Beberapa waktu yang lalu saya sudah pernah membahas Mazmur 73 secara keseluruhan. Hari ini kita hanya akan menyoroti bagian akhir dari mazmur ini. Bagaimanapun, kita tetap perlu mengetahui alur pemikiran dari ayat 1-28. Penulis mazmur ini, yaitu Asaf, sangat bergumul dengan sebuah persoalan doktrinal dan praktis yang pelik. Sama seperti kebanyakan orang Israel pada umumnya, Asaf memegang konsep retribusi: taat membawa berkat, tidak taat menyebabkan hukuman. Ia yakin bahwa Allah berbuat baik kepada orang-orang yang tulus dan bersih hatinya (ayat 1).
Kenyataannya, realita kehidupan tidak selamanya sejelas yang diajarkan (ayat 2). Asaf justru melihat banyak orang fasik yang sehat, makmur, dan berhasil (ayat 3-12). Walaupun mereka sombong dan menentang Allah, namun tampaknya tidak ada hukuman bagi mereka. Sebaliknya, Asaf justru mengalami hajaran dari TUHAN, sehingga ia sempat berpikir untuk meninggalkan kebenaran yang ia yakini (ayat 13-15).
Di tengah kegundahan hati seperti itu, Asaf tetap pergi ke rumah TUHAN, dan di sana dia mendapatkan jawaban ilahi. Orang-orang fasik pasti akan dihukum oleh TUHAN. Mereka sedang berada di tempat yang sangat licin dan tinggal menunggu waktu kejatuhan dan kehancuran (ayat 16-20).
Jawaban lain yang diberikan Allah kepada Asaf adalah perubahan konsep tentang kebaikan Allah (ayat 21-28). Kalau sebelumnya Asaf memahami kebaikan Allah hanya terbatas pada hal-hal yang sementara dan duniawi – seperti kemakmuran, kesehatan, dan keberhasilan – kini Ia belajar bahwa Allah jauh lebih penting daripada berkat-berkat-Nya. The Giver is much more important than His gifts!
Perubahan perspektif di atas merupakan kunci bagaimana Asaf di tengah kegalauannya tetap mampu menutup mazmur ini dengan nuansa sukacita. Ketidaktahuan terhadap jalan dan pekerjaan Allah bukan hambatan untuk tetap memuji Dia. Bahkan tatkala semua pemberian Allah tampaknya tidak kita nikmati, hal itu tetap bukan halangan untuk menunjukkan sukacita. Kalau begitu, bagaimana cara kita mendapatkan sukacita yang penuh?
Kejujuran di hadapan Allah (ayat 21-22)
Penekanan pada ‘iman’ secara berlebihan di aliran kharismatik – terlepas dari apakah iman tersebut adalah iman yang benar – tanpa disadari telah membuat orang-orang Kristen merasa tabu dan berdosa apabila mereka menyimpan kebingungan dan keraguan – apalagi protes – kepada Allah. Mereka berusaha menutupi diri dengan slogan-slogan bombastis seperti “Allah itu luar biasa baik!” atau “Allah itu pekerjaan mengagumkan!”, padahal jauh di lubuk hati mereka terdapat beragam pertanyaan tentang Allah. Tidak demikian dengan para pemazmur. Mereka terlihat sangat terbuka dan jujur di hadapan Allah.
Di ayat 21 Asaf berujar: “Ketika hatiku merasa pahit dan buah pinggangku menusuk-nusuk rasanya” (LAI:TB). Kata ‘buah pinggang’ (Ibrani kilyōtay) dapat digunakan secara hurufiah dalam arti ‘ginjal’ (buah pinggang) atau secara figuratif dalam arti ‘hati’ (Ay 19:27 ‘hati sanubari[kilyōtay]ku merana karena rindu’). Dalam Mazmur 73:21 kata kilyōtay jelas digunakan secara figuratif, karena disejajarkan dengan kata lebāb yang merujuk pada bagian terdalam dalam diri manusia (KJV/NIV/LAI:TB ‘heart’; ASV/RSV/ESV ‘soul’).
Penggunaan dua kata yang memiliki jangkauan arti berdekatan ini menyiratkan bahwa pergumulan Asaf tidak hanya terjadi pada tingkat permukaan. Sama seperti ketulusan dan kemurnian Asaf terletak pada hatinya (ayat 1, 13), demikian pula pergulatan terberat Asaf ada pada hatinya (ayat 21). Lebih jauh, kegundahan hati ini bukan muncul dari ketegaran hati Asaf. Berdasarkan teks Ibrani, ayat ini secara hurufiah seharusnya diterjemahkan dalam bentuk pasif: “Ketika jiwaku dipahitkan dan aku ditusuk-tusuk di hati”. Asaf memang sudah berusaha berpegang teguh pada pandangan teologi retribusi yang tradisional, tetapi realita yang ia lihat memang sulit dipahami dalam perspektif semacam itu sehingga hatinya dipahitkan dan tertusuk-tusuk.
Asaf selanjutnya mengakui kebodohan dirinya (ayat 22). Ia menggunakan dua kata: baar (NIV ‘senseless’; ASV/ESV ‘brutish’; KJV ‘foolish’; RSV ‘stupid’) dan tidak yāda (semua versi ‘ignorant’). Dua kata ini menjelaskan dua sisi kebodohan yang berbeda: Asaf bukan hanya tidak tahu (tidak sadar) tetapi juga tidak mampu mengetahui. Keadaan ini ia bandingkan dengan hewan (lit. ‘binatang buas’; bdk. 50:10; 104:14). Berbeda dengan budaya Indonesia yang menyamakan kebodohan dengan binatang tertentu (keledai atau kerbau), Asaf membandingkannya dengan sembarang binatang, terutama binatang liar.
Apa maksudnya? Mazmur 49 memberi petunjuk penting untuk menjawab pertanyaan di atas. Di ayat terakhir manusia yang tidak berpengertian disamakan dengan hewan (ayat 21). Menariknya, pemazmur juga memberi peringatan untuk tidak iri kepada keberhasilan orang-orang kaya yang fasik (ayat 17-18). Berdasarkan hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa pemazmur sedang membandingkan tujuan hidup binatang dan manusia secara umum. Binatang hanya lahir, bertahan hidup, lalu mati, sehingga pantas kalau yang ada di otak mereka hanyalah hal-hal yang jasmani dan sementara. Manusia diciptakan untuk Allah, diberi kemampuan untuk mengembangkan hidup dan kebudayaan, lalu mati untuk menjalani kehidupan lain setelah kematian. Di sini terletak perbedaan hakiki antara pemikiran manusia dan binatang. Jika jarak pemikiran antara binatang dan manusia sudah sedemikian berbeda dan jauh – padahal mereka sama-sama ciptaan – apalagi jarak antara pemikiran manusia dan Allah (Yes 55:9).
Asaf benar-benar menyadari hal ini. Pikirannya kadangkala tertuju hanya pada hal-hal yang jasmani dan tidak kekal. Pikirannya sering gagal menyelami jalan dan cara kerja Allah. Kejujuran terhadap perasaan dan keterbatasan kita adalah langkah awal menuju sukacita yang penuh dan sejati di dalam TUHAN.
Penyertaan Allah (ayat 23-24)
Asaf tidak mau berhenti pada keraguan dan ketidaktahuan. Ayat 23 dimulai dengan “tetapi aku...” Walaupun kejujuran hati tidaklah berdosa, namun respon kita selanjutnya terhadap hal itu yang akan menentukan. Kita tidak boleh terpaku pada hal-hal yang tidak kita pahami, dan melupakan apa yang sebenarnya sudah pasti bagi kita. Di samping itu, ketidaktahuan bukan halangan untuk percaya. Kita tetap memiliki alasan rasional yang cukup untuk mempercayai Allah.
LAI:TB menerjemahkan ayat 23a dengan “tetapi aku tetap di dekat-Mu”, seolah-olah Asaf yang aktif untuk mendekat kepada Allah. Dalam teks Ibrani ayat ini sebenarnya berbunyi: “tetapi aku senantiasa bersama-Mu”. Yang dipentingkan di sini adalah sebuah fakta, bukan tindakan manusia. Lebih jauh, ayat 23b-24 semuanya menampilkan TUHAN sebagai subyek yang aktif (“Engkau...Engkau...Engkau...”). Jadi, yang menjadi poin penting bukan tindakan kita dalam menghampiri Allah – walaupun hal ini penting dan akan disinggung Asaf di dua ayat terakhir (ayat 27-28) – tetapi tindakan Allah yang selalu mencakup kita di dalam hadirat-Nya. Meminjam ungkapan reformasi, kita perlu meyakini bahwa kita selalu berada dalam Coram Deo (hadirat Allah).
Penyertaan ini bukan sembarang penyertaan. Penyertaan ini bersifat memuliakan. Terlepas dari bagaimana ungkapan ‘memegang tangan kanan’ dan ‘diberi nasihat’ seharusnya dipahami, ayat 24b sudah mewakili seluruhnya: Allah akan memuliakan kita (LAI:TB “kemudian Engkau mengangkat aku ke dalam kemuliaan”). Para penafsir berdebat tentang rujukan konkrit dari janji ini: apakah kemuliaan itu akan terlihat di dunia ini atau di surga kelak? Opsi ke-1 didukung oleh minimnya ide tentang kehidupan setelah kematian dalam Kitab Mazmur dan kebiasaan para pemazmur yang ‘mendesak’ Allah untuk menolong sebelum mereka mati (6:6; 49:15; 88:11-13), sedangkan opsi ke-2 oleh pemunculan kata ‘mengangkat’ pada peristiwa dua orang yang terangkat ke surga tanpa mengalami kematian, yaitu Henokh dan Elia (Kej 5:24; 2 Raj 2:1, 3, 5, 9, 10).
Perdebatan semacam ini tampaknya telah meleset dari sasaran. Apa yang ditekankan oleh pemazmur bukan kapan dan di mana penyertaan TUHAN akan ia alami. Ayat 23a jelas menyinggung tentang fakta penyertaan ilahi yang tidak terbatas oleh waktu dan tempat: TUHAN selalu bersama kita. Yang paling penting bukan ke mana atau berapa lama kita pergi, namun dengan siapa kita pergi. Jika hadirat TUHAN selalu ada bersama kita, kemuliaan-Nya juga akan menyertai kita.
Asaf menyadari bahwa penyertaan Allah jauh lebih penting daripada berkat-berkat-Nya. Hal ini sangat mirip dengan sikap Musa. Sesudah bangsa Israel menyembah anak lembu emas dan TUHAN sangat murka kepada mereka, TUHAN tetap menjanjikan perlindungan dan keberhasilan dalam perjalanan menuju tanah perjanjian. Allah akan mengutus malaikat-Nya di depan mereka. Dengan penuh hikmat yang mendalam Musa berkata: “Jika Engkau tidak membimbing kami, janganlah suruh kami berangkat dari sini” (Kel 33:15). Dalam versi Inggris diterjemahkan: “Jika hadirat-Mu tidak pergi bersama kami, janganlah menyuruh kami pergi dari sini” (NIV/ESV).
Keutamaan TUHAN (ayat 25-26)
Penyertaan TUHAN merupakan berkat yang sangat berharga bukan hanya karena penyertaan itu membawa kemuliaan. Penyertaan ini begitu bernilai sebab TUHAN memang adalah harta kita yang paling berharga (ayat 25) dan permanen (ayat 26). Dialah yang paling utama di dalam hidup ini.
Terjemahan “ada padaku” (LAI:TB) di ayat 25a dapat menimbulkan kesan bahwa ini hanya tentang kebersamaan. Beragam versi Inggris dengan tepat mengarahkannya pada ide kepemilikan (lit. “Siapa gerangan yang aku miliki di surga selain Engkau?”). Konsep ini luar biasa mendalam. Asaf menyadari keutamaan Allah di surga. Walaupun surga adalah tempat yang sangat indah, tetapi tanpa memiliki Allah di dalamnya maka hal itu tidak akan berarti apa-apa. Kehadiran TUHANlah yang memberi maka hakiki pada surga. Bukan hanya bersama Allah, tetapi kita juga memiliki Dia. Jika keutamaan TUHAN di surga sudah diakui, maka keutamaan pasti juga akan diterima di bumi. Tidak ada satu pun di dunia yang Asaf inginkan, kecuali Allah sendiri (ayat 25b). Penggunaan kata ‘surga’ dan ‘bumi’ di ayat ini menyiratkan inklusivitas yang absolut: benar-benar tidak ada satu pun yang dapat disejajarkan dengan TUHAN. Dia adalah bagian yang paling berharga.
Harta yang paling bernilai akan kehilangan keutamaannya apabila harta itu bisa rusak, lenyap atau dirampas orang lain. Nasib seperti ini akan menimpa semua keberadaan di luar diri Allah. Hanya Allah yang tidak dapat berubah (immutable) dan kekal (eternal). Harta orang fasik beserta dengan orangnya sekalian dapat musnah dalam sekejap (ayat 18-20). Daging dan hati kita pun dapat habis lenyap (ayat 26a).
Dalam teks Ibrani kata ‘habis lenyap’ (kālāh) dapat diterjemahkan dengan ‘gagal’ (tidak sampai pada akhirnya). Berbeda dengan beberapa versi Inggris yang memilih ‘mungkin gagal’ (RSV/NASB/NIV/ESV ‘may fail’), pertimbangan konteks mendorong kita mengambil kata ‘gagal’ secara lampau (KJV/ASV ‘faileth’). Fisik Asaf melemah akibat tulah dan hukuman dari Tuhan (ayat 13-14). Hatinya yang tulus dan murni (ayat 1, 13) telah dipahitkan dan ditusuk-tusuk (ayat 21). Tidak ada satu pun yang permanen.
Asaf bukan hanya menganggap Allah sebagai bagiannya, namun ia menggambarkan Allah sebagai gunung batu. Sayangnya beberapa versi Inggris berusaha mengubah terjemahan hurufiah ‘gunung batu’ menjadi ‘kekuatan hatiku’ (EV’s ‘the strength of my heart’), padahal gambaran ini justru berfungsi untuk menjelaskan bahwa Allah adalah bagian yang permanen. Orang-orang kuno selalu melihat gunung batu sebagai sesuatu yang sulit berubah. Demikianlah Allah bagi Asaf.
Konklusi bagi Mazmur 73 (ayat 27-28)
Konklusi mazmur ini memiliki dua sisi: kebinasaan bagi yang menjauh dari Allah (ayat 27) dan kebaikan Allah bagi yang mendekat (ayat 28). Ayat 27 menunjukkan paralelisme yang kentara: ‘jauh’ sejajar dengan ‘yang berzinah dengan meninggalkan Engkau’ (versi Inggris: ‘far from you’ // ‘unfaithful to you’); ‘binasa’ sejajar dengan ‘binasa’ (versi Inggris: ‘shall perish’ // ‘You destroyed’). Nasib ini akan menimpa ‘semua orang’ yang meninggalkan TUHAN tanpa terkecuali.
Sebaliknya, Asaf lebih suka dekat pada Allah (LAI:TB). Terjemahan ini dapat menimbulkan kesan yang keliru, seolah-olah ini sekadar preferensi perasaan Asaf. Hampir semua versi Inggris dengan tepat memilih: “It is good for me to draw near God” (“Adalah baik untuk mendekat kepada Allah”). Kata ‘baik’ harus dipertahankan, karena membentuk inklusio dengan ayat 1 (bagian awal sama dengan akhir). Kalau di awal pergumulannya Asaf memahami kebaikan Allah dalam arti pemberian-Nya (kemakmuran, kesehatan, dan keberhasilan), kini ia meihat kebaikan Allah dalam arti kehadiran-Nya.
Tujuan tertinggi dari semua ini bukan kesenangan Asaf, walaupun ia memang mendapatkan sukacita sejati yang bersumber dari penyertaan Allah. Tujuan dari semua ini adalah supaya Asaf dapat menceritakan segala perkerjaan Allah yang ajaib (ayat 28b). Solusi terhadap masalah diberikan kepada kita tidak hanya untuk melepaskan kita dari situasi yang rumit, tetapi juga untuk memuliakan Allah. Dengan bertahan di dalam pergumulan yang berat, orang akan melihat penyertaan Allah yang ajaib dalam hidup kita. Soli Deo Gloria.