
Doa yang tidak terkabul seringkali mendesak banyak orang untuk mempertanyakan kebaikan Allah. Pergumulan ini menjadi makin kuat apabila yang didoakan adalah kebutuhan yang mendesak dan penting. Lebih parah lagi, apabila yang didoakan adalah hal yang baik dan berguna dalam pelayanan. Kita menganggap tidak ada alasan bagi Allah untuk tidak mengabulkan doa-doa seperti ini. Kita sangat membutuhkan. Yang kita butuhkan adalah hal yang baik. Mengapa Allah berdiam diri saja?
Teks kita hari ini menyinggung tentang pergumulan yang sama. Paulus meminta kepada Tuhan agar "duri dalam daging" (skolops tē sarki) yang dia hadapi diambil oleh Tuhan (ayat 7). Apapun penafsiran kita terhadap istilah ini, artinya tetap negatif. Duri dalam daging adalah "utusan Iblis" (angelos satana) yang menggocoh atau mengganggu dia dalam pelayanan. Bukankah akan menjadi lebih baik jikalau gangguan ini dihilangkan? Ternyata bukan itu yang dikehendaki oleh Allah (ayat 8-9).
Bagaimana kita menjelaskan pengalaman seperti ini? Apakah situasi ini menunjukkan bahwa Allah tidak baik kepada kita? Mari kita menjawab pertanyaan ini berdasarkan teks yang ada.
Misteri "duri dalam daging"
Tidak banyak yang kita dapat ketahui tentang skolops tē sarki. Kita hanya bisa memastikan bahwa ungkapan ini mengandung makna figuratif, bukan hurufiah. Kita juga tahu bahwa ungkapan ini merujuk pada sesuatu yang buruk ("utusan Iblis"). Paulus terlihat lemah karena duri daam daging (kata dasar "lemah" muncul 4 kali di ayat 9-10). Di tiga poin ini kita hanya bisa menduga-duga. Kita tidak tahu dengan pasti apakah duri dalam daging merujuk pada kesulitan bersifat fisikal, spiritual, atau emosional.
Terjemahan LAI:TB "seorang utusan Iblis" juga tidak menambah kejelasan. Jenis kelamin maskulin yang digunakan untuk skolops belum tentu merujuk pada seseorang. Ini hanyalah jenis kelamin secara linguistik, bukan biologis. Jika ungkapan "duri dalam daging" diambil secara figuratif, maka kemungkinannya bisa apa saja. Ini bisa merujuk pada "seseorang" atau "sesuatu". Ini bisa berbentuk jamak atau tunggal.
Ketidakjelasan ini mengundang beragam perdebatan. Sebagian ahli berusaha mengidentifikasi duri dalam daging sebagai penyakit atau keterbatasan fisik tertentu yang diderita oleh Paulus. Dia mungkin mengidap penyakit mata yang parah, malaria, migrain maupun epilepsi. Ahli-ahli yang lain meyakini bahwa Paulus sedang memikirkan seseorang, misalnya Aleksander yang berkali-kali menyusahkan dia (2Tim. 4:14).
Berdasarkan pertimbangan konteks, kita sebaiknya menafsirkan "duri dalam daging" dalam kaitan dengan kesulitan-kesulitan dalam pelayanan Paulus. Di ayat 10 Paulus berbicara tentang siksaan, kesukaran, penganiayaan, dan kesesakan. Sangat mungkin Paulus sedang memikirkan orang-orang tertentu yang selalu mempersulit pelayanannya (keterangan "dalam daging" secara figuratif mungkin menyiratkan bahwa kesulitaan ini tidak terpisahkan dari Paulus).
Kualitas doa Paulus
Keinginan Paulus agar dilepaskan dari duri dalam daging ternyata tidak dikabulkan oleh Allah. Sebagian orang Kristen dari kalangan tertentu mungkin mencari-cari kesalahan dalam doa Paulus. Mungkin Paulus kurang beriman. Mungkin dia kurang rohani. Mungkin juga dia kurang tekun berdoa.
Kita perlu berhati-hati terhadap dugaan-dugaan seperti di atas. Teks sendiri sudah menyediakan alasan mengapa doa Paulus tidak dikabulkan (12:9). Tidak ada nuansa teguran di dalam alasan ini. Respons Paulus pun sangat positif. Dia suka, rela, dan bermegah dalam kelemahan (12:9b-10). Di samping itu, pengalaman Paulus ini diceritakan sebagai sanggahan terhadap kesombongan para rasul palsu (12:11). Mereka menganggap diri hebat. Mereka sering meremehkan dan menghina Paulus. Di tengah situasi seperti ini tidak mungkin Paulus memberikan sebuah kisah hidup yang mengungkapkan keberdosaannya. Pendeknya, tidak ada alasan untuk menduga-duga yang buruk terhadap Paulus dalam hal ini.
Dia pasti berdoa dengan iman. Pelayanannya dipenuhi dengan berbagai tanda ajaib (12:12). Bahkan untuk mampu bermegah di dalam kelemahan (12:10) pasti diperlukan iman yang besar.
Dia pasti berdoa dengan tekun. Keterangan "tiga kali" (12:8) menyiratkan sesuatu yang sudah maksimal. Bukankah Yesus Kristus juga berdoa tiga kali di Taman Getsemani? Konteks 2 Korintus 12 juga memberi dukungan ke arah sana. Paulus diangkat sampai ke surga tingkat tiga (12:2). Dia sudah tiga kali bersiap-siap untuk mengunjungi jemaat Korintus (12:14). Keseluruhan hidup Paulus juga menunjukkan bahwa dia bukan tipikal orang yang mudah menyerah. Dia bertekun dalam segala sesuatu, bahkan di dalam penderitaan (11:23-28).
Dia pasti orang yang rohani. Kehidupannya sangat berpusat pada Kristus. Dia rela bermegah dalam kelemahan supaya kuasa Kristus turun menaungi dia (12:9). Dia rela menanggung semua yang tidak enak karena Kristus (12:10). Pengalamannya dibawa oleh Tuhan ke surga dan menerima penglihatan yang luar biasa (12:1-7) jelas lebih hebat dan pasti daripada kisah-kisah perjalanan rohani ke dunia roh yang diceritakan oleh hamba-hamba Tuhan tertentu.
Kebaikan ilahi dalam doa yang tidak dikabulkan
Jika yang didoakan oleh Paulus adalah hal yang baik, yaitu supaya utusan Iblis mundur dari dia, mengapa Tuhan tidak mengabulkan permohonan ini? Jika Paulus sudah berdoa dengan iman dan ketekunan serta disertai dengan kerohanian yang baik, mengapa Allah seolah-olah tidak peduli?
Tuhan tidak membiarkan Paulus dalam kebingungan. Dia menyediakan sebuah penjelasan. Sesudah menerima jawaban ini Paulus berhenti meminta hal yang sama. Melalui jawaban ini kita dapat menyimpulkan bahwa di balik doa yang tidak dikabulkan, Allah ingin menunjukkan kebaikan yang lebih besar. Ada tujuan yang lebih agung.
Pertama, supaya kita tidak sombong (ayat 7). Di ayat ini ungkapan "supaya aku tidak meninggikan diri" (hina mē hyperairōmai) muncul dua kali. Paulus memiliki sejuta alasan untuk sombong. Dia sudah berkurban begitu rupa dalam pelayanan (11:23-28). Dia memiliki pengalaman rohani yang luar biasa (12:1-7). Pelayanannya dipenuhi dengan tanda-tanda ajaib 912:12). Ditambah dengan tekanan dari para rasul palsu yang conggak, Paulus bisa terjerumus dalam kesombongan. Duri dalam daging yang dibiarkan oleh Tuhan akan menjadi pengingat yang konstan bagi Paulus bahwa dia sebenarnya penuh kelemahan dan keterbatasan.
Dari penjelasan ini kita belajar bahwa pembangunan karakter lebih penting daripada pelayanan yang spektakuler. Integritas lebih berharga daripada popularitas. Siapa kita di hadapan Allah jauh lebih penting daripada apa yang kita lakukan bagi Dia.
Kedua, supaya kita mengerti kasih karunia Allah (ayat 9a). Tuhan memberitahu Paulus: "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu". Sekilas kita mungkin heran. Bukankah kasih karunia Tuhan itu tak terbatas? Mengapa di sini hanya dikatakan "cukup"?
Inti jawaban terletak pada kata kunci ini: "bagimu". Kita perlu mengingat bahwa anugerah bukanlah jatah. Kasih karunia Allah memang sempurna dan melimpah bagi semua orang. Namun, hal ini tidak berarti bahwa Dia harus memberikan semuanya kepada semua orang. Dia berdaulat untuk menentukan siapa yang akan menerima anugerah-Nya. Dia berhak menentukan seberapa banyak anugerah yang akan diterima oleh seseorang. Seandainya Allah tidak memberikan batasan bagi anugerah-Nya, manusia pasti akan memandang rendah anugerah itu. Seandainya semua orang pasti mendapat anugerah yang sama dan dalam kadar yang sama, kita juga tidak memandang hal itu terlalu spesial.
Ketiga, supaya kita mengalami kuasa Tuhan secara sempurna (ayat 9b). Pernyataan "kuasa-Ku menjadi sempurna" mungkin sedikit membingungkan. "Menjadi sempurna" seolah-olah menyiratkan bahwa sebelumnya kuasa itu tidak sempurna. Bukankah kuasa Allah seharusnya selalu sempurna? Bagaimana kita menjelaskan hal ini?
Yang sedang dibicarakan oleh Paulus adalah pemahaman dan pengalamannya terhadap kuasa Allah. Pada dirinya sendiri kuasa Allah pasti sempurna. Dengan kuasa itu Dia menciptakan segala sesuatu. Tidak ada yang mustahil bagi Dia. Walaupun demikian, tidak semua orang akan mengalami kuasa itu dalam taraf yang sama. Bahkan mereka yang mengalaminya pun belum tentu menghargai kuasa itu dengan cara yang sama. Diperlukan kesadaran tentang kelemahan kita supaya kita dapat menghargai kekuatan Allah. Semakin besar kesadaran kita tentang kelemahan kita, semakin besar kesadaran kita tentang kekuatan Allah dalam hidup kita.
Apakah dijaga dari kesombongan merupakan hal yang baik? Tentu saja! Apakah mengerti kasih karunia Allah dengan benar adalah kebaikan? Jelas sekali! Apakah mengalami kuasa Allah secara sempurna patut disyukuri? Pasti! Semua ini adalah hal yang baik. Semua ini adalah kebaikan dari Allah.
Paulus menerima semua ini secara positif. Dia tidak hanya pasrah. Dia malah bersuka, bermegah, senang, dan rela di dalam kelemahan (12:9-10). Dia menyadari ada sebuah paradoks yang indah di dalam Kristus: ketika kita lemah, kita kuat.
Jadi, ketika Allah tidak mengabulkan doa kita, Dia sebenarnya sedang mempersiapkan sesuatu yang lebih baik daripada yang kita doakan. Doa yang tidak terkabulkan bukanlah bukti bahwa Allah tidak mengasihi kita. Justru sebaliknya, Dia sangat mengasihi kita. Dia tidak mau memberikan apa yang kurang baik. Dia menginginkan yang terbaik bagi kita. Soli Deo Gloria.