Kita hidup di sebuah zaman yang sangat permisif terhadap dosa. Sesuatu yang wajar dianggap sebagai sesuatu yang benar. Atas nama kebebasan, kebenaran kerap dikorbankan. Yang lebih parah, berita penghukuman dari Tuhan hanya dianggap sebagai alat ancaman murahan.
Dalam khotbah hari ini kita akan belajar bahwa Allah tidak pernah diam pada saat kebenaran diabaikan, diremehkan, dan dilanggar. Mata-Nya terlalu kudus untuk membiarkan dosa begitu saja. Ketika raja, para pembesar, dan pemuka agama di Israel bersikeras dalam keberdosaan mereka, TUHAN sudah bersiap menyatakan penghukuman-Nya.
Sebelum menguraikan sikap TUHAN di atas, ada baiknya kita mengetahui situasi historis pada jaman Amos. Pengetahuan ini akan menolong kita untuk memahami relevansi dan urgensi berita yang disampaikan oleh Amos.
Situasi pada zaman Amos
Sesuai dengan pendahuluan kitab ini, Amos melayani pada saat pemerintahan Raja Uzia di Yehuda dan Raja Yerobeam di Israel (yang dimaksud di sini adalah Yerobeam II, anak Yoas). Pelayanan Amos sendiri hanya difokuskan di negara Israel.
Para ahli tidak bisa memastikan detil waktu pelayanan Amos. Pemerintahan Uzia dan Yerobeam lumayan lama. Tambahan keterangan “dua tahun sebelum gempa bumi” juga kurang bermanfaat. Penemuan arkheologis hanya menunjukkan bekas-bekas gempa di Samaria dan Hazor, tetapi kurang menginformasikan kapan gempa itu terjadi. Yang kita bisa ketahui adalah dampak gempa itu yang luar biasa sehingga layak dijadikan patokan waktu. Peristiwa ini bahkan sempat disinggung oleh nabi yang lain (Zak. 14:5).
Berdasarkan informasi di pendahuluan kitab dan beberapa rujukan di seluruh kitab, kita sebaiknya menempatkan pelayanan Amos di masa pertengahan atau akhir pemerintahan Yerobeam. Jika ini benar, Amos kemungkinan besar melayani di pertengahan abad ke-8 Sebelum Masehi (SM).
Pada masa itu keadaan Israel dan Yehuda secara politis dan ekonomis sedang berada di puncak (lihat 2Raj. 14:17-15:7; 2Taw. 26). Ada stabilitas keamanan. Daerah kekuasaan juga semakin meluas. Kedua negara ini bahkan dalam keadaan bersahabat. Perdagangan dan pertanian terbilang sukses.
Situasi politik dan ekonomi ini berbanding terbalik dengan situasi keagamaan, moral, dan sosial. Mereka sarat dengan kesalahan dan siap untuk menuai hukuman dari Allah (8:1-2; bdk. 3:9-15). Kemunafikan menjadi biasa. Nama TUHAN, ibadah, dan aktivitas relijius lain hanya menjadi ritual tanpa makna. Kehidupan sehari-hari mereka sangat berlainan dengan semuanya itu. Keadilan tidak diperjuangkan. Kaum marjinal semakin ditekan. Kekejaman terjadi di mana-mana.
Respons TUHAN
TUHAN tidak menutup mata terhadap realita. Dia mengamati dan menindaklanjuti. Bagaimana Dia menyikapi situasi yang sedang terjadi di Israel?
Pertama, TUHAN mengutus hamba-Nya (ayat 1). Pengutusan Amos sebagai nabi sebenarnya cukup unik. Walaupun Amos melayani di Israel, dia sendiri sebenarnya berasal dari Yehuda. Dia berasal dari daerah Tekoa, sekitar 10 kilometer dari Betlehem.
Dia juga bukan berasal dari kalangan para nabi. Dia hanyalah orang biasa. Pekerjaannya adalah peternak domba (1:1) dan pemungut buah ara hutan (7:14), dua pekerjaan rendahan menurut budaya pada waktu itu. Amos sendiri bahkan menyatakan bahwa dia bukan seorang nabi maupun anak nabi. Maksudnya, dia bukan berasal dari keluarga atau institusi kenabian. TUHAN bisa memakai siapa saja yang dikehendaki-Nya.
Amos tampaknya memang menekankan status di atas. Status sebagai peternak domba muncul di pendahuluan kitab (1:1). Sebutan ini muncul lagi pada saat dia menggambarkan siapa dirinya di depan Amazia, imam di Betel (7:14).
Sebutan ini mungkin dimaksudkan sebagai sebuah kritikan terhadap para pemimpin politis dan relijius di Israel. Amos yang dahulu cuma penggembala domba sekarang dijadikan penyambung lidah Allah untuk membela kaum marjinal yang tertindas, sedangkan para gembala di Israel (raja, pembesar, imam, nabi-nabi) justru tidak mempedulikan domba-domba mereka. Dengan menyebut dirinya sebagai penggembala (peternak) domba, Amos ingin mengingatkan para pemimpin di Israel tentang tanggung-jawab mereka.
Di samping itu, sebagai nabi dari kalangan awam, Amos berbeda dengan nabi-nabi lain yang termasuk golongan nabi secara formal. Nabi-nabi ini sangat dihormati dan mendapatkan penghasilan dari pekerjaan kenabian. Itulah sebabnya, Amazia, imam di Betel yang tidak memahami posisi Amos, berkata: “Pelihat, pergilah, enyahlah ke tanah Yehuda! Carilah makananmu di sana dan bernubuatlah di sana!” (7:12).
Semua penjelasan di atas mengajarkan bahwa TUHAN seringkali mengadakan kejutan. Dia bisa memanggil orang-orang yang tidak terduga. Dia bisa memakai mereka yang dianggap hina oleh dunia. TUHAN tidak tinggal diam.
Kedua, TUHAN menyatakan hukuman-Nya (ayat 2). Amos diutus untuk memberikan peringatan terhadap umat Israel: penghukuman ilahi akan segera terjadi. Ada beragam petunjuk dalam teks yang memberi penekanan pada topik penghukuman. Yang terutama adalah rujukan tentang gempa bumi (ayat 1b). Sebagian penafsir Alkitab secara tepat memahami rujukan ini dalam kaitan dengan apa yang terjadi di Israel sebagai wujud hukuman dari TUHAN. Dengan kata lain, rujukan ini menunjukkan bahwa apa yang sudah disampaikan sebelumnya oleh Amos benar-benar menjadi kenyataan. Israel tertimpa gempa yang luar biasa.
Petunjuk lain terletak pada penggabungan dua gambaran: “mengaum” dan “memperdengarkan suara”(ayat 2a). Yang pertama merujuk pada auman singa, sedangkan yang kedua pada guruh. Dua hal ini memang sering digunakan untuk menggambarkan keadaan yang menakutkan. Bahkan dua kata ini pernah muncul bersamaan di tempat lain dengan makna yang sama (Ay. 37:4). Penggunaan secara bersamaan di Amos 1:2 menyiratkan penekanan: TUHAN sungguh-sungguh akan mendatangi Israel dengan kekuatan-Nya yang mengerikan.
Akibat yang ditimbulkan dari penghukuman ini menjadi petunjuk terakhir yang mengungkapkan keseriusan hukuman dari TUHAN (ayat 2b). Padang-padang penggembalaan akan mengering (LAI:TB). Dalam teks Ibrani, bagian ini secara hurufiah berbunyi: “padang para gembala mengering”. Menurut sejumlah penafsir, ungkapan “padang para gembala” bukanlah istilah yang lazim untuk padang penggembalaan. Istilah ini kemungkinan besar menunjuk pada padang yang terbaik. Maksudnya, padang rumput yang terbaik pun akan mengering.
Septuaginta (LXX) menerjemahkan “mengering” dengan “berkabung”. Terjemahan ini juga diambil oleh hampir semua versi Inggris. Terlepas dari terjemahan mana yang lebih tepat (mengering atau berkabung), maknanya tetap sama. Akan ada kesedihan yang besar di Israel karena padang rumput terbaik mereka akan musnah.
Hukuman selanjutnya berkaitan dengan Gunung Karmel (ayat 2c). Gunung ini terkenal sebagai daerah yang sangat subur. Tidak heran, pusat penyembahan Baal (yang dipercayai sebagai dewa hujan, guntur, dan kesuburan) didirikan di sana. Daerah sekitar Karmel selalu hijau sepanjang musim.
Kondisi ini tidak akan bertahan lama apabila Israel tidak mau bertobat. Jangankan daerah sekitar Gunung Karmel, puncaknya pun akan layu. Jika simbol kesuburan saja akan dilayukan oleh TUHAN, apalagi daerah-daerah lain di Israel.
Kehilangan padang rumput dan daerah subur jelas akan mempengaruhi ekonomi Israel. Mereka tidak akan bisa bergantung pada peternakan dan pertanian. Bagi masyarakat agrikultural seperti Israel pada waktu itu, keadaan ini jelas sangat serius. Itulah yang akan terjadi apabila mereka tetap tidak mau bertobat.
Apakah keadaan orang-orang Kristen sekarang lebih baik daripada penduduk Israel? Belum tentu. Tidak sedikit orang yang mengaku Kristen dan rajin beribadah, tetapi tidak menunjukkan moralitas dan kehidupan sosial yang baik. Mereka kurang berbelas kasihan terhadap kaum marjinal. Mereka tidak peduli dengan ketidakadilan, kecuali jika mereka sendiri sedang diperlakukan secara tidak adil. Kehidupan di Hari Minggu berbeda dengan di hari-hari biasa.
Bagaimana dengan Anda? Ingatlah, TUHAN tidak tinggal diam dengan semua ketidakbenaran yang sedang dipertontonkan. Bertobatlah. Kembalilah kepada Dia yang benar dan yang akan membenarkan Anda. Soli Deo Gloria.