Dunia ini tidak sempurna. Semua orang menyadarinya. Dalam dunia yang seperti ini beragam situasi buruk seolah-olah tidak pernah lelah menyapa. Berkali-kali kita mendapati diri kita berada dalam keadaan yang lekat dengan derita.
Memikirkan cara untuk menghindarkan diri sepenuhnya dari situasi di atas jelas merupakan tindakan yang sia-sia. Yang paling penting bukan menghindarinya, melainkan menyikapinya. Apakah kita akan kalah dan terpuruk dalam masalah atau kita akan menang dan keluar sebagai pribadi yang lebih matang?
Salah satu sikap negatif yang sering ditunjukkan oleh banyak orang adalah bersungut-sungut dan berbantah-bantahan. Dua sikap ini mirip saudara kembar. Ini adalah ungkapan ketidakpuasan terhadap suatu keadaan. Sebuah protes terhadap suatu hal yang tidak ideal.
Apa yang dimaksud dengan “bersungut-sungut” dan “berbantah-bantahan”? Kepada siapa sikap ini ditunjukkan? Mengapa kita tidak boleh melakukan persungutan dan perbantahan?
Dalam khotbah hari ini kita akan melihat apa yang dimaksud dengan bersungut-sungut dan berbantah-bantahan di 2:14. Kita juga akan menyelidiki alasan-alasan di balik larangan tersebut (ayat 15-16).
Isi nasihat (ayat 14)
Dilihat dari sisi posisi teks larangan untuk “tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan” masih berkaitan erat dengan proses pengudusan di 2:12-13. Kita harus terus-menerus menunjukkan ketaatan sebagai bukti untuk keselamatan yang sudah kita terima dari Tuhan. Nah, salah satu bentuk ketaatan tersebut adalah tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan (2:14).
Posisi teks seperti ini jelas bukan tanpa alasan. Paulus menganggap topik ini paling penting (atau paling tidak, paling relevan) dengan keadaan jemaat Filipi. Seperti yang kita sudah pelajari sebelumnya, jemaat Filipi sudah terbiasa dengan ketaatan (2:12). Namun, mempertahankan ketaatan tidaklah mudah. Ada banyak godaan untuk berhenti menunjukkan ketaatan. Salah satunya adalah ketidakpuasan. Ketidakpuasan yang akhirnya akan melahirkan persungutan dan perbantahan.
Hampir semua penafsir setuju bahwa latar belakang nasihat Paulus di 2:14 adalah perjalanan bangsa Israel di padang gurun. Kata “persungutan” (gongysmos) di 2:14 berkali-kali muncul dalam konteks perjalanan di padang gurun (Kel. 16:7, 8, 9, 12; Bil. 17:20, 25). Di samping itu, ungkapan di 2:15 (“angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini”) juga sangat mirip dengan Ulangan 32:5 (“suatu angkatan yang bengkok dan belat-belit”).
Walaupun semua penafsir sepakat dengan latar belakang di atas, mereka masih berdebat tentang objek persungutan dan perbantahan ini di 2:14. Sebagian menduga tindakan ini ditujukan pada Allah, sedangkan yang lain pada manusia (terutama pada para pemimpin di Filipi). Masing-masing mendapatkan dukungan dari teks.
Sikap terbaik adalah tidak terlalu membedakan objek persungutan dan perbantahan secara tajam. Dalam perjalanan bangsa Israel di padang gurun, mereka bersungut-sungut kepada para pemimpin rohani (Musa, Harun & Miryam) sekaligus kepada TUHAN. Dua objek persungutan ini tidak terpisahkan (Kel. 16:7-8 “…, karena Ia telah mendengar sungut-sungutmu kepada-Nya. Sebab, apalah kami ini maka kamu bersungut-sungut kepada kami?”…karena TUHAN telah mendengar sungut-sungutmu yang kamu sungut-sungutkan kepada-Nya apalah kami ini? Bukan kepada kami sungut-sungutmu itu, tetapi kepada TUHAN”).
Dalam konteks jemaat Filipi mereka tampaknya belum memiliki pemimpin rohani yang baik sebagai pengganti Paulus. Figur Paulus masih kuat di sana (bdk. 2:12 “…tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar, bukan saja seperti waktu aku masih hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku tidak hadir,…”). Beberapa pemimpin di Filipi mungkin malah terlibat pertikaian (4:2 “Euodia kunasihati dan Sintikhe kunasihati, supaya sehati sepikir dalam Tuhan”).
Situasi di atas jelas tidak mudah untuk dihadapi. Paulus sudah mengajarkan kepada mereka untuk rendah hati dan mencari kepentingan orang lain (2:1-4). Mereka dinasihati untuk menganggap orang lain lebih utama daripada diri sendiri. Menaati nasihat ini saja sudah sangat sukar, apalagi jika melihat tindakan para pemimpin rohani justru bertabrakan dengan nasihat tersebut. Mereka sangat mungkin tergoda untuk bersungut-sungut. Persungutan dengan cepat bisa berubah menjadi perbantahan (dialogismos, 2:14; Rm. 14:1; 1Tim. 2:8).
Yang perlu dicatat, persungutan pada pemimpin rohani bisa berubah arah. Objek persungutan bisa diarahkan pada Allah. Berbagai pikiran bisa muncul sebagai perbantahan kepada Allah: Mengapa Allah tidak memberikan pemimpin yang baik seperti Paulus? Mengapa Allah mengutus Paulus ke tempat lain sementara jemaat Filipi sangat membutuhkan? Mengapa Allah tidak mengubahkan para pemimpin dahulu? Bagaimana jemaat bisa hidup benar kalau pemimpinnya saja masih bergumul dengan persoalan yang sama?
Dari penjelasan di atas kita mendapatkan gambaran umum tentang jemaat Filipi. Mereka adalah jemaat yang taat (2:12). Mereka terlibat aktif dalam pergerakan Injil (1:5). Walaupun demikian, semua itu bisa saja dilakukan tanpa kelapangan hati dan pikiran. Mereka taat tapi sambil bersungut-sungut (tidak ada kelapangan hati). Mereka taat tapi tetap berbantah-bantah (merasa sok pintar dan lebih tahu daripada Tuhan).
Alasan di balik nasihat (ayat 15-16)
Tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan dalam segala hal (2:14) jelas tidak mudah. Natur yang berdosa mencondongkan kita kepada ketidakpuasan dan egoisme. Kita juga mudah menghakimi orang lain. Kita lebih cepat menuntut dari orang lain daripada melakukan tanggung-jawab kita pada mereka.
Tanpa dorongan yang benar dan besar nasihat ini pasti sulit untuk diwujudkan. Karena itu di ayat 15-16 Paulus menerangkan tiga tujuan besar yang seharusnya cukup sebagai dorongan.
Pertama, status kita sebagai anak-anak Allah (ayat 15a). Alkitab secara konsisten mengajarkan bahwa indikatif mendahului imperatif, identitas mendahului aktivitas. Siapa kita (identitas) menentukan apa yang kita lakukan (aktivitas). Dalam bagian ini Paulus menyinggung tentang status kita sebagai anak-anak Allah.
Jika latar belakang nasihat di 2:14 adalah perjalanan Israel di padang gurun, sebutan “anak-anak Allah” di 2:15a sangat mungkin dimaksudkan sebagai kontras terhadap bangsa Israel yang tidak taat (Ul. 32:5 “Berlaku busuk terhadap Dia, mereka yang bukan lagi anak-anak-Nya, yang merupakan noda, suatu angkatan yang bengkok dan belat-belit”). Gereja adalah Israel yang baru, anak-anak Allah yang taat. Sebagai anak, kita percaya pada keputusan dan tindakan Bapa di sorga. Tidak ada alasan untuk membantah Dia. Bapa tahu yang terbaik untuk kita.
Jika kita melakukan hal ini kita akan menjadi anak-anak yang “tiada beraib dan tiada bernoda” (ayat 15a, amemptoi kai akeraioi). Sebutan ini jelas bukan berbicara tentang kesempurnaan. Kesempurnaan bukan hasil usaha kita, tetapi pekerjaan Kristus (Ibr. 10:14). Sebutan ini lebih ke arah kesalehan yang di atas rata-rata (3:6 “tentang kebenaran dalam mentaati hukum Taurat aku tidak bercacat [amemptos]”). Tidak ada celah yang bisa digunakan untuk menyalahkan atau menuduh kita. Kata “tiada bernoda” (akeraios) berhubungan dengan kemurnian dari segala yang jahat (Rm. 16:19 “Tetapi aku ingin supaya kamu bijaksana terhadap apa yang baik, dan bersih [akeraios] terhadap apa yang jahat”). Gabungan dari dua istilah ini merujuk pada integritas internal dan eksternal.
Kedua, kesaksian kita kepada dunia (ayat 15b-16a). Jemaat Filipi sedang ditindas dan dimusuhi oleh lawan mereka (1:28). Paulus menyebut musuh ini dengan ungkapan “angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini” (2:15b). Pemilihan sebutan ini cukup menarik, karena di Ulangan 32:5 sebutan ini justru ditujukan pada bangsa Israel. Berdasarkan hal ini sebagian penafsir menduga yang dimaksud oleh Paulus di 2:15b terutama adalah orang-orang Yahudi yang sedang melawan Injil. Mereka menekan jemaat di Filipi (1:29). Mereka menyusupkan ajaran yang sesat (3:1-3). Di tengah situasi seperti ini jemaat Filipi didorong untuk memberikan kesaksian hidup yang baik.
Terlepas apakah penafsiran ini benar atau tidak, Paulus sedang memikirkan orang-orang tersebut sebagai “dunia” (2:15b “sehingga kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia”). Mereka berada di dalam kegelapan. Mereka memerlukan sinar bintang. Di sinilah jemaat Filipi dipanggil untuk memainkan peranan (bdk. Mat. 5:13-14).
Kesaksian hidup ini diperoleh melalui komitmen terhadap firman hidup (ayat 16a). Berpegang di sini (epechÅ) sebaiknya diterjemahkan “memegang teguh secara terus-menerus” (NASB/NLT). Ada keseriusan dan konsistensi di dalamnya. Jadi, ini bukan sekadar tindakan sporadis.
Ketiga, kemegahan eskhatologis rohaniwan (ayat 16b). Untuk kesekian kalinya Paulus menyisipkan pendekatan personal dalam nasihatnya (2:12, 16b). Langkah ini didorong oleh kedekatannya dengan jemaat Filipi (1:5; 2:25-30; 4:10-18). Paulus sedang mengoptimalkan relasi sebagai salah satu langkah persuasi.
Yang agak mengagetkan mungkin ungkapan Paulus di ayat 16b yang terkesan negatif (“agar aku dapat bermegah”) dan egois (“agar aku dapat bermegah”). Bagaimanapun, kesan ini akan hilang apabila kita memahami makna “bermegah,” terutama dalam konteks kedatangan Yesus Kristus yang kedua kali. Kata “bermegah” bersifat netral, tergantung pada apa yang dimegahkan. Alkitab bahkan memerintahkan kita untuk bermegah, tetapi di dalam Tuhan (Rm. 5:11; 1Kor. 1:31). Jadi, kemegahan Paulus bukan sebuah kesombongan, melainkan sebuah keyakinan terhadap pengharapan di akhir zaman. Bagi seorang yang sangat berharap bahwa “Kristus dengan nyata dimuliakan di dalam tubuhku, baik oleh hidupku, maupun oleh matiku” (1:20b), tidak mungkin dia sedang menyombongkan diri di depan Kristus.
Paulus sedang melakukan apapun yang dia bisa untuk memastikan bahwa dia tidak akan beroleh malu pada saat kedatangan Kristus yang kedua kali (1:20a). Dia ingin agar semua jerih-payahnya dalam pelayanan tidak sia-sia. Salah satu cara yang dia tempuh adalah memaksimalkan relasinya yang baik dengan jemaat Filipi. Soli Deo Gloria.