Bagian ini tampaknya mendapat perhatian dan penekanan khusus dari Matius. Posisinya di bagian akhir menyiratkan nuansa klimaks dari teks ini. Beberapa paralelisme yang berkutat pada angka dua turut memperjelas keindahan dan kekuatan teks ini: dua perintah lama (ayat 43), dua perintah baru (ayat 44), dua alasan mengasihi musuh (ayat 45-47), dua contoh kebaikan ilahi bagi semua orang (ayat 45), dua kelompok manusia (ayat 45: jahat-baik, benar-tidak benar), dua perwakilan orang berdosa (ayat 46-47: pemungut cukai dan orang yang tidak mengenal Allah).
Semua keistimewaan ini sangat mungkin dimaksudkan sebagai sebuah petunjuk bahwa perintah di ayat 5:43-48 merupakan yang tersulit di antara semua yang sudah diuraikan sebelumnya sejak 5:21. Dalam kehidupan kita sehari-hari kita saja seringkali mengalami kesulitan mengasihi orang-orang yang ada di dekat kita maupun yang kita tidak kenal, apalagi mengasihi musuh-musuh kita. Ini jelas bertentangan dengan natur kita.
Perintah yang lama (ayat 43)
Perintah untuk mengasihi sesama manusia bersumber dari Imamat 19:18. Ketidakadaan frase “seperti dirimu sendiri” tidak perlu dibesar-besarkan. Matius mungkin hanya berusaha menciptakan paralelisme antithesis yang sempurna antara “kasihilah sesamamu” dengan “kasihilah musuhmu”.
Orang-orang Yahudi memahami “sesama manusia” secara lebih sempit. Mereka hanya membatasi ungkapan itu pada sesama bangsa Israel (bdk. Im 19:18a “terhadap orang-orang sebangsamu”). Contoh yang jelas dari konsep populer ini tersirat dalam perumpamaan Orang Samaria Yang Baik Hati (Luk 10:25-37). Perumpamaan ini merupakan jawaban Tuhan Yesus terhadap pertanyaan “Siapakah sesamaku manusia?” yang dilontarkan oleh seorang ahli Taurat untuk mencobai Dia.
Frase “dan bencilah musuhmu” (Mat 5:43b) merupakan sebuah tambahan. Bagian ini tidak bersumber dari kitab suci. Ini hanya menyiratkan pandangan umum lain yang berkembang pada zaman itu di kalangan orang-orang Yahudi. Mengasihi sesama dipersepsi secara logis terbalik (mengasihi >< membenci, sesama >< musuh), namun pemikiran seperti ini ternyata keliru. Mengasihi sesama tidak identik dengan membenci musuh.
Perintah yang baru (ayat 44)
Tuhan Yesus berusaha menafsirkan Imamat 19:18 apa adanya. Sesama manusia ya berarti semua manusia, tidak peduli siapa dan bagaimana relasi orang itu dengan kita. Dengan pemikiran semacam ini, musuh-musuh pun masuk dalam kategori sesama manusia. Jika demikian, kita juga harus mengasihi musuh-musuh kita.
Di mata Tuhan Yesus, kasih bukan hanya ada di dalam hati. Ini berkaitan dengan tindakan (action), bukan hanya perasaan (enmotion). Ada bukti konkrit dari kasih itu.
Mengasihi berarti mendoakan (ayat 44b). Yang dimaksud di sini jelas bukan mendoakan supaya musuh-musuh itu mati atau dihukum Tuhan. Yang didoakan adalah pertobatan mereka. Yang diminta adalah seperti doa Tuhan Yesus di kayu salib: “Ya Bapa, ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk 23:34).
Mendoakan musuh tidaklah mudah. Di hadapan Allah kita tidak bisa berdusta atau berpura-pura. Kita mungkin masih bisa bersikap munafik dengan cara berpura-pura ramah terhadap musuh-musuh kita, namun semua topeng itu akan lepas apabila kita berada dalam hadirat Allah. Apakah kita mendoakan untuk kebaikan Allah bagi mereka yang sudah berbuat jahat kepada kita?
Mengasihi juga berarti berbuat baik (ayat 45). Doa saja tidaklah cukup. Melalui doa kita berharap agar Allah berbuat baik kepada musuh-musuh kita. Ayat 45 mengajarkan agar kita sendiri yang melakukan kebaikan itu kepada musuh-musuh kita. Allah sudah memberikan sebuah teladan kebaikan yang indah: Ia memberikan hujan dan sinar matahari kepada semua orang tanpa terkecuali. Kita pun patut mengikuti jejak-Nya.
Mengasihi juga berarti memberi salam (ayat 47). Memberi salam menyiratkan sebuah inisiatif. Bukan hanya itu. Dalam budaya Yahudi, sebuah salam sekaligus berisi ucapan berkat (10:12-13). Ini bukan sekadar sapaan biasa. Ini mengandung sebuah doa kepada Allah. Jadi, dalam taraf tertentu mendoakan musuh dan memberi mereka salam memiliki sebuah kesamaan: sama-sama berharap yang baik untuk mereka. Bedanya terletak pada obyek perkataan: Allah (di dalam doa) dan musuh (di dalam salam).
Alasan bagi perintah yang baru (ayat 45-47)
Perintah yang sulit, yaitu untuk mengasihi musuh dan membuktikan kasihitu dalam bentuk tindakan-tindakan konkrit, memerlukan sebuah pembenaran (justifikasi) yang masuk akal. Atas dasar apa kita harus mengasihi musuh? Tuhan Yesus menjawab pertanyaan ini melalui dua cara. Yang pertama secara langsung dalam bentuk pernyataan (ayat 45) Yang kedua secara tidak langsung melalui pertanyaan (ayat 46-47). Poin yang ingin disampaikan melalui dua cara ini juga berbeda.
Alasan pertama adalah sifat Allah dan status kita sebagai anak-anak-Nya (ayat 45). Alkitab berulang kali menandaskan kebaikan Allah yang bersifat universal. Mazmur 144:9 berkata: “TUHAN itu baik kepada semua orang, dan penuh rahmat terhadap segala yang dijadikan-Nya.” Sama seperti Allah yang mengasihi semua ciptaan-Nya tanpa perkecualian, kita pun diajar untuk mengasihi sesama manusia tanpa perkecualian.
Sekilas Matius 5:45 dapat menimbulkan kesalahpahaman seolah-olah status sebagai anak-anak Allah diperoleh melalui usaha kita dalam meneladani Dia. Bukan ini yang sedang dipikirkan oleh Tuhan Yesus. Dalam bagian sebelumnya Ia sudah menunjukkan bahwa Allah adalah Bapa orang percaya (5:16). Kesalehan kita bukan syarat menjadi anak-anak Allah, melainkan alat supaya orang lain mengetahui status kita sebagai anak-anak Allah. Matius 5:48 menyiratkan bahwa relasi kita dengan Bapa surgawi merupakan landasan kesalehan kita. Karena kita adalah anak Allah, maka kita harus berperilaku seperti Bapa yang penuh kasih (Ef 5:1-2; 1 Yoh 4:7-12).
Di balik konsep di atas ada perspektif budaya Semitik. Orang-orang Yahudi seringkali menggunakan ungkapan “anak-anak…” atau “keturunan…” (bdk. 3:7; 12:34; 23:33). Ungkapan-ungkapan seperti ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa secara umum seorang anak akan berperilaku seperti orang tuanya. Misalnya, kepada orang-orang Yahudi yang menolak kebenaran, Tuhan Yesus menegur mereka sebagai anak-anak Iblis, bapa segala dusta (Yoh 8:44).
Alasan kedua adalah tuntutan kesalehan Kristiani (ayat 46-47). Dalam bagian ini Tuhan Yesus menyinggung tentang kualitas kesalehan pemungut cukai dan orang yang tidak mengenal Allah. Dua kelompok masyarakat yang seringkali dipandang sebelah mata oleh orang-orang Yahudi ini juga memberikan salam kepada sesama mereka yang baik. Mereka juga pasti membina relasi yang baik dengan sesama mereka. Jika para pengikut Tuhan Yesus hanya melakukan sebatas itu, mereka tidak lebih baik daripada dua golongan orang berdoa tersebut. Tuhan Yesus memasang target kesalehan yang di atas rata-rata bagi para pengikut-Nya (bdk. 5:20).
Kita yang hidup sesudah kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus seharusnya memiliki alasan dan daya yang lebih dalam upaya kita menunjukkan kesalehan di atas rata-rata. Kuasa dosa telah dihancurkan melalui korban Kristus yang sempurna di kayu salib. Roh Kudus diberikan dalam hati kita, sehingga kita selalu diingatkan dan dikuatkan di dalam ketaatan. Kematian Kristus bahkan menyediakan sebuah teladan sempurna tentang mengasihi musuh. Ia berkobran bagi kita, musuh-musuh Allah, supaya kita didamaikan dengan Allah. Ia mengampuni orang-orang yang sudah menyalibkan Dia.
Dua alasan di atas perlu dicermati dan direnungkan secara lebih seksama. Tuhan Yesus tidak sedang mengajarkan alasan pragmatis, misalnya mengasihi musuh karena kasih akan mengubah lawan menjadi kawan. Ini bukan tentang apa yang bermanfaat, melainkan apa yang tepat. Tuhan Yesus juga tidak sedang mendorong kita melalui semboyan populer “kebaikan pasti menang melawan kejahatan.” Kebaikan memang pasti menang, tetapi tidak selalu terjadi pada masa kini. Jika kita hanya berkutat pada alasan-alasan pragmatis, kita pasti akan merasa kecewa dan putus asa. Banyak orang jahat yang tetap dalam kejahatan mereka. Kebaikan kita seringkali tidak mengubah mereka.
Syukur kepada Tuhan! Kita memiliki alasan-alasan yang lebih solid. Alasan-alasan itu tidak ditentukan oleh identitas (siapa) dan sikap orang (bagaimana). Siapapun, kapanpun, dan bagaimanapun, kita memang harus menunjukkan kasih yang kita sudah terima dari Allah. Meniru Allah adalah jalan menuju kesempurnaan hidup (ayat 48). Jalan ini memang panjang, melelahkan, dan menyakitkan. Namun, di ujung jalan sana ada kemuliaan yang tak terkatakan, di tengah jalan selalu ada penghiburan dan kekuatan untuk terus berjalan. Soli Deo Gloria.