Menurut keyakinan Reformed orang yang sudah benar-benar diselamatkan di dalam Kristus tetap akan selamat sampai pada akhirnya. Doktrin yang sangat agung dan menghibur ini sayangnya seringkali disalahpahami. Sebagian orang menolaknya. Yang lain menyalahgunakannya. Menariknya, dua kubu ini sama-sama menganggap bahwa ketaatan dapat diceraikan dari iman atau keselamatan.
Alkitab memang mengajarkan keselamatan berdasarkan iman, bukan perbuatan. Namun, Alkitab yang sama juga menegaskan bahwa keselamatan tidak mungkin dipisahkan dari ketaatan. Allah menjamin keselamatan kita melalui ketaatan kita.
Apakah itu berarti bahwa keselamatan ditentukan oleh manusia? Tidak juga. Allah menggunakan berbagai sarana anugerah untuk memampukan kita menaati Dia. Salah satunya adalah komunitas orang percaya. Komunitas yang berani menasihati dan menegur adalah komunitas yang membangun.
Ketaatan adalah bukti keselamatan
Beberapa orang telah membaca teks kita hari ini secara keliru. Hanya berdasarkan kata “murtad” (aphistÄ“mi) di ayat 12 mereka lantas menyimpulkan bahwa keselamatan orang percaya bisa saja hilang. Yang menentukan keselamatan adalah manusia. Jika seseorang tidak taat dan akhirnya murtad, maka keselamatannya dapat musnah.
Penafsiran seperti ini tidak tepat. Teks kita justru mengajarkan kepastian keselamatan. Ketaatan bukanlah syarat, tetapi bukti keselamatan.
Salah satu dukungan bagi pernyataan di atas ada di ayat 14: “Karena kita telah beroleh bagian di dalam Kristus, asal saja kita teguh berpegang sampai kepada akhirnya pada keyakinan iman kita yang semula”. Teks ini tidak berkata: “kita akan beroleh bagian di dalam Kristus” Kata kerja yang digunakan berbentuk lampau (gegonamen). Lebih jauh, kata kerja perfek ini menyiratkan tindakan yang terjadi di masa lampaui dan akibatnya masih terlihat sampai sekarang. Artinya, kita sudah mendapat bagian dalam Kristus. Keteguhan kita untuk memegang iman adalah bukti bahwa kita memang sudah mendapat bagian.
Konsep yang sama ada di ayat 6b: “dan rumah-Nya ialah kita, jika kita sampai kepada akhirnya teguh berpegang pada kepercayaan dan pengharapan yang kita megahkan”. Dalam teks Yunani kata “ialah” berbentuk kekinian (esmen), bukan future (esesthe, “kamu akan menjadi”). Keteguhan iman, sekali lagi, adalah bukti, bukan syarat keselamatan.
Dukungan lain diperoleh dari ayat 19 “Demikianlah kita lihat, bahwa mereka tidak dapat masuk oleh karena ketidakpercayaan mereka”. Konklusi ini cukup mengagetkan. Ayat 12-19 banyak berbicara tentang ketidaktaatan, tetapi pada akhirnya yang disorot adalah ketidakpercayaan. Hal ini mengajarkan bahwa inti dari ketidaktaatan adalah ketidakpercayaan. Mereka tidak taat karena mereka pada dasarnya memang tidak percaya.
Lalu bagaimana kita memahami kata “murtad” di ayat 12? Jika keselamatan tidak mungkin hilang, mengapa diperlukan peringatan untuk tidak murtad? Pertanyaan ini dapat dijawab melalui dua cara.
Yang pertama, Allah menjamin keselamatan melalui berbagai sarana. Tidak jarang Dia menggunakan peringatan dan teguran yang keras. Semua disiplin ini dimaksudkan sebagai sarana yang menolong anak-anak-Nya untuk hidup di dalam kekudusan (12:5-10; 2Kor. 7:8-11).
Yang kedua, beberapa orang memiliki “kepastian” keselamatan yang palsu. Mereka menyamakan berbagai pengalaman spiritual dengan keselamatan. Hal ini tentu saja tidak benar. Sebagian bangsa Israel yang ditegur di 3:16-19 juga merasakan pertolongan TUHAN yang ajaib. Mereka melihat Laut Teberau terbelah, manna turun dari surga, gunung batu mengeluarkan air, dan sebagainya. Apakah semua pengalaman ini menjadi bukti bahwa mereka sudah diselamatkan? Tidak juga.
Contoh yang sama diberikan di 6:4-8. Orang-orang ini pernah diterangi hatinya, pernah mengecap karunia sorgawi, pernah mendapat bagian dalam Roh Kudus, dan mengecap firman yang baik dari Allah dan karunia-karunia dunia yang akan datang (ayat 4-5). Ternyata semua ini tidak berkaitan dengan – apalagi menjamin – keselamatan. Di ayat 9 orang-orang ini secara jelas dikontraskan dengan mereka yang benar-benar memiliki pengalaman keselamatan: “Tetapi, hai saudara-saudaraku yang kekasih, sekalipun kami berkata demikian tentang kamu, kami yakin, bahwa kamu memiliki sesuatu yang lebih baik, yang mengandung keselamatan”.
Rahasia di balik kepastian keselamatan
Penjelasan di atas tidak boleh dipahami seolah-olah keselamatan dapat diceraikan dari ketaatan. Keselamatan memang berdasarkan iman, tetapi iman yang menyelamatkan akan melahirkan ketaatan. Sebaliknya, kita tidak beranggapan bahwa keselamatan ditentukan oleh manusia. Keselamatan memang dibuktikan, tetapi bukan ditentukan melalui keselamatan. Dari awal Allah bekerja dengan penuh kasih karunia. Oleh anugerah-Nya kita beroleh bagian di dalam Kristus (ayat 14a). Allah yang sama juga menyediakan berbagai sarana anugerah untuk memastikan keselamatan tersebut. Ada yang melibatkan kita. Ada pula yang melibatkan komunitas orang percaya.
Bagaimana keselamatan sejati benar-benar tidak bisa hilang?
Pertama, hidup dengan penuh kewaspadaan (ayat 12). Kata “waspadalah” (blepete) secara hurufiah berarti “melihat”. Seberapa teliti penglihatan yang dimaksud dalam kata ini tergantung pada konteks. Karena blepete juga muncul di bagian akhir (ayat 19) yang berkaitan dengan peringatan yang keras (ayat 16-18), kita sebaiknya memahami blepete di ayat 12 sebagai upaya melihat yang sungguh-sungguh (kontra NIV). Makna yang tersirat lebih ke arah waspada (LAI:TB/KJV) atau berjaga-jaga (NASB/ESV).
Yang perlu diwaspadai adalah hati (ayat 12). Hati adalah area yang sangat sentral dan fatal. Di satu sisi, kehidupan terpancar dari hati (Ams. 4:23). Di sisi lain, semua dosa juga muncul dari hati (Mat. 15:19).
Alkitab berkali-kali mendorong kita untuk menguji diri atau hati kita. Pemazmur memohon kepada Allah untuk menguji hatinya (Mzm. 26:2; 139:23). Paulus menasihati jemaat di Korintus untuk menguji apakah mereka berada di dalam iman dan Kristus sungguh-sungguh di dalam mereka supaya mereka bisa tahun uji (2Kor. 13:5). Petrus mendorong orang-orang Kristen di perantauan untuk berusaha dengan sungguh-sungguh memastikan panggilan dan pilihan mereka (2Pet. 1:10).
Berkaitan dengan nasihat ini, kita perlu menjaga diri agar tidak terjebak pada penipuan diri sendiri. Menipu diri sendiri dapat mengambil beragam wujud. Merasa diri penting dalam hal kerohanian padahal tidak demikian (Gal. 6:3). Merasa diri sudah menguasai firman, tetapi hidupnya tidak dikuasai oleh firman (Yak. 1:22). Menganggap dirinya beribadah tetapi tidak mengekang lidahnya (Yak. 1:26). Yang paling parah adalah merasa diri tidak berdosa (1Yoh. 1:8).
Kedua, saling menasihat satu dengan yang lain (ayat 13). Dalam kedaulatan dan hikmat-Nya, Allah sudah menetapkan bahwa pertumbuhan rohani tidak mungkin dicapai dalam kesendirian. Pertumbuhan rohani memang harus personal, tetapi hal itu diraih secara komunal. Setiap orang harus bertumbuh, tetapi pertumbuhan ini melibatkan banyak orang. Kita saling membutuhkan.
Pada saat menasihati orang lain, kita perlu melakukannya dengan tekun. Kata “setiap hari”. Maksudnya, setiap kali ada kesempatan. Jangan lelah. Jangan menyerah. Jangan marah. Tugas kita hanyalah mendoakan dan menasihati. Mengubahkan adalah porsi Roh Kudus.
Selain dengan tekun, nasihat juga perlu diberikan secara sungguh-sungguh. Frasa “selama masih bisa dikatakan ‘hari ini’” menyiratkan bahwa kesempatan tidak selalu ada. Setiap kali kita dinasihati atau menasihati orang lain, anggaplah itu sebagai kesempatan terakhir. Kita tidak pernah tahu apakah Allah masih menyediakan kesempatan yang lain.
Jika tidak ada nasihat yang terus-menerus dan sungguh-sungguh, siapa saja bisa terlena dengan dosanya. Hatinya ditegarkan oleh dosa (ayat 13b). Itulah salah satu karakteristik dosa. Semakin lama kita menyelesaikannya, semakin lama kita mengalahkannya. Tidak menyelesaikan tidak sama dengan membiarkan. Tidak menyelesaikan berarti memberi ruang yang lebih besar. Keadaan akan bertambah parah.
Ketika kita melakukan suatu dosa, kita cenderung memeranginya sendirian. Kita tidak berani terbuka dengan orang lain untuk didoakan atau diarahkan. Perjuangan seorang diri ini seringkali menimbulkan kegagalan. Jika ini terjadi kita biasanya berusaha untuk menutupinya dari siapa saja. Lebih celaka lagi, kita kadangkala menutupi sebuah dosa dengan dosa yang lain. Ketika tidak bisa lagi ditutupi, kita akan menyangkali dan membenarkan dosa. Semua dalih dibeberkan sebagai pembenaran. Semua orang dan keadaan disalahkan. Jika semua proses ini terus berlangsung, hati kita akan menjadi semakin keras. Kita menjadi terbiasa dan merasa kebal terhadap dosa.
Apa yang seharusnya kita lakukan agar tidak dikeraskan oleh dosa? Kita memegang teguh pengakuan di dalam Kristus (ayat 14). Kita meyakini bahwa kita telah beroleh bagian dalam Kristus. Kita meyakini keberhargaan Kristus dalam hidup kita. Sama seperti Musa, kita meyakini bahwa kehinaan di dalam Kristus masih jauh lebih mulia daripada kehormatan manusia (10:26). Tatkala Kristus semakin terlihat indah dan berharga, kita akan semakin menyampahkan dunia dan dosa. Bukankah inti dari semua dosa adalah penyembahan berhala? Kita menganggap sesuatu di luar diri Allah sebagai sesuatu yang lebih indah daripada Allah. Hati kita tertambat di sana.
Hal lain yang diperlukan untuk membebaskan diri dari dosa adalah membuka diri terhadap teguran (ayat 15-18). Frasa “janganlah keraskan hatimu seperti dalam kegeraman” di ayat 15b sangat berkaitan erat dengan kemungkinan untuk dikeraskan oleh dosa di ayat 13. Rahasia untuk tidak dikeraskan oleh dosa adalah jangan mengeraskan hati pada saat menerima nasihat dan teguran. Kalau kita mengeraskan hati (terhadap nasihat dan teguran), maka hati kita akan dikeraskan (oleh dosa).
Kita perlu belajar dari kesalahan, baik diri sendiri maupun orang lain. Pelanggaran orang-orang tertentu di dalam Alkitab beserta dengan hukuman yang mereka tanggung (ayat 16-18) perlu untuk diperhatikan. Semua itu adalah pelajaran berharga bagi kita. Hal yang sama dapat menimpa kita apabila kita tidak berjaga-jaga.
Jadi, walaupun keselamatan di dalam Kristus adalah pasti, namun kita tetap perlu menguji apakah kita benar-benar sudah di dalam Kristus. Kesejatian iman ini diwujudkan melalui ketaatan. Apakah kita sungguh-sungguh mau menjaga hati kita terus-menerus? Apakah kita mau membuka diri untuk dinasihati dan menasihati? Soli Deo Gloria.