orang Yahudi. Jika Yesus Kristus saja mendapat pertentangan dan penolakan berkali-kali, sangat wajar apabila murid-murid-Nya akan mengalami nasib serupa.
Salam yang disampaikan (10:12-13) tampaknya bukan sekadar sapaan formal untuk sopan-santun, karena salam ini bisa ditolak dan kembali kepada pemberi salam. Dengan kata lain, salam tersebut berhubungan dengan berkat Allah atas seseorang. Ada orang yang layak menerima salam, ada pula yang tidak layak (10:13).
Dengan demikian, salam dalam teks kita di sini lebih berkaitan dengan kedatangan kerajaan Allah (Yes. 52:7). Bukan sekadar “shalom” sebagai sapaan kultural. Kedamaian yang diberitakan tidak terpisahkan dari figur Yesus sebagai Mesias. Jika seseorang menerima salam dan berita yang disampaikan, orang itu akan mengalami damai sejahtera ilahi.
Bagaimanapun, tidak semua orang akan menyambut para pemberita Injil dengan tangan terbuka. Ketika hal itu terjadi, sang pemberita Injil tidak perlu berkecil hati. Hal-hal semacam itu memang harus diantisipasi sejak dini.
Mengapa mereka tidak boleh berkecil hati? Karena salam itu akan kembali kepada mereka sendiri (ayat 13b). Maksudnya, Allah akan menyediakan kedamaian ilahi bagi pemberita Injil. Penolakan manusia justru membawa berkat rohani dari Allah. Mereka dianggap layak untuk menderita bagi Kristus. Tidak ada yang perlu ditangisi di sini. Para pemberita Injil tidak boleh terlalu mengasihani diri sendiri ketika terjadi penolakan. Itu adalah berkat rohani.
Alasan lain untuk tidak berkecil hati adalah keadilan Allah. Jika suatu tempat bersikeras tidak mau menerima Injil, pemberita Injil boleh mengebaskan debu (ayat 14) sebagai tanda peringatan bagi yang menolak Injil (Kis. 13:51 “..Paulus dan Barnabas mengebaskan debu kaki mereka sebagai peringatan bagi orang-orang itu..”). Selebihnya dari tindakan itu adalah bagian Allah. Penolakan itu tidak akan dipandang enteng oleh Allah. Hukuman mereka akan lebih hebat daripada yang diterima oleh penduduk Sodom dan Gomora (ayat 15).
Ucapan yang sama juga nanti keluar dari mulut Yesus Kristus ketika Dia menyikapi penolakan penduduk beberapa kota di Israel (11:20-24). Para penolak Injil pada zaman Yesus akan dihakimi lebih berat karena peneguhan-peneguhan ilahi terhadap berita Injil sudah diberikan oleh Allah melalui berbagai mujizat. Berita yang disampaikan juga bukan hanya peringatan hukuman, melainkan damai sejahtera dalam kerajaan Allah di muka bumi. Yang lebih penting, Allah sendiri menjadi manusia dan tinggal di antara mereka. Kalau sampai berita seperti ini ditolak, hal itu menunjukkan betapa bebalnya hati mereka. Hukuman Allah sudah ada di depan mata. Soli Deo Gloria.