Keberadaan penderitaan dalam dunia milik Tuhan merupakan sebuah persoalan yang tidak mudah untuk dijelaskan. Jika Allah baik dan berkuasa, mengapa Dia “membiarkan” penderitaan ada dalam dunia? Bagi mereka yang pernah bersentuhan secara langsung dan mendalam dengan penderitaan, pertanyaan ini menjadi jauh lebih rumit. Rasa sakit yang ada terlihat begitu nyata. Seringkali bahkan sukar untuk diungkapkan dengan kata-kata.
Persoalan ini tidak menjadi mudah bagi orang-orang Kristen. Kita bergumul dengan pertanyaan yang sama. Lebih dari itu, kita juga memiliki persoalan versi kita sendiri: “Jika Tuhan baik, mengapa orang benar menderita?”
Khotbah hari ini menyediakan sebagian jawaban. Memang tidak tuntas. Tidak ada satu teks yang mampu menerangkan segala aspek yang bersentuhan dengan pergumulan ini. Namun, paling tidak kita akan memiliki pondasi yang kokoh untuk terus berdiri teguh di tengah kehidupan yang tidak pernah lepas dari pertanyaan.
Dalam kaitan dengan persoalan ini, tidak salah apabila kita belajar dari kehidupan Ayub. Dia dikenal sebagai salah satu orang yang paling saleh di dalam Alkitab (Yeh 14:14, 20). Secara khusus, dia adalah tokoh Alkitab yang seringkali dihubungkan dengan ketabahan dalam menghadapi penderitaan (Yak 5:11).
Teks kita hari ini (Ay 42:1-6) merupakan respons Ayub yang terakhir terhadap segala pergumulannya. Bagian ini bisa dikatakan sebagai jawaban atas pergumulan. Apakah Ayub pada akhirnya benar-benar memahami semua alasan dan pekerjaan ilahi di balik semua kesengsaraannya? Tidak juga! Dia tetap membiarkan dirinya berada dalam ketidaktahuan (42:3).
Yang menarik adalah posisi teks ini yang diletakkan sebelum pemulihan keadaan Ayub (42:10-15). Hal ini menyiratkan bahwa pemulihan ini bukanlah jawaban atas pergumulan Ayub. Dia sudah menang sebelum dipulihkan. Pemulihan ini sebaiknya dipahami sebagai konsekuensi dari kemenangan itu.
Poin ini sangat penting untuk ditekankan, karena banyak orang Kristen menganggap jawaban atas semua persoalan adalah perubahan keadaan. Sakit disembuhkan, kekurangan dicukupi, berada dalan bahaya dilepaskan, dan sebagainya. Tidak demikian dengan Ayub. Dia sudah menang, bahkan sebelum ada perubahan keadaan. Solusi sejati seringkali bukanlah perubahan keadaan, melainkan perubahan diri kita sendiri. Pengenalan kita terhadap Allah diperdalam. Persandaran kita kepada-Nya dikokohkan. Karakter kita menjadi semakin serupa dengan Allah. Itulah yang terjadi dalam kasus Ayub. Itulah yang akan kita pelajari hari ini.
Mengapa orang benar menderita? Ada beberapa jawaban yang disediakan Allah melalui perkataan Ayub di pasal 42:1-6. Kalau boleh lebih diringkas lagi, jawaban itu terletak di sini: supaya kita semakin mengenal Allah dan diri kita sendiri. Sekarang marilah kita melihat satu per satu dari jawaban itu.
Supaya kita mengenal kedaulatan-Nya (ayat 2)
Pengakuan Ayub di sini diungkapkan sebelum keadaannya dipulihkan. Hal ini berarti bahwa apa yang dia maksudkan dengan “rencana Allah” tidak mencakup pemulihan keadaannya. Ini adalah pengakuan yang muncul sebagai respons terhadap perkataan TUHAN di pasal 38-41. Allah menunjukkan kedaulatan-Nya yang mutlak atas segala sesuatu. Alam semesta dipenuhi dengan begitu banyak petunjuk tentang kekuasaan-Nya. Dia memutuskan, melakukan, dan mengatur segala sesuatu.
Ayub mengakui bahwa di balik segala sesuatu, termasuk kesengsaraan yang menimpa dia, ada rencana Allah. Rencana ini bersifat pasti. Allah sanggup melakukan segala sesuatu. Dia sanggup menuntaskan rencana tersebut. Bukan hanya itu, rencana ini juga bersifat pasti karena tidak bisa digagalkan oleh siapapun. Sesuai teks Ibrani yang ada, frasa “yang gagal” sebaiknya diterjemahkan dalam bentuk pasif: “yang dapat digagalkan”.
Jika Ayub memandang segala sesuatu yang menimpa dia sebagai rencana Allah, maka semua peristiwa di pasal 1-2 juga termasuk di dalamnya. Ini berarti bahwa tindakan Iblis tidak berada di luar rencana-Nya (1:6-12; 2:1-6). Ketika Allah membiarkan Iblis melakukan keinginannya yang jahat, pembiaran itu merupakan bagian dari rencana-Nya. Ini bukan sekadar pembiaran pasif. Ini pembiaran yang berdaulat.
Kata “rencana” di 42:2 juga pasti mencakup perampokan, bencana alam, dan penyakit yang terjadi dalam kehidupan Ayub. Apa yang terlihat sebagai musibah (perampokan) tetaplah rencana Allah. Apa yang dipandang sebagai kebetulan dan alamiah (bencana alam) adalah bagian dari rencana Allah. Apa yang tampak begitu buruk (penyakit kulit) merupakan rencana-Nya.
Walaupun semua itu adalah rencana Allah, bukan berarti Allah secara aktif dan langsung terlibat di dalamnya. Iblislah yang menjadi aktor intelektual. Dia menggunakan orang-orang jahat dan alam untuk menyengsarakan Ayub. Bagaimanapun, hal itu tetap tidak meniadakan kedaulatan Allah.
Supaya kita mengakui hikmat Allah (ayat 3-4)
Dalam penderitaan yang berat, kita cenderung memborbardir Allah dengan deretan pertanyaan. Di mana Engkau? Apakah Engkau peduli? Mengapa Engkau membiarkan ini terjadi? Apakah maksud dari semuanya ini? Kita menginginkan jawaban yang tuntas. Kita tidak mau hidup di dalam kebingungan dan ketidaktahuan. Lebih celaka lagi, kita seringkali hanya menginginkan jawaban yang menurut kita adalah masuk akal dan menyenangkan.
Itu juga yang dilakukan oleh Ayub. Dia menanyai Allah dan mempertanyakan keadaannya. Dia menuntut sebuah penjelasan. Menariknya, Allah tidak memberi jawaban langsung atas semua pertanyaan itu. Dia justru menjawab dengan pertanyaan.
Pertanyaan balik “Siapakah dia yang menyelubungi keputusan tanpa pengetahuan?” (ayat 3a) menunjukkan siapa Allah dan siapa manusia. TUHAN selalu memiliki pertimbangan dan hikmat di balik setiap keputusan-Nya (LAI:TB “keputusan”; NIV “nasihat-Ku”; NLT “hikmat-Ku”). Di ayat ini Ayub sebenarnya sedang merenungkan kembali pertanyaan ilahu di 38:2. Di sana Allah menanyai dia. Pertanyaan ini lantas diikuti oleh begitu banyak pertanyaan retoris yang menunjukkan bahwa Allah mengatur segala sesuatu di dunia ini dengan hikmat-Nya. Tanpa hikmat Allah, alam semesta tidak mungkin menjadi teratur seperti sekarang (pasal 38-41).
Pertanyaan di atas sekaligus menunjukkan bahwa manusia justru seringkali kekurangan hikmat. Banyak perkataan, kurang pengetahuan (ayat 3b). Dengan arogan ingin mengetahui segala sesuatu, padahal pengetahuan-Nya terbatas.
Sebagai Allah yang berhikmat, Dia pasti melakukan segala sesuatu dengan alasan tertentu. Namun, pertimbangan tersebut tidak selalu dibuka bagi manusia. Bahkan seandainya hal itu dibuka sekalipun, manusia seringkali tetap tidak mampu memahaminya (ayat 3b “hal-hal yang sangat ajaib bagiku dan yang tidak kuketahui”).
Supaya kita mengenal Allah lebih personal dan mendalam (ayat 5)
Ayub hidup di tengah sistem keagamaan yang cenderung retributif. Maksudnya, segala tindakan Allah hanyalah respons terhadap perbuatan manusia. Siapa yang taat akan mendapat berkat. Siapa yang fasik akan menerima hukuman. Kesalehan dan kekayaan Ayub (1:1-5) sangat mudah dipahami dalam kerangka theologis seperti ini.
Persoalan akan muncul jika terjadi sebaliknya. Ayub yang saleh ternyata tertimpa beragam peristiwa buruk yang dapat dipahami sebagai kutuk menurut kacamata publik pada waktu itu. Ayub berusaha memahami semua ini dalam kerangka theologi retributif. Dia gagal memahaminya. Para sahabat Ayub pun memandang situasinya dengan kacamata yang sama. Tidak heran, mereka terus berusaha untuk meyakinkan Ayub tentang dosa-dosanya. Bagi mereka, hal-hal yang buruk tidak mungkin terjadi pada orang yang saleh. Setiap penderitaan pasti disebabkan oleh dosa tertentu.
Kali ini Ayub mengenal Allah dengan cara yang baru. Allah yang jauh lebih besar dan kompleks daripada yang selama ini dia pikirkan. Allah berada di luar kotak retributif. Konsep “taat = berkat, fasik = kutuk” hanyalah cara umum yang diberlakukan Allah, tetapi Dia tidak harus terikat dengan hal itu. Ayub sedang dilatih Tuhan untuk berpikir di luar kotak (out of the box).
Bukan hanya lebih mendalam. Pengenalan Ayub kepada Allah juga lebih personal. Sebelumnya dia hanya mendengar dari kata orang. Ini adalah doktrin yang berdasarkan tradisi. Hanya diterima begitu saja tanpa digumulkan, tanpa dimengerti, tanpa dialami. Kali ini Ayub memandang Allah dengan matanya sendiri. Doktrin tentang Allah lebih dari sekadar opini publik. Doktrin perlu dihidupi dan dialami. Kita tidak hanya mengenal tentang Allah, namun benar-benar mengenal Dia dalam arti mengalami Dia secara nyata.
Supaya kita mengenal kehinaan diri sendiri (ayat 6)
Bagian awal dari ayat ini telah menjadi topik perdebatan di kalangan penerjemah. Sebagian memahami seperti penerjemah LAI:TB “aku mencabut perkataanku” (bdk. NASB/NLT). Sebagian besar memilih “aku memandang rendah diriku”. Jika opsi pertama benar, pertobatan Ayub di ayat 6b berpusat pada perkataannya (perdebatannya dengan para sahabat). Jika opsi kedua yang benar, pertobatannya lebih ke arah sikap hati (keingintahuan yang berlebihan).
Di antara dua opsi yang ada, pertimbangan konteks lebih berpihak pada yang terakhir. Dari kacamata Allah, Ayub tidak bersalah dalam perkataannya (42:7-8). Dia tidak perlu bertobat dari perkataannya. Yang salah pada Ayub adalah rasa ingin tahunya yang terlalu besar. Dia hendak memahami hal-hal yang melampaui pengetahuannya (ayat 3). Dia menganggap bahwa pikirannya yang terbatas akan sanggup memahami keadaannya yang rumit apabila Allah memberikan penjelasan. Ini adalah kesombongan. Karena itu, Ayub perlu bertobat dan merendahkan diri di atas abu (42:6b). Soli Deo Gloria.