Kasih Yang Mendisiplin (Ibrani 12:4-11)

Posted on 13/08/2017 | In Teaching | Leave a comment

Menjadi orang Kristen sejati tidaklah mudah. Berbagai persoalan dan tantangan terus berdatangan. Tidak jarang keputusasaan pun menghadang. Wajar jika di tengah keadaan seperti ini, sebagian orang mengalami kebimbingan. Benarkah Allah menyayangi kita? Mengapa Dia membiarkan kita tenggelam dalam penderitaan?

Khotbah hari ini merupakan jawaban terhadap pergumulan di atas. Penderitaan bukan hanya tidak menggagalkan kasih Allah kepada kita, sebaliknya hal itu justru menjadi bukti dari kasih tersebut. Allah mengasihi kita di dalam dan melalui penderitaan.

Bagaimana bisa? Inti jawabannya terletak pada satu kata: disiplin ilahi. Marilah kita mempelajari kebenaran ini dari Ibrani 12:4-11.

Jikalau kita sedang berada dalam penderitaan, keadaan itu tidak jauh berbeda dengan yang dialami oleh penerima surat. Sejak mereka menjadi orang Kristen, penganiayaan sudah mereka terima (10:32-34). Mereka dipenjarakan. Harta mereka dirampas.

Mereka juga harus berhadapan dengan ajaran sesat. Beberapa orang dari kalangan Yahudi mencoba menarik mereka ke Yudaisme dengan cara mempertanyakan dan menentang ajaran-ajaran dasar tentang Yesus Kristus. Bagaimana Dia bisa disebut sebagai imam padahal Dia bukan berasal dari keturunan Harun atau Lewi (pasal 5, 7)? Apakah Dia benar-benar lebih besar daripada Musa (pasal 3, 7-12)?

Tidak semua orang dapat bertahan dalam situasi demikian. Beberapa sudah meninggalkan persekutuan (10:25). Beberapa perlu diberi teguran dan peringatanyang sangat tajam, karena bahaya kemurtadan terlihat begitu nyata (misalnya 4:12; 10:29, 35-36).

Dari teks khotbah hari ini pun kita bisa menemukan persoalan yang sama. Sebagian dari mereka menghadapi penganiayaan, walaupun tidak sampai dibunuh karena iman mereka (12:4). Mereka mulai lemah dan putus asa (12:3, 12-13).

Penulis surat Ibrani memandang situasi ini sebagai bentuk disiplin ilahi. Akar kata paidei- atau paideu (lit. “disiplin”; bdk. istilah “pedagogy”) muncul berkali-kali dalam bagian ini (2:5, 6, 7, 8, 9, 10, 11).Pemunculan ini sekaligus menunjukkaninti dari ayat 4-11: penderitaan adalah disiplin dari Tuhan.

Apa arti “disiplin” di sini? Sesuai dengan makna paideia(“disiplin”) atau paideuō(“mendisiplin”) dalam Alkitab dan pertimbangan konteks Ibrani 12:4-11,penulis surat tampaknya memikirkan disiplin dalam rumah (12:5-9 “anak – ayah”) maupun dalam persiapanatletik (12:11, gegymnasmenois “mereka yang telah dilatih”; bdk. istilah “gymantic”).Jika demikian, kita tidak perlu membatasi disiplin dalam konteks ini sebagai hukuman. Disiplin bisa mencakup tiga aspek: hukuman (punitive), pencegahan (preventive), dan pengajaran (educative). Sesuai konteks yang ada, aspek terakhir ini terlihat mendapat sorotan yang dominan.

Apa yang sedang dibuktikanoleh Allah melalui disiplin ilahi (ayat 5-8)?

Dalam sebagian kasus, penderitaan yang dialami sebagian orang telah melemahkan iman mereka. Beragam pertanyaan menggelayut dalam pikiran mereka. Jika Allah mengasihi aku, mengapa Dia membiarkan semua ini terjadi? Mengapa sesudah menjadi orang Kristen hidupku justru lebih sering mengalami kesengsaraan? Mengapa Allah terlihat begitu jauh dan tidak peduli? Deretan pertanyaan semacam ini tentu saja masih dapat diperpanjang.

Di mata penulis Surat Ibrani, penderitaan yang dihadapi oleh orang-orang Kristen merupakan hal yang positif. Kesengsaraan tidak seharusnya mengaburkan kasih Allah. Sebaliknya, kesusahan sebagai salah satu bentuk disiplin ilahi membuktikan dua hal yang indah: kasih Allah kepada kita dan status kita sebagai anak-anak Allah (ayat 5-8). Dua-duanya merupakan hal yang luar biasa bagi kita.

Kasih Allah kepada kita.Sama seperti seorang anak yang seringkali salah memahami maksud baikdari orang tuanya, demikian pula kita dengan Tuhan. Kerap kali kita mengeluh pada saat Tuhan meletakkan kita pada situasi yang serba terbatas dan tidak menyenangkan, apalagi pada saat Dia menghukum kita. Kita gagal melihat alasan dan tujuan di balik hukuman itu.

Sikap ini jelas keliru. Wahyu 3:19 berkata: “Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar; sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah!” Di tengah hukuman yang sedang menimpa bangsa Yehuda, yaitu kehancuran bait Allah dan Yerusalem serta pembuangan ke Babel, Yeremia masih bisa memandang pada kasih setia dan kemurahan TUHAN yang selalu baru tiap pagi (Rat 3:21-23).

Mendisiplin anak, baik dalam konteks hukuman, pencegahan, maupun pendidikan, adalah tanda kasih. Ada tujuan positif di balik semuanya itu. Sebaliknya, memanjakan anak adalah kasih yang semu dan keliru. Hanya ada kehancuran yang akan menyertainya. Disiplin menguatkan, pemanjaan melemahkan.

Status kita sebagai anak-anak Allah. Poin ini ditekan berulang-ulang: “Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak” (ayat 6b), “Jika kamu harus menanggung ganjaran; Allah memperlakukan kamu seperti anak” (ayat 7a), “Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya?” (ayat 7b). Bahkan penulis Surat Ibrani juga menambahkan: “Tetapi, jikalau kamu bebas dari ganjaran, yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang” (ayat 8).Seorang anak mungkin merasa tidak nyaman apabila sedang menerima disiplin. Namun, lebih tidak nyaman lagi jikalau dia tidak dianggap sebagai anak.

Inti yang ingin ditegaskan adalah “disiplin sebagai sebuah keniscayaan dan kebutuhan”.Alkitab berkali-kali memerintahkan orang tua untuk tidak segan-segan mendisiplin anak-anak mereka. Amsal 19:18 “Hajarlah anakmu selama ada harapan, tetapi jangan engkau menginginkan kematiannya”. Amsal 22:15 “Kebodohan melekat pada hati orang muda, tetapi tongkat didikan akan mengusir itu dari padanya”. Amsal 23:13-14 “Jangan menolak didikan dari anakmu ia tidak akan mati kalau engkau memukulnya dengan rotan. Engkau memukulnya dengan rotan, tetapi engkau menyelamatkan nyawanya dari dunia orang mati”. Begitulah yang Allah perbuat pada kita sebagai anak-anak-Nya.

Apakah hasil disiplin ilahi (ayat 9-11)?

Disiplin bukanlah pengekangan, apalagi kekejaman. Allah melakukan semua itu demi kebaikan kita. Pengalaman sehari-hari mengajarkan hal ini kepada kita (ayat 10). Seorang ayah mendidik anaknya menurut apa yang dia pandang baik. Ini dilakukan untuk sementara waktu. Lebih-lebih Bapa surgawi kita. Dia terus-menerus mendisiplin kita (bukan hanya sementara). Disiplin ini bukan hanya berdasarkan apa yang Dia pandang baik, melainkan juga apa yang mendatangkan kebaikan bagi kita.

Apa saja kebaikan yang Tuhan pikirkan pada saat Dia mendidik kita? Pertama, kehidupan (ayat 9).Hidup yang dipikirkan di sini adalah secara rohani; kelimpahan di dalam Tuhan. Hal ini disiratkan melalui perbandingan antara “ayah di bumi” (LAI:TB “ayah yang sebenarnya”) dan “Bapa segala roh”. Bukan hanya “ayah di bumi” versus “Bapa di surga”.

Kita juga perlu menggarisbawahi bahwa kehidupan di sini bukanlah kehidupan kekal.Keselamatan bukan hasil ketaatan kita. Itu sepenuhnya anugerah dari Allah di dalam Kristus Yesus (Ef 2:8-9). Yang disorot di Ibrani 12:9 adalah kualitaskehidupan kekal. Disiplin hanya menambahkan kenikmatan hidup di dalam Kristus dengan segala kelimpahannya secara rohani. Dua poin selanjutnya akan memperjelas hal ini.

Kedua, kekudusan (ayat 10). Kekudusan di sini mengarah pada kekudusan secara progresif (terus-menerus). Ini tentang proses menuju keserupaan dengan Allah atau Kristus (Rm 8:29; 2 Kor 3:18; Kol 3:10).Selama proses ini, penderitaan seringkali menjadi alat yang efektif (Rm 5:3-4; Yak 1:2-4). Iman kita diuji. Karakter kita dibentuk. Kesombongan kita ditaklukkan. Motivasi kita dimurnikan. Tujuan hidup kita dibelokkan menuju kemuliaan-Nya.

Banyak contoh Alkitab untuk kebenaran ini. Ayub semakin mengenal Allah dengan dimensi yang baru sesudah menjalani pergumulan yang berat dengan Dia (Ay 42:1-6). Paulus belajar untuk rendah hati, menyadari kasih karunia Allah, dan mengalami kekuatan-Nya yang sempurna melalui duri dalam daging (2 Kor 12:7-10). Bahkan Yesus Kristus sebagai Anak Allah pun belajar untuk taat dalam segala kesusahan yang Dia alami (Ibr 2:7-9).

Ketiga, kedamaian (ayat 11). Ungkapan “buah kebenaran yang memberikan damai” (LAI:TB) secara hurufiah berarti “buah yang damai dari kebenaran”.Penekanan terletak pada kedamaian sebagai hasilnya. Kedamaian dalam hal ini sinonim dengan sukacita (bdk. ayat 11a “Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita”).Siapa saja yang berada di dalam kebenaran pasti akan mengalami kedamaian atau sukacita.

Buah ini akan dirasakan di tingkat akhir. Bentuk perfek “dilatih” menyiratkan tindakan yang sudah dimulai di masa lalu, dan akibatnya masih ada di masa kemudian. Ini merupakan sebuah proses. Kedamaian tidak akan muncul di awal. Sukacita harus menunggu sekian lama. Yang penting adalah titik akhir. Akar semua disiplin memang pahit, tetapi semua buahnya pasti manis.

Nasihat ini perlu dicamkan dengan seksama. Penulis Surat Ibrani tidak menjanjikan bahwa kedamaian dan sukacita akan muncul pada saat situasi penerima surat diubahkan oleh Tuhan. Situasi mungkin tetap sama. Yang berbeda adalah orangnya. Dengan terus-menerus berjalan di dalam kebenaran, seseorang pasti akan menerima sukacita dan kedamaian yang melampaui segala akal. Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko