Sejarah gereja mengajarkan bahwa tidak semua orang Kristen memandang gereja dengan cara yang sama maupun secara tepat. Di satu sisi, Gereja Katholik Roma terlalu mengagungkan gereja. Gereja sejajar dengan (atau bahkan lebih tinggi daripada) kitab suci. Keselamatan tidak dimungkinkan di luar gereja. Semua hal yang bernuansa ritual dan gerejawi mendapat tempat terhormat.
Di sisi lain, gereja-gereja injili cenderung mengabaikan peranan gereja. Keterlibatan di berbagai institusi Kristen di luar gereja (parachurch) tidak diimbangi dengan kontribusi nyata bagi gereja. Perhatian pada kerohanian yang lebih bersifat pribadi (personal) seringkali mengurang minat orang-orang injili terhadap kehidupan bersama (komunal) di dalam gereja.
Khotbah hari ini akan menguraikan sebuah gambaran yang indah tentang gereja. Gereja adalah sebuah rumah, baik untuk kita maupun untuk Allah. Respon yang pantas terhadap hal ini adalah apresiasi dan kecintaan terhadap gereja.
Gereja sebagai rumah kita (ayat 19)
Di bagian ini Paulus menjelaskan status yang baru dari jemaat Efesus. Mereka bukan lagi orang asing (xenoi) dan pendatang (paroikoi). Kini mereka adalah kawan sewarga dari orang-orang kudus (sympolitai tōn hagiōn) dan anggota-anggota keluarga Allah (oikeioi tou theou). Untuk memahami makna dari empat identitas ini, kita perlu memperhatikan konteks Efesus 2 dan konteks kultural pada zaman Alkitab.
Nuansa keintiman yang terkandung dalam 4 istilah yang digunakan merupakan kontras terhadap keadaan jemaat Efesus dahulu. Sebagai orang-orang non-Yahudi (2:11), mereka terpisah dari orang-orang Yahudi (keterpisahan horizontal) dan Allah (keterpisahan vertikal). Mereka tidak termasuk kewargaan Israel, sehingga tidak menikmati semua hak istimewa sebagai umat Allah (2:12). Ada tembok pemisah dan perseteruan antara mereka dengan orang-orang Yahudi (2:13-15, 17).
Keterpisahan juga terjadi pada relasi vertikal dengan Allah. Mereka hidup tanpa Kristus dan Allah, sehingga mereka tidak memiliki pengharapan (2:12). Ada perseteruan dengan Allah (2:16).
Melalui penebusan Kristus, keterpisahan tersebut dijembatani dengan sempurna. Tembok pemisah diruntuhkan (2:14). Baik orang Yahudi maupun non-Yahudi dipersatukan di dalam satu tubuh serta dibawa untuk menikmati perdamaian dengan Allah (2:16, 18).
Penebusan Kristus tidak hanya menyelesaikan perseteruan. Keintiman yang dihasilkan melalui darah Kristus juga menciptakan kesatuan, yang diungkapkan melalui “yang menjadikan keduanya satu” (2:14, ho poiēsas ta amphotera hen), “satu manusia baru” (2:15, hena kainon anthrōpon), “satu tubuh” (2:16, heni sōmati), dan “di dalam satu Roh” (2:18 en heni pneumati). Dengan demikian, kedamaian (eirēnē) di 2:15 dan 2:17 bukan sekadar berarti “tidak ada perang” (seperti konsep Romawi tentang kedamaian), melainkan persatuan yang intim.
Keintiman ini akan semakin bisa diapresiasi apabila kultur kuno pada abad ke-1 turut dipertimbangkan. Bangsa Yahudi menganggap diri lebih baik daripada bangsa lain: (i) mereka membanggakan diri sebagai kaum yang bersunat (bdk. Gal 6:12; Ef 2:11); (ii) mereka memiliki Taurat Allah sebagai pedoman hidup (bdk. Roma 2:17-20; Ef 2:15); (iii) mereka mempunyai warisan-warisan rohani yang hebat (bdk. Rom 9:4-5; Ef 2:12). Arogansi kultural dan spiritual ini menjadi tembok tebal yang menghalangi interaksi sosial mereka dengan orang-orang non-Yahudi. Bahkan tatkala orang-orang Yahudi sudah menjadi Kristen pun, mereka kadangkala masih memaksakan tradisi mereka kepada orang-orang lain. Mereka tidak mau masuk ke rumah orang non-Yahudi (Kis 11:2-3). Mereka tidak mau makan bersama orang non-Yahudi (Gal 2:11-14; Rom 14-15).
Dari kacamata Paulus (Ef 2:19), orang-orang non-Yahudi yang sudah di dalam Kristus tidak lagi sebagai orang asing (xenoi) maupun pendatang (paroikoi). Dua kata ini sulit untuk dibedakan secara tegas. Sebutan yang pertama digunakan untuk orang-orang sengsara yang tidak dikenal (Mat 25:35, 38, 43-44), orang-orang asing di Athena (Kis 17:21) atau para patriakh sebagai orang asing di bumi ini (Ibr 11:13). Sebutan kedua hanya muncul sekali, tetapi artinya sangat dekat dengan parepidēmoi (1 Pet 2:11 paroikous kai parepedēmous), yang digunakan untuk 12 suku di perantauan (1 Pet 1:1) dan tinggal di tengah-tengah bangsa kafir (1 Pet 2:11).
Jemaat Efesus adalah kawan sewarga dari orang-orang kudus (sympolitai tōn hagiōn). Sebutan sympolitai memiliki muatan politis-sosial yang kental. Kata politai sendiri berarti warga suatu kota atau negara (Luk 15:15 “majikan” = lit. “warga negara”; 19:14; Kis 21:39). Kontras dengan orang asing (xenoi) maupun pendatang (paroikoi) menyiratkan bahwa sympolitai sebaiknya ditafsirkan sebagai warga negara dengan hak yang penuh.
Tidak hanya warga suatu kota atau negara, jemaat Efesus juga anggota-anggota keluarga Allah (oikeioi tou theou). Kata oikeioi digunakan untuk keluarga secara rohani (Gal 6:10 “kawan-kawan kita seiman” = lit. “anggota keluarga iman”) maupun secara jasmani (1 Tim 5:8). Jelas sebutan ini menyiratkan keintiman yang lebih kuat daripada 3 sebutan sebelumnya.
Kesatuan di dalam gereja jauh melampaui kesatuan secara politis maupun sosial. Lebih kuat daripada ikatan etnis maupun status ekonomi. Gereja harus menjadi sebuah rumah bagi setiap jemaat. Tidak ada orang asing di dalam gereja. Semua adalah satu keluarga.
Gereja sebagai rumah Allah (ayat 20-22)
Di bagian ini Paulus secara cepat menggeser metafora yang ia gunakan, dari anggota rumah tangga (ayat 19) menjadi rumah Allah (ayat 20-22). Gambaran jemaat sebagai rumah Allah di teks ini sangat kontras dengan keadaan jemaat Efesus dahulu di luar Kristus. Mereka hidup “tanpa Allah di dunia” (2:12), kini Allah yang justru berkenan berdiam di tengah-tengah mereka (2:21-22). Mereka yang dahulu mati di dalam dosa, dikuasai roh-roh jahat, dan berbagai hawa nafsu (2:1-3) kini menjadi kediaman Allah yang kudus (2:21-22).
Bangunan rohani ini memiliki beberapa karakteristik yang luar biasa. Pertama, dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi (ayat 20a). Para penafsir memperdebatkan sebutan “para nabi” di sini. Apakah ini merujuk pada nabi-nabi di Perjanjian Lama atau para nabi yang melayani di jemaat mula-mula?
Konteks Surat Efesus secara keseluruhan tampaknya mendukung pilihan terakhir. Para rasul disebutkan lebih dahulu. Urutan yang sama juga muncul di 3:5 dan 4:11. Di 3:5 sebutan nabi-nabi dikontraskan dengan orang-orang pada zaman angkatan-angkatan dahulu, sedangkan di 4:11 dimasukkan ke dalam daftar para pemimpin dan pelayan di gereja. Di luar Surat Efesus, rasul-rasul dan nabi-nabi juga dikaitkan dengan urutan yang sama (1 Kor 12:28-29).
Apa yang diajarkan Paulus di Efesus 2:19a bersumber dari ajaran Tuhan Yesus, tatkala Ia berjanji untuk mendirikan jemaat-Nya di atas Petrus sebagai perwakilan dari semua rasul (Mat 16:18-19; bdk. 18:18). Tambahan “para nabi” di Efesus 2:19a mungkin dimaksudkan sebagai pembedaan tugas antara para rasul (lebih ke arah meneruskan ajaran dan tradisi dari Tuhan Yesus) dan para nabi (lebih ke arah menyampaikan pesan Allah secara spesifik untuk situasi spesifik di jemaat mula-mula).
Kedua, dibangun dengan Kristus sebagai batu penjuru (ayat 20b). Istilah akrogōniaios hanya muncul di sini dan 1 Petrus 2:6 (kutipan dari LXX Yesaya 28:16). Petrus mengaitkan batu ini dengan kephalē gōnia (1 Pet 2:7; lihat KJV/ASV/RSV/NRSV “the [very] head of the corner”). Bagaimanapun, keterangan ini tetap tidak terlalu banyak membantu. Yang jelas, batu ini sebaiknya dibedakan dari pondasi (bdk. para rasul dan para nabi sebagai pondasinya).
Sebagian orang menduga batu penjuru adalah batu yang diletakkan di bagian atas bangunan dan berfungsi untuk mengikat semua penjuru supaya kokoh dan lurus. Tafsiran ini kurang sesuai dengan konteks Efesus 2:20-22. Bagaimana mungkin Kristus baru diletakkan sesudah para rasul dan para nabi serta jemaat? Lebih jauh, proses pembangunan di teks ini masih terus berlangsung. Kalau demikian, kapan Kristus nanti diletakkan? Membayangkan proses pembangunan sudah dim lai tanpa peranan Kristus jelas bertabrakan dengan pemunculan “di dalam Dia” sebanyak dua kali di ayat 21-22.
Alternatif paling memungkinkan adalah menafsirkan batu penjuru sebagai bagian dari pondasi, tetapi peranannya lebih penting. Batu penjuru adalah batu yang paling kokoh dan berfungsi untuk memastikan ketepatan dan kekokohan seluruh bangunan. Yesaya 28:16 tampaknya mendukung dugaan ini (ayat 16 “sebuah batu penjuru yang mahal, suatu dasar yang teguh”). Cara Paulus mengaitkan Kristus sebagai batu penjuru dengan para rasul dan nabi sebagai pondasi (Ef 2:20) juga selaras dengan tafsiran ini.
Ketiga, dibangun dengan menyeluruh, rapi, dan berkelanjutan (ayat 21-22). Ungkapan “seluruh bangunan” (LAI:TB pasa oikodomē) dapat berarti “seluruh ruangan” (ASV), “seluruh struktur” (RSV/NRSV), atau “seluruh bangunan” (NASB/NIV/ESV). Arti mana pun yang diambil, penekanan pada kata “seluruh” tetap tidak hilang. Semua orang percaya berkumpul di suatu tempat menjadi satu bangunan rohani. Atau, setiap jemaat lokal bergabung dengan jemaat-jemaat lokal lain membentuk sebuah gereja universal. Tidak boleh ada satu anggota pun yang tidak berperan.
Keragaman seringkali menghasilkan kerumitan dan kekacauan. Tidak demikian halnya dengan gereja sebagai rumah Allah. Di dalam Kristus semua bagian disusun secara rapi (synarmologeomai). Kata dasar yang sama juga muncul di 4:16, dan juga dikaitkan dengan pembangunan di dalam Kristus. Dengan kata lain, kesatuan di dalam Kristus harus menjadi alasan kuat bagi kesatuan gereja, jauh lebih kokoh daripada keragaman yang ada maupun kesatuan yang diciptakan oleh faktor lain.
Pondasi dan batu penjuru sudah diletakkan (2:20). Pembangunan sedang berlangsung. Proses ini akan terus berlangsung (2:21-22). Setiap bagian akan terus dirapikan (2:21, present partisip synarmologoumenē). Jemaat akan terus-menerus bertumbuh (2:21, present indikatif auxei) menjadi bait yang kudus di dalam Kristus. Mereka akan terus-menerus turut dibangunkan menjadi kediaman Allah (2:22, synoikodomeisthē).
Dengan semua hal yang Kristus telah, sedang, dan akan terus lakukan untuk jemaat-Nya, sangat disayangkan jika sebagian orang Kristen tidak mau secara aktif terlibat di dalam proses pembangunan rumah Tuhan. Gereja bukan tempat konser. Ibadah bukan sebuah rutinitas kosong yang tidak membawa kita lebih dekat dengan Allah dan sesama melalui karya penebusan Kristus. Ibadah menumbuhkan kita. Persekutuan di antara orang percaya adalah bait Allah yang sesungguhnya. Cintailah ibadah. Cintailah persekutuan dengan sesama orang Kristen. Soli Deo Gloria.