Sepuluh tulah yang TUHAN timpakan kepada bangsa Mesir – dari air menjadi darah sampai kematian anak sulung – merupakan salah satu cerita yang paling populer dan menarik di dalam Alkitab. Awal pemberian tulah lebih mirip sebuah kontes kekuatan ajaib. Apa yang dilakukan oleh Musa dan Harun ternyata ditiru oleh para tukang sihir Mesir. Mulai tulah ke-3 para penyihir Mesir sudah tidak mampu lagi meniru tanda ajaib yang dilakukan TUHAN.
Cerita di atas memunculkan sebuah pertanyaan penting: bagaimana membedakan mujizat yang sejati dan palsu? Sebelum menjawab pertanyaan ini, kita akan membahas dahulu tujuan Allah menyatakan berbagai tanda ajaib di depan Firaun dan bangsa Mesir. Pada bagian terakhir kita juga akan mengamati kaitan antara mujizat dan pertobatan.
Tujuan mujizat
Jika kita menyelidiki Alkitab dengan teliti, kita akan menemukan sebuah fakta menarik: mujizat sering terjadi hanya pada beberapa jaman saja: Musa, Elia dan Elisa, serta Tuhan Yesus dan para rasul. Di luar itu hanya ada sangat sedikit mujizat yang TUHAN nyatakan. Mujizat bukanlah hal yang biasa dan normal bagi orang-orang percaya sepanjang sejarah keselamatan. TUHAN memiliki tujuan tertentu di balik demonstrasi kuasa ilahi tersebut. Apa saja tujuan tanda ajaib menurut Keluaran 7 dan 8?
Mujizat dimaksudkan sebagai konfirmasi ilahi terhadap hamba-hamba Allah. Pengutusan Musa sebagai “allah” (secara terbatas untuk Harun dan Firaun) dan penunjukkan Harun sebagai nabinya (7:1; 4:16) merupakan tugas yang sangat berat bagi kedua hamba Allah ini. Mereka harus menghadapi bangsa Israel yang tegar tengkuk. Seperti bangsa-bangsa kuno pada umumnya, bangsa Israel cenderung meminta tanda ajaib sebagai bukti (bdk. 1 Kor 1:22-23; Mar 8:12; Yoh 2:18; 6:30). Karena itu, TUHAN meyakinkan Musa dengan cara mengadakan berbagai tanda ajaib di depan matanya (4:1-9, 17) dan juga di depan mata tua-tua Isarel (4:29-30).
Dalam perjalanan mereka selama 40 tahun di padang gurun, sikap bangsa Israel terhadap TUHAN juga sangat ditentukan oleh keberadaan mujizat di tengah-tengah mereka. Tatkala mereka menghadapi persoalan dan TUHAN tampaknya tidak campur tangan secara ajaib, mereka mulai menggerutu dan menyalahkan TUHAN. Sikap ini berubah apabila TUHAN menunjukkan mujizat-Nya. Dengan mentalitas “mujizat” seperti ini tampaknya akan sangat sulit bagi mereka untuk menerima Musa sebagai pemimpin mereka yang diutus oleh Allah. Dalam konteks seperti inilah TUHAN mengadakan mujizat sebagai konfirmasi ilahi untuk hamba-hamba-Nya.
Tujuan lain dari mujizat adalah menunjukkan supremasi Allah atas segala sesuatu. Pada waktu Musa dan Harun menghadap Firaun pertama kali dan meminta dia untuk membebaskan bangsa Israel agar mereka dapat beribadah kepada TUHAN, Firaun meresponi hal itu dengan sebuah pertanyaan: “Siapakah TUHAN itu yang harus kudengarkan firman-Nya?” (5:2). Pertanyaan ini sangat wajar diucapkan Firaun, karena ia sudah mempercayai begitu banyak dewa. Apa keistimewaan TUHAN dibandingkan illah-illah yang lain? Firaun lalu meminta sebuah tanda kepada Musa dan Harun (7:9-10). Tidak puas dengan satu tanda, kekerasan hari Firaun menyebabkan 10 tulah ajaib terjadi. Semua itu terjadi untuk menunjukkan siapakah TUHAN itu. Berulang kali TUHAN sendiri menyatakan kepada bangsa Israel dan Mesir bahwa Dialah Allah (6:2, 6, 7, 8, 29; 7:5, 17; 8:22; 9:14, 29; 10:2; 14:4, 18).
Kita perlu mengetahui bahwa semua tanda ajaib yang dilakukan Allah merupakan serangan terhadap Firaun dan dewa-dewa bangsa Mesir. Ada beberapa petunjuk untuk hal ini. Ucapan ilahi “Aku mengacungkan tangan-Ku terhadap Mesir” (7:5) muncul beberapa kali dalam konteks yang beragam, tetapi ucapan ini memiliki pesan yang khusus di telinga Firaun. Menurut catatan sejarah Mesir ada beberapa Firaun yang mengambil sebutan untuk dirinya dengan nama-nama yang berhubungan dengan lengan atau tangan. Pengacungan tangan TUHAN menunjukkan bahwa tidak ada satu Firaun pun yang lengan/tangannya cukup kuat untuk melawan TUHAN. Mujizat tongkat menjadi ular (7:8-10) juga menyimpan pesan khusus, karena ular (kobra) merupakan salah satu simbol kekuasaan dan kepercayaan Firaun. Yang paling jelas adalah pemberian 10 tulah yang mempermalukan para dewa Mesir. Misalnya, tulah ke-1 (air Sungai Nil menjadi darah) menjadi tamparan keras bagi beberapa dewa Mesir yang dikaitkan dengan sungai itu: Khnum (penjaga Sungai Nil), Hapi (roh Sungai Nil), Osiris (dewa kehidupan dan mata air). Kegelapan selama tiga hari ditujukan untuk menunjukkan kuasa TUHAN atas dewa Ra atau Horus yang disembah sebagai dewa terang atau matahari.
Karakteristik mujizat palsu
Fenomena “mujizat” sudah sedemikian marak, baik di dalam maupun di luar gereja. Banyak orang Kristen tergila-gila dengan mujizat. Antusiasme yang berlebihan ini dapat menjerumuskan mereka pada beragam konsep yang sesat tentang mujizat. Alkitab secara jelas sudah memperingatkan bahwa guru palsu, nabi palsu, dan mesias palsu juga mampu mengadakan tanda ajaib dengan maksud untuk menyesatkan sebanyak mungkin orang (Mat 24:24; Mar 13:22; 2 Tes 2:9-10; Why 13:13-14).
Iblis bukan hanya mampu mengadakan tanda ajaib, tetapi ia juga berusaha meniru mujizat yang asli. Sejak permulaan jaman Iblis memang sudah menjadi peniru dan penipu yang handal. Sebagai contoh: Allah menciptakan manusia seperti Allah (manusia adalah gambar dan rupa Allah, Kej 1:26-27), Iblis menawarkan manusia menjadi seperti Allah (manusia dapat membedakan yang baik dan yang jahat, Kej 3:4-6). Tawaran ini jelas adalah tipuan belaka, karena hak untuk membedakan yang baik dan yang jahat hanya ada di tangan Allah (Kej 1:4, 10, 12, 18, 21, 25, 31; 2:18).
Bagaimana membedakan mujizat yang sejati dan palsu? Keluaran 7 dan 8 memberikan beberapa petunjuk berharga. Pertama, mujizat yang palsu tetap kalah dengan mujizat yang asli (7:11-12). Walaupun Musa dan para penyihir Mesir sama-sama mampu mengubah tongkat menjadi ular, tetapi tongkat Harun akhirnya menelan tongkat para penyihir tersebut. Kata Ibrani tannîm (LAI:TB “ular”) di 7:8-12 berbeda dengan kata nāḥāš yang digunakan pada saat tingkat Musa berubah menjadi ular di di 4:2-5. Perubahan kosa kata ini menimbulkan perbedaan interpretasi di kalangan penafsir. Sebagian menganggap dua kata tersebut sinonim, karena di 7:15 kata yang dipakai kembali pada nāḥāš dan di tempat lain kata tannîm dikaitkan dengan ular kobra (Ul 32:33; Mzm 91:13). Penafsir yang lain membedakan tannîm dan nāḥāš. Kata tannîm diyakini merujuk pada reptil yang jaug lebih besar, misalnya buaya (Yeh 29:3; 32:2) atau ular naga (Yer 51:34).
Kita sebaiknya menafsirkan tannîm dan nāḥāš sebagai sinonim. Walaupun demikian, tidak salah apabila kita menduga bahwa ular Musa jauh lebih besar daripada ular para penyihir Mesir. Kata “menelan” (bāla’) menyiratkan kontras, sama seperti pada waktu bangsa Mesir ditelan air Laut Teberau (Kel 15:12), keluarga Korah ditelan oleh bumi (Bil 16:30, 32), atau Yunus ditelan ikan besar (Yun 1:17). Dugaan ini tidak berlebihan. Pada waktu para penyihir meniru tulah ke-1 dan ke-2, mereka hanya bisa melakukan itu dalam skala yang jauh lebih kecil atau sedikit dibandingkan dengan tanda ajaib yang dilakukan TUHAN. Tidak heran jika ular mereka pun berukuran lebih kecil sehingga dengan mudah ditelan oleh ular dari tongkat Harun.
Kedua, mujizat palsu hanya bersifat negatif. Peniruan atas dua tulah pertama seharusnya tidak terlalu menggembirakan Firaun maupun bangsa Mesir. Para penyihir Mesir hanya bisa menambah masalah yang memang sudah parah. Bukannya mengubah darah kembali menjadi air yang dapat diminum, para penyihir tersebut justru mengubah air sehat yang sudah langka menjadi darah. Tidak ada kebaikan apapun yang dihasilkan. Bangsa Mesir tetap harus menggali-gali di sekitar sungai untuk mendapatkan air segar (7:22). Para penyihir dapat mendatangkan katak, namun mereka tidak mampu mengusir katak-katak itu (8:7). Firaun harus meminta tolong kepada Musa untuk mengatasi masalah yang terjadi (7:24; 8:8-13). Apa yang dilakukan para penyihir hanya menambah masalah. Begitu pula dengan segala bentuk pertolongan dari kuasa kegelapan. Iblis tidak bisa membahagiakan manusia, karena ia dari semula memang pembunuh manusia (Yoh 8:44; 10:10a).
Ketiga, mujizat palsu bersifat terbatas. Tidak semua tanda ajaib yang dilakukan TUHAN dapat ditiru (8:18-19). Pada tulah ke-3 para penyihir Mesir sudah tidak mampu lagi. Mereka mengakui bahwa tanda-tanda ajaib itu merupakan “tangan Allah” (LAI:TB, 8:19). Dalam teks Ibrani kata yang digunakan bukan “tangan”, melainkan “jari” (lihat KJV/ASV/RSV/NASB/NIV/ESV). Pemakaian kata “jari” (bdk. 7:5 “mengacungkan tangan-Ku”) menyiratkan betapa besarnya kuasa Allah. Perbuatan ajaib yang ditunjukkan di depan Firaun hanyalah hasil pekerjaan jari Allah (lihat Mzm 8:4 “Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu...”). Para ahli sihir Mesir bahkan akhirnya terkena tulah juga (9:10-11). Dari sini terlihat bahwa ada banyak tanda ajaib yang Iblis tidak berkuasa untuk melakukannya, misalnya membangkitkan orang mati (daam arti yang sesungguhnya, bukan hanya memanipulasi tubuh orang mati).
Yang terakhir, mujizat palsu selalu bertentangan dengan hikmat Allah. Tanda-tanda ajaib dari penyihir Mesir dimaksudkan untuk melawan kuasa dan kehendak TUHAN. Dalam 2 Timotius 3:7-9 Paulus mengutip Keluaran 7 dari tradisi Yahudi kuno. Ia menyebutkan bahwa dua orang penting dalam kumpulan penyihir Mesir adalah Yanes dan Yambres. Keduanya secara dekat dihubungkan dengan ketidakbenaran. Memang itulah ciri khas mujizat yang bukan berasal dari Allah: tidak ada kebenaran di dalamnya!
Alkitab mengajarkan dua kriteria kebenaran untuk menilai nabi palsu dan nabi sejati. Kriteria ini tidak menyinggung tentang kuasa, karena Iblis juga mampu memberikan kuasa kepada para nabi palsu. Kriteria tersebut meliputi kebenaran ajaran dan kebenaran hidup. Jika seorang hamba Tuhan mampu bernubuat dan mengadakan tanda ajaib, tetapi ajarannya menyimpang dari firman TUHAN, maka ia adalah seorang nabi palsu (Ul 13:1-5; Mat 24:24; 1 Yoh 4:2-6). Demikian pula apabila hidupnya tidak menuruti kehendak Bapa di surga (Mat 7:15-23). Seperti yang dinubuatkan Paulus, manusia pendurhaka (2 Tes 2:8, “pendurhaka” = lit. “tidak berhukum”) akan datang dan menunjukkan berbagai tanda ajaib untuk menyesatkan umat Allah. Kita tidak boleh terkecoh oleh tipu muslihat Iblis. Kita harus menjaga hati kita dari sindrom mujizat yang sedang melanda banyak orang Kristen yang tidak mengenal kebenaran firman Tuhan.
Persoalan yang sebenarnya: bukan kurang mujizat, tetapi kekerasan hati
Kecenderungan orang Kristen modern untuk mencari mujizat agar kerohanian mereka dibangun sebenarnya tidak sepenuhnya benar. Mujizat tidak selalu menghasilkan iman. Walaupun Firaun melihat dan mengalami sendiri berbagai demonstrasi kuasa Allah, tetapi hatinya tetap keras (4:21; 7:3, 13; 8:15, 32; 9:7, 34; 10:1; 1 Sam 6:6). Yang kita cari bukanlah mujizat, tetapi pekerjaan Allah yang melembutkan hati kita. Kita minta kepada Allah agar Roh-Nya yang kudus melebarkan hati kita dan meluaskan hidup kita bagi Dia, sehingga seluruh aspek kehidupan kita pada akhirnya hanya untuk Allah semata-mata dan seluruhnya. Soli Deo Gloria.