Sebagian besar dari Saudara mungkin sudah mengetahui bahwa gereja mengemban tugas dalam hal marturia (kesaksian), diakonia (pelayanan kasih), dan koinonia (persekutuan). Walaupun dalam banyak hal ketiga area ini tidak dapat dipisahkan (misalnya: ikatan kasih sesama orang percaya dapat menjadi jembatan penginjilan yang efektif, Kisah Rasul 2:42-47; 6:1-7), khotbah hari ini hanya akan difokuskan pada koinonia: orang-orang percaya perlu bersekutu bersama-sama, terutama dalam konteks pertemuan ibadah.
Ironisnya, banyak perkumpulan ibadah Kristiani yang kurang memberi penekanan pada aspek relasi horizontal (antar sesama orang percaya). Ibadah seringkali dipandang sebagai pembangunan relasi vertikal (antara orang percaya dengan Allah) yang lebih individualistis. Hal ini terlihat dari pemilihan lagu, setting ibadah, bentuk liturgi, dan sebagainya.
Mengapa persekutuan dalam ibadah Kristiani penting? Apa yang seharusnya kita lakukan? Marilah kita melihatnya dari Ibrani 10:24-25.
Analisa konteks
Nasihat di Ibrani 10:24-25 tidak diberikan di dalam kevakuman. Ada alasan-alasan tertentu mengapa nasihat ini perlu disampaikan.
Alasan pertama berhubungan dengan situasi konkrit para penerima surat yang sedang menghadapi bahaya kesesatan dan tekanan. Agama Yudaisme ingin diterapkan pada orang-orang Kristen, sehingga penulis Surat Ibrani merasa perlu menjelaskan keutamaan Kristus dari Musa, Harun, bait Allah, dsb. Para penerima surat diberi peringatan yang serius dan keras (10:26-31). Mereka dinasihati untuk terus bertahan (10:32-39). Di tengah situasi seperti inilah nasihat untuk terus memupuk persekutuan antar orang percaya diberikan. Dengan kata lain, persekutuan (koinonia) merupakan sarana ilahi yang efektif dalam melawan kesesatan dan tekanan.
Alasan lain berkaitan dengan posisi penerima surat di hadapan Allah. Secara tata bahasa nasihat di 10:24-25 merujuk balik pada 10:19-21. Karena jalan masuk kepada Allah melalui ibadah telah dibuka oleh darah Kristus yang sempurna (10:19-21), kita harus menghadap Allah dengan keberanian dan kesucian (10:22), memegang teguh iman kita (10:23), dan mengembangkan koinonia secara tepat (10:24-25). Pendeknya, bagaimana kita di hadapan Allah seyogyanya mempengaruhi bagaimana kita di hadapan manusia.
Inti nasihat: saling memperhatikan (ayat 24a)
Ibrani 10:24-25 merupakan satu kalimat, dengan induk kalimat terletak pada bagian awal ayat 24a, yaitu orang percaya seharusnya saling memperhatikan. Ayat 24b menerangkan tujuan dari budaya saling memperhatikan tersebut, sedangkan ayat 25 menjelaskan wujud konkrit dari perhatian itu.
Nasihat untuk memperhatikan (katanoeō) merupakan sesuatu yang menarik. Pada bagian sebelumnya, penulis Surat Ibrani menasihatkan mereka untuk memperhatikan Kristus (3:1). Sekarang obyek perhatian tersebut adalah sesama orang percaya (10:24a “saling memperhatikan”). Sebagaimana kita memperhatikan Kristus, hal yang sama kita terapkan pada orang lain dalam komunitas Kristen. Sebagaimana dalam ibadah perhatian kita tidak mungkin dialihkan dari Kristus, demikian pula dalam ibadah kita mengarahkan pandangan kita pada sesama. Penekanan pada relasi vertikal (dengan Kristus) tidak berrarti pengabaian relasi horizontal (dengan sesama orang percaya).
Bentuk kata kerja kekinian yang digunakan di 10:24a (katanoōmen) menyiratkan bahwa perintah ini tidak hanya dilakukan sesekali saja. Sama seperti beberapa orang telah terbiasa menjauhkan diri dari ibadah (10:25a), demikian pula kita diperintahkan untuk membiasakan diri saling memperhatikan. Tambahan “semakin giat melakukannya” di akhir ayat 25 turut mempertegas makna tersirat ini, sekaligus memberi penekanan baru pada intensitas tindakan tersebut. Pendeknya, “saling memperhatikan” harus menjadi sebuah budaya dalam gereja.
Tujuan nasihat: mendorong dalam kasih dan perbuatan baik (ayat 24b)
Kata depan eis yang mengikuti inti nasihat mengindikasikan sebuah tujuan. Saling memperhatikan bukanlah tujuan akhirnya. Ini hanyalah sebuah sarana untuk mencapai sesuatu yang lain, yaitu mendorong dalam kasih dan perbuatan baik (eis paroxysmon agapēs kai kalōn ergōn).
Penambahan frasa ini sangat penting, karena tidak semua perhatian adalah positif. Sebagian orang menjadikan perhatian sebagai titik akhir yang ingin didapatkan. Sebagian lagi memperhatikan hal-hal yang tidak penting. Yang lain memperhatikan untuk mencari kesalahan orang lain maupun hal-hal negatif lainnya. Jadi, memiliki kedekatan horizontal saja tidak cukup. Kedekatan ini perlu diarahkan pada sesuatu yang positif.
Apa yang dimaksud dengan “mendorong”? Banyak versi Inggris secara tepat memilih kata yang lebih kuat dan tegas: menyulut atau memicu (KJV/ASV/NRSV “provoke”; RSV/ESV “stir up”; NIV “spur”). Kata dasar paraxysmos di bagian ini hanya muncul 4 kali dalam Alkitab: Ulangan 29:27 (LXX), Yeremia 39:37 (LXX), Kisah Rasul 15:39, dan Ibrani 10:24b. Menariknya, kata paraxysmos selalu dikaitkan dengan kemarahan yang cukup serius. TUHAN sangat murka dengan umat-Nya atas dosa-dosa mereka (Ul 29:27; Yer 39:37). Dosa-dosa itu telah memicu kemarahan-Nya. Paulus dan Barnabas berselisih tajam dengan Paulus, dan akhirnya tidak bermitra lagi (Kis 15:39). Perbedaan pendapat di antara mereka seputar Yohanes Markus telah memicu perselisihan yang tajam tersebut.
Kata paraxysmos yang biasanya dihubungkan dengan kemarahan yang besar atau perselisihan serius, oleh penulis Surat Ibrani dilekatkan pada kasih dan perbuatan baik (10:24b). Dari cara ini terlihat bahwa ia sedang menyampaikan sebuah gambaran yang kuat. Kita tidak hanya dinasihati untuk mendorong dalam kasih dan perbuatan baik, tetapi memicu atau memprovokasi orang lain melakukannya. Kita tidak hanya sekadar memberitahu apa yang sebaiknya dilakukan. Kita menyulut pikiran dan perasaan orang lain. Kita tidak sekadar mengajak orang lain, melainkan membakar semangat mereka!
Pemunculan kata “kasih” yang disertai “perbuatan baik” juga cukup menarik. Kata “kasih” dan “perbuatan” juga sudah muncul secara bersamaan di 6:10. Penulis Surat Ibrani tampaknya ingin menandaskan ketidakterpisahan antara dua hal ini. Di satu sisi, kasih bukan sekadar perasaan belaka. Kasih harus diwujudkan dalam tindakan konkrit. Di sisi lain, perbuatan baik tanpa didasari kasih hanyalah legalisme etika yang tanpa makna. Kasih seharusnya menjadi tenaga yang mendorong setiap perbuatan baik.
Bentuk nasihat: bersekutu dan menasihati (ayat 25)
Dalam terjemahan LAI:TB ayat ini dipisahkan dari ayat 24, sehingga seolah-olah bagian ini merupakan nasihat baru. Dalam teks Yunani, bagian ini jelas merupakan anak kalimat. Dua kata kerja di ayat 25 (“menjauhkan diri” dan “menasihati”) berbentuk partisip (enkataleipontes dan parakalountes) yang menerangkan kata kerja utama di ayat 24 (“saling memperhatikan”). Penambahan ayat 25 menyiratkan bahwa “memperhatikan” di ayat 24 tidak terbatas pada pandangan mata. Memperhatikan bukan mengamat-amati belaka. Memperhatikan menuntut tindakan konkrit. Sama seperti kasih tidak terpisahkan dari perbuatan baik (ayat 24b), demikian pula perhatian termanifestasikan dalam perbuatan.
Bentuk perhatian yang pertama adalah “tidak meninggalkan persekutuan”. Kata Yunani enkataleipō (LAI:TB “menjauhkan diri”) sebaiknya diterjemahkan “meninggalkan” (13:5 “Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau”). Yang dikuatirkan oleh penulis tidak hanya keengganan atau inkonsistensi dalam bersekutu. Yang dipikirkan adalah bahaya meninggalkan persekutuan sama sekali. Dalam kenyataannya, sebagian orang memang sudah terbiasa tidak ada di dalam persekutuan (dalam versi Inggris ethos di ayat 25 digunakan kata “habit” atau “custom”).
Bentuk perhatian yang kedua adalah “menasihati” (parakaleō). Walaupun kata ini bisa mengandung arti “menasihati” (LAI:TB), tetapi banyak penerjemah secara tepat memilih “menguatkan” atau “mendorong” (KJV/ASV “exhort”; RSV/NRSV/NASB/NIV/ESV “encouraging”). Para penerima surat berada dalam tekanan ajaran sesat dan penganiayaan. Dalam situasi semacam ini semua orang berpotensi kehilangan pegangan, integritas, dan semangat. Ketakutan, kekuatiran, dan kelemahan mudah menyergap mereka. Allah menggunakan sesama orang percaya sebagai sarana penguatan. Mereka perlu saling menguatkan.
Apa yang dinasihatkan dalam teks ini berbeda dengan kecenderungan sebagian orang Kristen. Tatkala mereka memiliki masalah, mereka malah meninggalkan pertemuan ibadah. Beragam alasan dimunculkan: menenangkan diri, mencari suasana baru, atau lebih mendekatkan diri dengan Tuhan secara pribadi. Bukankah Tuhan sudah menetapkan persekutuan (koinonia) sebagai salah satu sarana untuk menguatkan dan menghibur kita? Soli Deo Gloria.