Menyatakan Kebenaran di dalam Kasih (Efesus 4:15)

Posted on 11/12/2017 | In Teaching | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/images/article/Menyatakan-Kebenaran-di-dalam-Kasih-Efesus-4-15.jpg Menyatakan Kebenaran di dalam Kasih (Efesus 4:15)

Dari sisi sintaks Bahasa Yunani, ayat 11-16 merupakan satu kalimat, dengan induk kalimat terletak di ayat 11. Ayat 15 hanyalah salah satu frasa yang menerangkan ayat 13, yaitu tentang bagaimana orang-orang Kristen dapat bertumbuh menuju kedewasaan secara utuh (dari sisi iman, pengetahuan, kedewasaan, dan keserupaan dengan Kristus). Untuk mencapai tujuan yang utuh seperti ini, tidak hanya diperlukan kasih antar sesama orang percaya. Kebenaran juga harus menjadi bagian integral dalam pertumbuhan ini. Keseimbangan antara kasih dan kebenaran adalah keharusan dan hal yang tidak terelakkan jika yang dituju adalah pertumbuhan secara menyeluruh.

Terjemahan hurufiah

Kunci untuk memahami inti khotbah hari ini terletak pada terjemahan yang benar atas ayat 15. Penerjemah LAI:TB memilih untuk memahami bagian ini sebagai berikut: “Tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala”. Terjemahan ini dalam beberapa hal kurang sempurna. Dalam teks Yunani tidak ada kata “berpegang teguh pada kebenaran”. Kata alētheuō seharusnya diterjemahkan “mengatakan kebenaran” (Gal. 4:16 “Apakah dengan mengatakan kebenaran kepadamu aku telah menjadi musuhmu?”). Jadi, yang ditegaskan di ayat 15 bukan sekadar memegang kebenaran untuk diri sendiri (kontra LAI:TB), melainkan membagikannya kepada orang lain (hampir semua versi Inggris “speaking the truth”).

Kelemahan lain dari terjemahan LAI:TB terletak pada ketidakjelasan posisi frasa “di dalam kasih”. Apakah frasa ini menerangkan “mengatakan kebenaran” atau “bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia”? Pertimbangan gramatikal mengarahkan kita untuk mengambil opsi pertama. Pilihan ini diambil oleh hampir semua penerjemah versi Inggris, dengan cara meletakkan tanda koma sesudah frasa “di dalam kasih”. Dengan kata lain, Paulus sedang menasihatkan jemaat di Efesus untuk “mengatakan kebenaran di dalam kasih”.

Keseimbangan antara kebenaran dan kasih ini beberapa kali disinggung di dalam Surat Efesus. Di pasal sebelumnya Paulus menyinggung tentang kekayaan hikmat dan rahasia Allah (3:1-13) maupun kekayaan kasih-Nya (3:14-21). Kita perlu memahami kebesaran hikmat/rahasia Kristus maupun kasih-Nya. Di bagian sesudahnya pun dia tidak lupa mendorong jemaat untuk saling mengasihi sebagai sesama orang percaya (4:17-32), sekaligus berani menolak dan menjauhkan diri dari ketidakbenaran (5:1-16).

Dalam konteks budaya postmodern, ajaran ini sangat relevan dan perlu ditekankan. Penolakan terhadap kebenaran absolut membuat banyak orang cenderung menegaskan kebersamaan dengan cara mengorbankan kebenaran. Ketidaksetujuan disamakan dengan serangan terhadap pihak lain. Keteguhan kepada suatu kebenaran dianggap kepicikan. Masyarakat postmodern tampaknya tidak siap merengkuh perbedaan. Mereka hanya menghindari dan menyangkali perbedaan. Kebenaran konseptual digantikan dengan keselarasan sosial.

Sikap di atas sukar diaminkan secara logis maupun diterapkan secara praktis. Merengkuh perbedaan seharusnya dimulai dengan mengenali perbedaan. Jikalau kita tidak saling mengetahui perbedaan masing-masing, bagaimana kita bisa merengkuh perbedaan-perbedaan itu? Penganut relativisme juga seringkali memutlakkan relativisme mereka Dengan melakukan hal ini, mereka sebenarnya sudah menyangkali relativisme mereka.

Secara praktis sikap tersebut juga sulit diaplikasikan secara konsisten. Penganut relativisme yang mengidolakan toleransi seringkali tidak bisa bersikap toleran dengan orang lain yang tidak toleran. Ini menunjukkan bahwa toleransi tanpa batas tidak mungkin dicapai. Toleransi secara sosial memang hal yang baik (kita perlu menerima perbedaan, menghargai pandangan orang lain, dan berani bekerja sama dengan orang yang berbeda pendapat dengan kita), tetapi toleransi secara konseptual secara esensial tidak mungkin direalisasikan (ada perbedaan-perbedaan fundamental yang tidak mungkin diselaraskan).

Dalam konteks seperti ini “mengatakan kebenaran di dalam kasih” menjadi sebuah kebutuhan mendesak. Kebenaran harus mendahului kebersamaan. Kebersamaan tanpa kebenaran hanyalah upaya saling memanfaatkan.

Tujuan dari “mengatakan kebenaran di dalam kasih”

Frasa di atas dalam teks Yunani berbentuk partisip (alēthuontes de en agapē). Fungsinya sebagai penjelasan tentang cara sebuah pertumbuhan dicapai. Dengan demikian, frasa ini hanya bersifat instrumental. Tujuannya terletak di ayat 15b, yaitu “bertumbuh ke arah Dia dalam segala sesuatu”.

Mengapa keseimbangan antara kebenaran dan kasih sangat diperlukan dalam pertumbuhan jemaat? Karena jenis pertumbuhan yang diharapkan memang khusus. Tidak asal bertumbuh. Tidak asal berkembang.

Pertumbuhan ini bersifat Kristosentris. Artinya, berpusat pada Kristus. Poin ini terlihat sangat ditekankan di bagian ini. Frasa “ke arah Dia” (eis auton) diletakkan persis sesudah kata “bertumbuh” dan sebelum kata “dalam segala sesuatu” (kontra LAI:TB “bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia”). Di samping itu, bagian terakhir dari ayat 15 juga menegaskan keutamaan Kristus sebagai Kepala jemaat (LAI:TB “Kristus, yang adalah Kepala”).

Tidak sukar untuk mengetahui mengapa sebuah pertumbuhan harus berpusat pada Kristus. Ukuran kedewasaan rohani berkaitan dengan pengetahuan tentang Anak Allah dan kepenuhan di dalam Dia (4:13). Pertumbuhan pun berasal dari Kristus (4:16 “Dari pada-Nyalah seluruh tubuh.... menerima pertumbuhannya dan membangun dirinya”).

Untuk mencapai hal ini, kebenaran merupakan elemen tak tergantikan. Jemaat perlu memahami dengan benar bahwa segala aspek kehidupan mereka, baik secara personal maupun komunal, terikat erat dengan Kristus. Dia adalah poros yang menggerakkan seluruh bagian. Apa saja yang tidak terikat pada-Nya berarti tidak layak untuk dipelihara. Pendeknya, dalam sebuah gereja yang ideal, kebenaran harus mendahului kebesaran.

Jikalau poin ini tidak dihiraukan – sebagaimana sedang terjadi di banyak gereja – semua aktivitas gerejawi menjadi sebuah hiruk-pikuk yang tanpa bentuk. Terlihat aktif, tetapi tidak substantif. Terkesan ramai, namun tidak permai. Gereja terjebak pada program, bukan pada kerohanian. Pelayanan menjadi pertunjukan dan hiburan, bukan kepanjangan tangan Tuhan untuk membangun kerohanian.

Gereja juga menjadi terbiasa dengan dosa. Kesalahan dianggap kewajaran. Pelanggaran tidak lagi mengagetkan. Yang penting semua senang. Kepuasan menjadi titik awal perencanaan dan tujuan akhir semua program. Semua dibuai oleh kebersamaan yang tanpa kebenaran. Tatkala Tuhan dibuang dari pusat kebersamaan, maka kebersamaan itulah yang akan menjadi Tuhan.

Yang kedua, kebersamaan juga harus bersifat utuh. Ayat 15b berbunyi: “bertumbuh di dalam segala hal”. Bukan beberapa hal. Bahkan bukan sebagian besar hal. Utuh berarti menyeluruh. Tidak ada satu aspek maupun bagian pun yang tidak tersentuh.

Pertumbuhan menyeluruh berarti mencakup semua orang. Sebagaimana seluruh bagian tubuh manusia perlu menerima pertumbuhan yang seimbang, demikian pula dengan gereja sebagai tubuh Kristus. Bahkan perbedaan panggilan dan karunia rohani pun dimaksudkan untuk pertumbuhan seluruh bagian (4:11-12). Pertumbuhan berkaitan dengan “semua bagian” dan “tiap-tiap anggota” (4:16). Tidak ada golongan elit di gereja. Tidak ada kelompok eksklusif. Semua setara. Semua sama rata. Perbedaan adalah kekayaan. Perbedaan untuk direngkuh dan dirayakan.    

Pertumbuhan menyeluruh berarti mencakup semua aspek kerohanian. Ayat 13 menerangkan bahwa aspek-aspek pertumbuhan rohani melingkupi “kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus”. Ada iman, pengetahuan, kedewasaan, dan kepenuhan Kristus. Pemahaman doktrinal memang diperlukan agar terhindari dari kesesatan (4:14), tetapi semua juga harus dilakukan di dalam kasih (4:15-16). Kualitas suatu gereja tidak dapat diukur hanya melalui kedalaman pengajarannya. Demikian pula sebaliknya. Kuantitas jemaat tidak selalu identik dengan kualitasnya. Kata kunci di sini adalah “menyeluruh”: emosional, intelektual, sosial, personal, dsb.

Pertumbuhan ideal seperti di atas, sekali lagi, tidak mungkin diraih tanpa keseimbangan antara kebenaran dan kasih. Tanpa kebenaran, kita hanya memiliki bangunan megah tetapi mudah goyah. Tanpa kasih, kita hanya memiliki komunitas yang berpondasi tetapi kering tanpa relasi. Marilah kita terus-menerus belajar untuk mengatakan kebenaran di dalam kasih. Menyatakan kebenaran dengan kasih. Mengasihi dengan kebenaran. Soli Deo Gloria.

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community