Mesias Yang Dinantikan: Raja dan Imam (Mazmur 110:1-7)

Posted on 09/12/2018 | In Teaching | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/images/article/mesias-yang-dinantikan-raja-dan-imam-mazmur-110-1-7.jpg Mesias Yang Dinantikan: Raja dan Imam (Mazmur 110:1-7)

Mazmur ini berbicara tentang seorang figur agung yang berperan sebagai raja (110:1) sekaligus imam (110:4). Kedudukannya begitu tinggi, sehingga dia didudukkan oleh TUHAN di sebelah kanan-Nya. Nuansa rajawi dan ilahi jelas tergambar dalam mazmur ini.

Sayangnya, banyak aspek dalam mazmur ini yang tidak sejelas kesan di atas. Ada beragam isu yang dipersoalkan dalam studi mazmur ini. Satu kali khotbah tidak mungkin bisa menguraikan semua aspek persoalan yang ada. Dalam khotbah hari ini hanya akan dibahas tiga isu saja: Apakah mazmur ini benar-benar mesianik? Apa latar belakang penggunaan mazmur ini dalam keagamaan Yahudi kuno? Aspek mesianik apa yang diajarkan dalam mazmur ini?

 

Apakah mazmur ini benar-benar mesianik?

Mazmur ini merupakan yang paling sering dikutip di dalam Perjanjian Baru. Tuhan Yesus menggunakan mazmur ini dalam perdebatan-Nya dengan para pemimpin agama Yahudi (Mat. 22:44-45; Mrk. 12:35-37; Luk. 20:41-44). Petrus menyinggung tentang mazmur ini dalam khotbahnya pada saat Hari Pentakosta (Kis. 2:35). Penulis Kitab Ibrani berkali-kali memakai mazmur ini untuk menunjukkan keutamaan Kristus (Ibr. 1:13; 5:6, 10; 6:20; 7:1, 2, 6, 10, 11, 15, 17). Kurang lebih ada sekitar 25 pengutipan dari mazmur ini di Perjanjian Baru. Semua pengutipan ini berkaitan dengan satu ide: Tuhan Yesus menggenapi nubuat mesianis di Mazmur 110.

Dalam tradisi Yahudi mazmur ini tidak selalu dimengerti secara mesianik. Orang-orang Yahudi lebih sering mengaitkan teks ini dengan Abraham atau Daud daripada dengan Mesias. Bagaimanapun, penafsiran mesianik tetap ditemukan dalam tulisan para rabi Yahudi. Salah satu targum maupun penafsiran kuno (Midrash Tehillim) mengaitkan teks ini dengan mesias.

Seandainya mazmur ini tidak bersifat mesianis, sukar dipahami mengapa para penulis Perjanjian Baru begitu sering menggunakannya sebagai rujukan untuk Kristus. Lebih jauh, penggunaan teks ini juga dalam konteks perdebatan dengan orang-orang Yahudi. Jika teks ini tidak mesianis, bukankah orang-orang Yahudi pada abad ke-1 dengan mudah akan mematahkan penafsiran ini? Jadi, penafsiran mesianik terhadap teks ini mempunyai dukungan yang cukup kuat.

 

Apa latar belakang penggunaan mazmur ini?

Sebagaimana nubuat tentang mesias dalam Alkitab dibukakan sedikit demi sedikit, demikian pula dengan makna mazmur ini. Pada masa awal mazmur ini mungkin tidak langsung dipahami secara mesianis. Perubahan zaman dan pergulatan politik bangsa Israel secara perlahan menunjukkan bahwa mazmur ini kemungkinan besar merujuk pada kehadiran seorang Raja yang khusus. Bukan raja-raja yang selama ini pernah memerintah di Israel. Apa yang dibicarakan di sini melampaui jaman Daud, Salomo atau raja-raja sesudah mereka.

Ada beragam usulan tentang latar belakang mazmur ini: kemenangan perang, penahbisan raja, perayaan tahunan hari penahbisan raja, dsb. Tidak ada cara untuk memastikan opsi mana yang paling tepat. Beberapa penafsir bahkan memilih untuk menafsirkan mazmur ini secara mesianis dan tanpa menggubris penggunaan awal dari mazmur ini.

Di antara semua opsi yang tersedia, yang paling masuk akal adalah penggunaan mazmur ini pada penahbisan Raja Salomo. Dia adalah seorang raja dengan kekuasaan yang begitu luas. Walaupun dia bukan seorang imam, tetapi beberapa tindakannya berkaitan dengan bait Allah. Dialah yang membangun bait Allah. Dia juga yang memimpin doa pada saat penahbisan bait Allah. Dia juga mengajar bangsa Israel dengan kebijaksanaannya.

Dalam perkembangan selanjutnya, nuansa mesianik dalam mazmur ini semakin terlihat dan dihargai. Pengharapan mesianik secara umum semakin menguat sesudah pembuangan di Babel. Tidak ada lagi raja yang memerintah di Israel. Keadaan mereka jauh dari ideal. Situasi ini memaksa mereka untuk memikirkan janji-janji Allah dengan kacamata yang baru. Allah pasti setia terhadap janji-janji-Nya. Persoalannya, bagaimana janji-janji mesianik yang terlihat begitu universal dan ideal dapat digenapi sedangkan kondisi bangsa Israel sedang terpuruk? Pergulatan semacam ini mendorong orang-orang Yahudi untuk menafsirkan teks-teks Perjanjian Lama dengan perspektif yang baru.

Salah satu teks yang dikaji ulang adalah Mazmur 110. Mesias adalah seorang raja (ayat 1-3) sekaligus imam (ayat 4-7). Dua hal ini sangat menarik. Dalam sejarah Israel, dua jabatan ini tidak pernah digabungkan. Waktu Raja Saul memutuskan untuk mempersembahkan korban bakaran sendiri, dia mendapat teguran keras dari Samuel (1Sam. 13:9-14). Pada masa pemerintahan dinasti Hashmonean – yang dipimpin oleh keluarga imam – jabatan raja dan imam coba digabungkan, tetapi strategi ini mendapat reaksi keras dari para alim ulama Yahudi. Jika demikian, siapa yang pantas menggenapi nubuat mesianik yang menggabungkan jabatan raja dan imam sekaligus ini?

Seandainya mazmur ini bukan merujuk pada Salomo melainkan pada Mesias yang akan muncul di periode yang sangat jauh dari kehidupan Daud, Mesias ini pasti bukan seorang manusia biasa. Daud sendiri memanggil Sang Mesias dengan sebutan “tuanku” (110:1). Tidak ada yang lebih tinggi daripada Daud di Israel. Mesias memang tidak identik dengan TUHAN, tetapi Dia setara dengan TUHAN. Yang jelas, Dia lebih mulia daripada Daud (Mat. 22:45). 

 

Aspek mesianik apa yang ada di mazmur ini?

Seperti sempat disinggung di atas, Mazmur 110 menampilkan Mesias dalam dua sisi: raja dan imam. Dua hal ini tidak boleh diceraikan. Pembacaan teks yang teliti menunjukkan bahwa ayat 1-3 sejajar dengan ayat 4-7. Dua bagian ini sama-sama berbicara tentang ketetapan TUHAN (ayat 1, 4) dan kekuasaan Mesias yang berdaulat atas bangsa-bangsa (ayat 2-3, 5-7). Frasa “di sebelah kanan” bahkan muncul dua kali (ayat 1 dan 5), walaupun dalam konteks yang berbeda. Ayat 1 tentang berbagi otoritas dan kekuasaan. Ayat 5 tentang dukungan dalam pertempuran.

Dengan berbekal pemahaman seperti ini, marilah kita sekarang melihat empat aspek mesianik dalam mazmur ini.

Pertama, penahbisan-Nya (ayat 1, 4). Keluhuran Mesias bersumber dari ketetapan TUHAN. Dia telah berfirman (ayat 1). Dia bahkan bersumpah (ayat 4a). Bukan hanya itu, sebagai bentuk penegasan, ayat 4b menambahkan: “Ia tidak akan menyesal”.

Jika TUHAN sudah berfirman, tidak akan ada yang berani menentang. Kalaupun ada yang mencoba untuk menentang, rencana TUHAN tetap tidak dapat dibengkokkan. Jika TUHAN sudah bersumpah, Dia akan memegang sumpah itu untuk selamanya. Itulah yang terjadi dengan janji ilahi di mazmur ini.

TUHAN memberikan nubuat mesianik ini melalui Daud. Ini berarti janji tersebut diucapkan-Nya sekitar 10 abad sebelum Yesus Kristus lahir. Selama kurun waktu 1000 tahun ini, banyak hal terjadi di Israel. Keagungan dan keruntuhan. Kebesaran dan penjajahan. Terlepas dari dari semua itu, TUHAN tetap mengingat dan setia kepada janji-Nya. Dia sudah berfirman dan bersumpah; Dia tidak akan berubah. 

Kedua, kekuasaan-Nya (ayat 1b-3, 5-7). Pembacaan yang cermat menunjukkan bahwa dalam hal kekuasaan, TUHAN lebih aktif daripada Sang Mesias. Dia sendiri yang mengucapkan firman dan sumpah (ayat 1, 4). Dia yang mendudukkan Mesias di sebelah kanan-Nya (ayat 1b). Dia yang meletakkan semua musuh di bawah kaki Mesias (ayat 1b). Tongkat kekuasaan Mesias berasal dari TUHAN di Sion (ayat 2). TUHAN yang akan meremukkan musuh-musuh Mesias (ayat 5). TUHAN pula yang akan menghukum bangsa-bangsa (ayat 6).

Hal ini tentu saja tidak berarti bahwa Mesias hanya bersikap pasif. Yang memerintah atas musuh-musuh tetap Mesias (ayat 2b). Mesias tetap berperang, tetapi disertai oleh TUHAN (ayat 5). Hanya saja, intervensi TUHAN memang ditampilkan lebih kentara. Sesudah semua proses pertempuran, Mesias pulang ke negerinya dengan kemenangan dan kesegaran (ayat 7).

Ketiga, keimaman-Nya (ayat 4). Beberapa raja memang melakukan fungsi keimaman (2Sam. 6:12-18; 1Raj. 8:14, 54-55). Namun, mereka tetap tidak memiliki jabatan sebagai imam. Hal ini berbeda dengan Mesias. Dia ditetapkan sebagai imam oleh TUHAN.

Bagaimana hal ini bisa terjadi? Bukankah Mesias dari keturunan Daud yang berasal dari suku Yehuda, bukan Lewi? Seandainya pun dari suku Lewi, bukankah jabatan imam besar hanya diperbolehkan dari keturunan Harun dan, lalu, Zadok?

Jawabannya terletak pada figur Melkisedek. Dia hidup sejaman dengan Abraham. Dia dikenal sebagai raja dan imam. Namanya berarti “raja kebenaran”, sedangkan dia disebut “raja damai” (Kej. 14:18 “raja Salem”). Menariknya, dia juga disebut “imam Allah Yang Mahatinggi” (Kej. 14:18b). Dia lebih tinggi dari Abraham, sebagaimana ditunjukkan melalui doa berkat yang dia ucapkan atas Abraham maupun melalui pemberian Abraham kepadanya (Kej. 14:19-20). Nah, jika Abraham sebagai nenek moyang bangsa Israel saja kalah tinggi dibandingkan Melkisedek, maka Melkisedek juga pasti lebih tinggi daripada Lewi, Harun maupun Zadok. Sang Mesias menjadi imam berdasarkan peraturan ini.

Keempat, penghakiman-Nya (ayat 2-3, 5-6). Beberapa kata atau ide yang muncul di mazmur ini – misalnya “musuh”, “untuk maju”, “meremukkan” dan “menghukum” – menyiratkan sebuah pemerintahan yang bergejolak. Kemenangan yang pasti memang sudah dijamin, tetapi hal itu bukan berarti tidak ada perlawanan. Mereka yang tidak mau tunduk kepada TUHAN dan Mesias akan berperang. Bagaimanapun, akhir dari semua upaya ini sudah pasti. Mesias akan menaklukkan dan menghukum mereka.

Kedatangan Mesias ke dalam dunia memang untuk menyelamatkan. Siapa saja yang mengakui dosa-dosanya, dia pasti akan diselamatkan. Namun, bagi mereka yang terus melawan, penghukuman juga sudah di depan mata. Mesias akan bertindak. Dia tidak akan tinggal diam. Waktuya akan tiba. Soli Deo Gloria.

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community