Keberadaan Allah menjadi isu yang terus diperbincangkan, baik di kalangan populer maupun akademis. Bagi sebagian orang, keberadaan-Nya tidak terlalu jelas. Jika Dia ada, mengapa manusia tidak bisa melihat-Nya? Kebaikan-Nya juga dianggap buram. Jika Dia baik, mengapa manusia menderita dan Dia tampaknya berdiam diri saja?
Tatkala dua pertanyaan di atas diajukan, tidak semuanya lahir dari sebuah pergumulan intelektual. Bagi beberapa orang, pergumulan ini bersifat emosional dan personal. Mereka sedang menderita. Mereka sedang putus asa. Mereka sangat membutuhkan Allah.
Di manakah Allah dalam situasi-situasi seperti ini? Benarkah Dia hanya berdiam diri dan terus-menerus menyembunyikan keberadaan-Nya? Tentu saja tidak.
Dia ada. Dia sedang bekerja. Bekerja dengan cara-Nya. Melalui kita, anak-anak-Nya.
Teks kita hari ini cukup singkat. Namun, teks ini juga cukup membingungkan. Apakah kehadiran Allah di dalam diri kita ditentukan oleh kasih kita kepada orang lain (“Jika kita saling mengasihi, Allah tetap di dalam kita”)? Apakah “kasih-Nya sempurna di dalam kita” menyiratkan bahwa kitalah yang menyempurnakan kasih itu? Apa pula kaitan semua ini dengan “tidak ada seorangpun yang pernah melihat Allah”?
Kunci untuk memahami kesulitan-kesulitan di atas adalah konteks dan sintaks. Dari sisi konteks, kita perlu mengetahui poin utama yang sedang dibicarakan. Dari sisi sintaks, kita perlu memerhatikan kata kerja yang digunakan dan hubungan antar anak kalimat di ayat ini.
Ayat 7-12 berbicara tentang Allah sebagai sumber kasih (4:7-8) yang sudah membuktikan kasih itu dengan jalan memberikan Anak-Nya yang tunggal bagi penebusan dosa kita (4:9-10). Sebagai respons terhadap hal ini, kita ditantang untuk menunjukkan kasih kepada sesama (4:11). Bagian ini lalu ditutup dengan kalimat “tidak ada seorangpun yang pernah melihat Allah” (4:12a).
Sekilas topik tentang keberadaan Allah yang tidak terlihat kurang begitu terkait dengan pembahasan tentang kasih. Ternyata tidak demikian. Yohanes memiliki maksud tertentu di baliknya. Allah memang tidak bisa dilihat (Yoh. 1:18). Kemuliaan-Nya yang sempurna membuat manusia tidak mampu memandang Dia (1Tim. 6:16). Walaupun demikian, hal ini tidak berarti bahwa Dia tidak ada atau tidak dapat dirasakan. Allah yang tidak bisa terlihat bisa “dilihat” keberadaan-Nya melalui kasih kita kepada sesama. Dengan kata lain, kasih Kristiani merupakan salah satu petunjuk ke arah Allah. Bukti konkrit dari suatu keberadaan yang tak terlihat.
Bagaimana kasih kita dapat membuktikan keberadaan Allah?
Kita di dalam Allah
Frasa “jika kita saling mengasihi, Allah tetap di dalam kita” dapat menimbulkan kesan bahwa berdiamnya Allah di dalam kita ditentukan oleh kasih kita kepada sesama. Jika kita tidak mengasihi sesama, maka Allah tidak mau berdiam di dalam kita. Kesediaan Allah berdiam di dalam kita merupakan upah atas kasih kita kepada sesama.
Kesan di atas ternyata keliru. Pembacaan yang lebih teliti menunjukkan sebaliknya. Kasih kita kepada sesama merupakan bukti bahwa Allah berdiam di dalam kita.
Hal pertama yang perlu diperhatikan adalah kata kerja “diam” (menei). Petunjuk waktu yang tersirat dari kata kerja yang digunakan adalah kekinian (present). Ini merujuk pada sebuah keadaan, bukan janji atau konsekuensi. Seandainya Yohanes memaksudkannya sebagai sebuah janji atau konsekuensi, dia mungkin akan memakai kata kerja berbentuk futuris (“akan berdiam”).
Hal lain yang penting adalah konteks. Ayat 11 menunjukkan bahwa kasih Allah justru menjadi alasan bagi kasih kita (“jikalau Allah sedemikian mengasihi kita, maka haruslah kita juga saling mengasihi”). Di beberapa ayat sebelumnya Yohanes juga sudah mengajarkan bahwa orang yang mengasihi lahir dari Allah dan mengenal Allah (ayat 7). Bahkan kasih kita kepada Allah didahului dengan kasih-Nya kepada kita (ayat 10). Jika Allah tidak lebih dahulu menyentuh dan diam dalam hati kita, bagaimana kita bisa mengasihi Dia dan sesama manusia? Kita tidak bisa membagikan apa yang kita tidak miliki.
Kasih Allah sempurna di dalam kita
Sama seperti poin sebelumnya, frasa “kasih-Nya sempurna di dalam kita” dapat memberi kesan yang keliru seolah-olah kesempurnaan kasih Allah bergantung pada kasih kita kepada sesama. Jika kita mengasihi, maka kasih Allah tidak akan menjadi sempurna. Kitalah yang menyempurnakan kasih ilahi itu.
Secara logis, kesan seperti itu sudah pasti keliru. Semua yang ada dalam diri Allah adalah sempurna. Tidak bisa berkurang atau bertambah. Ciptaan tidak mungkin menambah sesuatu pada Pencipta-Nya, seolah-olah Pencipta bergantung pada dan dipengaruhi oleh ciptaan.
Kesan keliru seperti di atas juga akan hilang pada saat kita mengetahui petunjuk waktu yang digunakan pada kata kerja “sempurna”. Dalam teks Yunani, Yohanes menggunakan partisip perfek (teteleiÅmenÄ“, “telah disempurnakan”) dan kata kerja “adalah” (estin, bentuk kekinian). Konstruksi kalimat seperti ini memang sedikit susah untuk diterjemahkan secara gamblang. Mayoritas versi Inggris memilih “sekarang disempurnakan” (“is perfected” atau “is made complete”). Makna yang ingin disampaikan dalam teks Yunani adalah seperti ini: kasih Allah sekarang disempurnakan di dalam kita, tetapi proses itu sebenarnya sudah berlangsung sebelumnya (YLT “his love is having been perfected in us”).
Terlepas dari bagaimana kita menerjemahkan teteleiÅmenÄ“ estin, kita akan mendapati kebenaran yang sama: kasih kepada sesama bukanlah penyempurna kasih Allah. Jika itu yang ada di pikiran Yohanes, dia sangat mungkin akan menggunakan bentuk futuris (“akan disempurnakan”). Kenyataannya tidak demikian. Kasih kita kepada sesama merupakan bukti bahwa kasih Allah sudah dan sedang disempurnakan di dalam kita.
Pemunculan kata “sempurna” di akhir ayat 7-12 ini cukup menarik. Ada kesinambungan yang jelas dari ayat 7 ke ayat 12. Kasih Allah bersumber pada diri-Nya sendiri (ayat 7-8) dan dinyatakan melalui Anak-Nya (ayat 9-10), dan akhirnya disempurnakan di antara anak-anak-Nya (ayat 11-12).
Poin ini begitu agung sekaligus bertabrakan dengan kecenderungan dalam diri kita. Kita terbiasa menempatkan diri sebagai penerima kasih Allah (objek) saja. Kita egois terhadap kasih itu. Hanya ingin mengalami dan mensyukuri, tanpa membagi. Itulah kita. Kita lebih merasa berbahagia sebagai penerima.
Khotbah hari ini mendobrak kecenderungan egoistik seperti ini. Kasih Allah tidak dimaksudkan untuk berhenti dalam diri Allah maupun di kayu salib. Tidak pula ditujukan untuk berhenti pada diri kita sendiri. Kasih itu untuk dibagi. Pada saat kita menunjukkannya, orang lain akan melihat Allah di dalam diri kita.
Bukankah dunia yang sedang terluka ini sangat membutuhkan kasih yang sempurna? Bukankah orang-orang di sekitar kita sedang menantikan uluran tangan kita? Kita yang sudah mengalami kasih Allah ditantang untuk menjawab tantangan dan kebutuhan yang ada di lapangan. Tugas ini seharusnya tidak terlalu sukar. Kita tinggal membagi apa yang kita sudah miliki. Soli Deo Gloria.