Kasih Yang Mengalahkan Kejahatan (Roma 12:17-21)

Posted on 29/10/2017 | In Teaching | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/images/article/Kasih-Yang-Mengalahkan-Kejahatan-Roma-12-17-21.jpg Kasih Yang Mengalahkan Kejahatan (Roma 12:17-21)

Pembacaan sekilas sudah cukup untuk mendeteksi bahwa bagian ini merupakan pokok pikiran yang baru. Ayat 9-16 lebih terfokus pada kasih di antara orang percaya, sedangkan ayat 17-21 lebih ke arah kasih orang percaya kepada mereka yang berada di luar komunitas iman. Secara khusus, mereka yang melakukan kejahatan kepada orang-orang Kristen.

Bagaimana kita seharusnya menyikapi situasi seperti ini? Bagaimana kasih kita tetap terpancar bagi mereka? Paulus memberikan dua nasihat: negatif (larangan) dan positif (perintah). Nasihat yang negatif adalah “jangan membalas” (12:17-19), sedangkan yang positif adalah “berbuat baik” (12:20a). Alasan bagi dua nasihat ini diberikan di ayat 20b: kita menaruh bara api di atas kepala musuh kita. Di penghujung pembahasan, Paulus merangkum dua nasihat tersebut ke dalam satu ide: mengalahkan kejahatan dengan kebaikan (12:21).

Wujud kasih yang mengalahkan kebaikan (ayat 17-20a)

Saya berkali-kali menandaskan bahwa di dalam dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa, kejahatan dan penderitaan seharusnya tidak mengagetkan. Hampir setiap hari kita mengalami, melakukan, atau menyaksikan kejahatan terjadi dalam kehidupan kita. Salah satu pengalaman pahit yang dialami oleh banyak orang adalah diperlakukan secara tidak adil oleh orang lain. Pada saat peristiwa ini terjadi, kita perlu mengingat nasihat Paulus di bagian ini.

Pertama, jangan membalas kejahatan dengan kejahatan (ayat 17-19). Sesuai teks Yunani yang ada, banyak penafsir Alkitab menemukan struktur chiasme (ABCDC’B’A’) di bagian ini. Jangan membalas kejahatan muncul di awal dan akhir (ayat 17a, 19). Perilaku yang baik disebutkan di ayat 17c (melakukan apa yang baik) dan 18c (hidup dalam perdamaian). Kata “semua orang” muncul di ayat 17b dan ayat 18b. Inti nasihat terletak di tengah: “sedapat-dapatnya, jika hal itu bergantung padamu”.

Godaan untuk membalas kejahatan dengan kejahatan mungkin ada di dalam hati banyak orang. Kedagingan kita mudah memberontak tatkala diperlakukan secara tidak adil. Membalas dianggap sebagai solusi satu-satunya dan wajar untuk mendapatkan keadilan.

Konsep seperti ini bertabrakan dengan ajaran Alkitab. TUHAN mengajarkan umat-Nya untuk berbuat baik kepada musuh (Kel. 23:4-5; Ams. 17:13; 20:22). Tuhan Yesus sendiri bahkan secara eksplisit mengajakan para pengikut-Nya untuk mengasihi, mendoakan, dan memberkati musuh-musuh mereka (Mat. 5:38-39, 44-45; Luk. 6:29, 35). Dia sendiri bahkan mempraktikkan hal ini di atas kayu salib (Luk. 23:34).  

Ajaran ini pasti mendatangkan perasaan yang tidak menyenangkan. Bagaimanapun, itulah yang dianggap baik di hadapan semua orang (ayat 17b; LAI:TB “yang baik bagi semua orang”; mayoritas versi Inggris “yang baik di mata semua orang”). Artinya, manusia secara umum menganggap perbuatan baik kepada musuh merupakan tindakan yang mulia (RSV “noble”; ESV “honorable”). Itulah yang seyogyanya dilakukan juga oleh orang-orang Kristen.

Perilaku yang mulia ini dapat menciptakan kedamaian bagi semua orang (ayat 18). Apakah kedamaian pasti tercapai? Belum tentu! Perbuatan baik kepada musuh kadangkala tidak mampu meredakan kemarahan atau menghasilkan perubahan dalam diri orang lain. Perubahan orang lain memang bukan tujuan dari nasihat Paulus. Porsi kita hanyalah mengupayakan kedamaian sebisa mungkin. Respons orang lain tidak seharusnya menentukan tindakan kita.

Bagi sebagian orang, nasihat Paulus di ayat 17-18 dipandang sebagai kelemahan dan kompromi terhadap ketidakadilan. Mereka menuntut bahwa keadilan perlu ditegakkan. Pembalasan adalah bagian dari upaya menciptakan keadilan. Slogan “turn back crime” sudah semakin akrab di telinga banyak orang. Keadilan diidentikkan dengan pembalasan terhadap kejahatan.

Paulus sebenarnya sangat peduli dengan keadilan. Kejahatan perlu dibalaskan. Keadilan adalah sebuah keharusan. Walaupun demikian, agen pembalasan bukanlah kita sendiri, melainkan Allah (ayat 19). Murka Allah akan turun atas mereka yang berbuat jahat. Ini bukan sekadar harapan, melainkan kebenaran firman Tuhan (Ul. 32:35). Hukuman datang dari Dia, bukan kita. Pembalasan kita seringkali tidak dilandasi oleh kasih. Hanya Allah yang mampu melakukan penghukuman dengan penuh kasih.

Salah satu bukti keadilan dan kasih Allah adalah status kita sebagai “saudara-saudara yang kekasih” (lit. “orang-orang yang dikasihi”). Melalui sapaan ini Paulus ingin mengingatkan bahwa kita dahulu berada di bawah murka Allah (3:19-20). Oleh kasih-karunia-Nya di dalam Kristus Yesus, Allah menunjukkan keadilan-Nya di atas kayu salib (3:25a). Kasih dan keadilan bersua di kayu yang kasar.

Jikalau penciptaan keadilan tidak dibungkus dengan kasih dan belas-kasihan, justru ketidakadilan yang muncul ke permukaan. Kenyataan mengungkapkan bahwa pembalasan seringkali lebih kejam daripada kejahatan awal. Apa yang dianggap sebagai obat bagi suatu penyakit justru menimbulkan efek samping yang lebih buruk daripada penyakit yang ingin disembuhkan. Itulah manusia!

Kedua, berbuatlah baik kepada musuh (ayat 20a). Memberi makan dan minum kepada musuh di sini merupakan sebuah ungkapan yang merujuk pada segala macam bentuk kebaikan. Ada banyak hal positif yang bisa dilakukan terhadap musuh, bukan hanya memberi makanan dan minuman. Paulus sebelumnya bahkan sudah menyinggung tentang memberkati orang yang menganiaya kita (12:14).

Menahan diri untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan (12:17-19) mungkin sudah sukar. Namun, lebih sukar lagi adalah menunjukkan kebaikan kepada lawan (12:20a). Kita tidak hanya dituntut untuk secara pasif membiarkan sesuatu. Kita pun harus secara aktif melakukan sesuatu. Sikap “membiarkan” bisa jadi sekadar didorong oleh ketakutan atau ketidakpedulian terhadap musuh. Diperlukan kekuatan dan keberanian yang lebih besar untuk melakukan kebaikan terhadap lawan.

Alasan di balik nasihat (ayat 20b)

Secara alamiah kita terdorong untuk membalas kejahatan dengan kejahatan. Tanpa alasan yang kuat dan tepat, sulit bagi kita untuk berani melakukan sesuatu yang berlainan dengan naluri dan kecenderungan kita. Adakah alasan untuk bertindak sebaliknya?

Alasan paling kuat dan tepat adalah ajaran firman Tuhan. Paulus mengutip nasihat yang sangat bijaksana dari Amsal 25:22. Dengan melakukan kebaikan kepada lawan, kita telah “menumpukkan bara api di atas kepalanya”.

Walaupun ungkapan ini sangat terkenal, makna di baliknya tidak terlalu jelas. Apakah Paulus (dan penulis amsal) sedang memikirkan kebiasaan di suatu budaya tertentu? Tidak ada orang yang bisa mengetahuinya secara pasti.

Tafsiran yang tradisional adalah memahami ungkapan ini sebagai rujukan pada rasa malu yang bernyala-nyala. Dengan terus-menerus berbuat baik kepada musuh, kita menambah rasa malu mereka, sehingga pada akhirnya mereka menyesal telah berbuat jahat kepada orang yang baik. Walaupun pandangan ini sangat populer, tidak ada argumen tertentu yang diajukan sebagai dukungan.

Penafsir Alkitab yang lain mencoba mengaitkan ini dengan ritual Mesir tentang pertobatan dan penyesalan. Dalam ritual ini memang melibatkan bara api. Persoalannya, kita tidak bisa memastikan bahwa Paulus mengenal ritual tersebut. Konteks Roma 12:17-21 juga tidak memberi petunjuk ke arah sana.

Cara terbaik untuk memahami ungkapan “menumpukkan bara api ke atas kepala orang lain” mungkin adalah berfokus pada “bara api”. Dalam Alkitab, bara api seringkali menyiratkan penghukuman ilahi (2Sam. 22:9, 13; Ay. 41:20-21; Mzm. 18:9, 13; Ams. 6:27-29). Salah satu dukungan teks yang paling jelas berasal dari tulisan Yahudi kuno yang disebut 4 Esdras (4 Ezra) 16:53 “Orang-orang berdosa tidak boleh berkata bahwa mereka belum berbuat dosa, karena Allah akan menyalakan bara api ke atas kepala setiap orang yang berkata: ‘Aku belum berdosa di hadapan Allah dan kemuliaan-Nya’”. Jadi, menumpukkan bara api ke atas kepala orang (Rm. 12:20b) mungkin berarti mendekatkan orang tersebut pada penghakiman ilahi.

Konsep ini juga selaras dengan konteks yang ada. Sebelumnya Paulus sudah menjelaskan bahwa menahan diri dari pembalasan berarti memberi ruang bagi murka Allah (ayat 19a). Dengan cara yang sama, perbuatan baik kepada musuh juga mengarah pada ide tentang penghukuman ilahi. Kita melakukan bagian kita, Allah akan melakukan bagian-Nya.

Kebenaran ini tentu saja tidak boleh disalahtafsirkan seolah-olah tujuan kita membiarkan kejahatan dan membalasnya dengan kebaikan adalah untuk menyengsarakan orang lain. Tujuan kita adalah menaati perintah Allah. Ketaatan ini dilandaskan pada keyakinan kita terhadap keadilan dan kasih Allah. Dia tahu dan selalu mengambil keputusan yang terbaik.

Rangkuman dari nasihat (ayat 21)

Ayat ini cukup mengagetkan. Paulus tidak menutup ayat 17-21 dengan konsep keadilan. Dia memilih berbicara tentang kemenangan dan kekalahan.

Ini poin yang perlu digarisbawahi. Motivasi terbesar dalam pembalasan dendam sebenarnya bukan keadilan. Ini tentang kemarahan. Ini tentang adu kekuatan. Pendeknya, ini tentang menang atau kalah. Keadilan dinomerduakan. Kemenangan ditaruh di depan.

Melalui ayat 21 Paulus ingin mengajarkan tentang kemenangan yang sejati. Cara mengalahkan kejahatan bukan dengan melakukan kejahatan yang lebih besar. Jika ini yang terjadi, dua pihak sama-sama menjadi pecundang. Keduanya sama-sama dikendalikan oleh kejahatan. Kunci mengalahkan kejahatan adalah menghindari kejahatan sekaligus melakukan kebaikan. Soli Deo Gloria. 

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community