Eksposisi Amos 3:3-8

Posted on 10/05/2020 | In Teaching | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/images/article/eksposisi-amos-3-3-8.jpg Eksposisi Amos 3:3-8

Banyak orang mengira kesuksesan sebagai tanda perkenanan Tuhan. Celakanya, definisi “kesuksesan” di sini dipahami secara duniawi. Jika semua yang terlihat baik – misalnya kesehatan, penghasilan, keamanan, dan kemakmuran – ada pada diri seseorang, orang itu sedang diberkati oleh Tuhan. Allah menyertai hidupnya.

Dengan konsep semacam ini, orang yang merasa dirinya diperkenan oleh Tuhan cenderung meremehkan kesalahan-kesalahan mereka. Mereka berpikir bahwa Tuhan maklum dengan semuanya itu. Buktinya, Allah tetap memberikat berkat-berkat-Nya.

Benarkah semua kesuksesan itu merupakan tanda perkenanan Tuhan? Benarkah perkenanan itu membuat Tuhan mengesampingkan kesalahan mereka? Khotbah hari ini akan menyediakan jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan ini.

Teks kita hari ini, yaitu Amos 3:3-8, tidak boleh dipisahkan dari bagian sebelumnya (3:1-2). Seperti yang kita sudah pelajari bersama di khotbah sebelumnya, bangsa Israel menganggap sepi ucapan penghukuman yang diberitakan oleh Amos di 2:6-16. Mereka tidak percaya pada berita itu.

Mengapa mereka tidak percaya? Alasan utama adalah keadaan mereka yang sedang baik-baik saja. Di bawah pemerintahan Raja Yerobeam II, bangsa Israel memiliki kekuatan militer yang kuat. Beberapa daerah yang sempat dikuasai oleh musuh berhasil direbut kembali. Secara ekonomi mereka juga berjaya. Banyak orang kaya di Israel. Secara relijius mereka juga masih mempersembahkan kurban dan merayakan ritual-ritual penting. Tuhan tampaknya sedang memberkati mereka. Teguran yang disampaikan oleh Amos di 2:6-16 terlalu dibesar-besarkan. Jika TUHAN tidak berkenan kepada mereka, mengapa mereka dalam keadaan yang nyaman, aman dan baik-baik saja?

Alasan lain adalah posisi mereka sebagai umat Allah. Mereka adalah umat tebusan yang dilepaskan secara ajaib dari tanah Mesir. Mereka dijadikan umat perjanjian. Posisi mereka di antara segala bangsa sangat unik. Tidak ada bangsa lain seperti mereka.

Rasa aman yang palsu seperti itulah yang mendorong mereka untuk mengabaikan dan menentang pemberitaan Amos. Sebagai respons terhadap mereka, Amos mengingatkan bahwa posisi sebagai umat TUHAN bukan jaminan dihindarkan dari hukuman (3:1-2). Dalam perjanjian itu sudah ada aturan: ketidaktaatan akan disikapi TUHAN dengan hukuman. Keadaan bangsa Israel yang terlihat baik-baik saja sebenarnya bukan tanda perkenanan dari Tuhan. Allah tidak berkenan pada pelbagai pelanggaran yang mereka lakukan. Hukuman Allah sudah disiapkan. Mereka perlu mendengarkan dengan kesungguhan. Dalam konteks seperti ini, Amos mengucapkan berita kenabian di 3:3-8.

Melalui teks hari ini kita akan belajar beberapa konsep tentang hukuman Allah. Di dalam hukuman Allah kita menemukan keadilan sekaligus kemurahan-Nya. Keseriusan-Nya dalam menegakkan keadilan sama dengan keseriusan-Nya dalam menegakkan kita di atas kasih karunia-Nya.

 

Kepastian dari hukuman Allah (ayat 3-5)

Bagian ini berisi deretan pertanyaan retoris. Jawaban yang diharapkan sudah jelas: TIDAK. Sesuatu yang sebenarnya tidak perlu dipertanyakan lagi. Dipertanyakan hanya untuk penekanan.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut diambil dari kehidupan sehari-hari, baik dalam relasi antar manusia maupun dunia binatang. Amos memulai dari akibat, lalu ke sebab. Dua orang berjalan bersama-sama (akibat) karena sudah berjanji lebih dahulu (sebab). Singa mengaum (akibat) karena mendapat mangsa (sebab). Burung jatuh ke tanah (akibat) karena masuk perangkap (sebab).

Di ayat 3 Amos menyinggung tentang perjalanan bersama yang dilakukan oleh dua orang. Mereka tidak mungkin berjalan bersama-sama apabila mereka belum berjanji. Kata “berjanji” (LAI:TB, yā’ad) memiliki jangkauan arti yang cukup luas: berjanji (RSV/NASB), setuju (KJV/NIV), atau bertemu (YLT).

Sesuai dengan konteks perjalanan kuno waktu itu, opsi ke-1 bisa langsung disingkirkan. Jaman dulu orang tidak memiliki telepon untuk janji bepergian bersama-sama. Mereka bertemu di tengah jalan atau di tempat perteduhan umum (public shelter). Opsi ke-3 juga kurang tepat dan bermanfaat. Bertemu belum tentu akhirnya berjalan bersama. Dua orang yang bermusuhan, misalnya, tidak akan bepergian bersama-sama. Lagipula, semua perjalanan bersama pasti didahului dengan pertemuan sebelumnya. Ini sudah terlalu jelas, sehingga tidak perlu diucapkan lagi. Opsi ke-2 mungkin paling sesuai dengan konteks kuno.

Dalam perjalanan kuno, memiliki teman merupakan hal yang baik. Berdua lebih baik daripada seorang diri (lihat Pkt. 4:9-12). Mereka bisa saling menjaga dan membantu. Ada banyak dan beragam bahaya  di tengah jalan. Walaupun demikian, mereka perlu memiliki beberapa kesamaan dan persetujuan. Paling tidak, mereka harus memiliki tujuan atau arah yang sama. Mereka saling cocok atau menyukai satu dengan yang lain. Mereka sepakat bahwa bepergian bersama-sama akan membawa keuntungan dan menambah kesenangan.

Ayat 4 berbicara tentang kebiasaan singa. Seekor singa tidak mungkin mengaum sebelum mendapatkan mangsanya. Jikalau dia terlalu cepat mengaum, binatang lain akan tahu dan melarikan diri. Demikian juga dengan anak singa. Dia tidak mungkin mengeluarkan bunyi auman dari sarangnya (lit. “dari tempat persembunyian”) pada saat mengintai seekor mangsa. Kebiasaan singa ini tidak sukar untuk dimengerti. Sangat logis. Sangat alamiah. Semua orang pasti mengetahuinya.

Ayat 5 masih tentang dunia binatang. Orang-orang kuno cukup mahir dalam menangkap burung. Mereka menggunakan beragam jenis perangkap. Tidak mungkin seekor burung tiba-tiba jatuh ke tanah kalau tidak ada apa-apa. Tidak mungkin sebuah perangkap burung tiba-tiba tertutup tanpa ada burung yang masuk ke dalamnya. Perangkap ada memang untuk menangkap burung. Jika ada yang kena perangkap, burung itu pasti jatuh ke tanah atau perangkapnya tertutup.

Inti yang ingin disampaikan melalui tiga metafora tadi sama: kepastian. TUHAN pasti akan menghukum bangsa Israel atas pelanggaran-pelanggaran mereka. Kepastian ini pasti ada penyebabnya. TUHAN tidak mungkin menjatuhkan hukuman tanpa ada pelanggaran. Hukuman Allah lahir dari kekudusan dan keadilan-Nya, yang dipicu oleh pelanggaran manusia.

 

Kemurahan Allah di balik hukuman (ayat 6-8)

Ayat 6 masih berupa pertanyaan retoris. Hanya saja, arah pertanyaan berbeda. Kalau di ayat 3-5 dari akibat ke sebab, di ayat 6 dari sebab ke akibat. Jawaban yang diharapkan juga berbeda, yaitu YA.

Amos secara sengaja mengubah arah ini untuk menekankan kemurahan Allah di balik hukuman yang Dia akan jatuhkan. Bentuk kemurahan Allah tersebut adalah pemberitahuan sebelumnya. Hukuman tidak langsung dijatuhkan. Allah memberikan peringatan dan ancaman lebih dulu. Harapan-Nya adalah supaya bangsa Israel bisa bersiap-siap dan menghindarkan diri dari hukuman melalui pertobatan.

Poin di atas diungkapkan melalui metafora penjaga kota (ayat 6). Para penjaga yang bereada di atas tembok kota bertugas untuk mengawasi pergerakan dari luar. Jika ada musuh yang datang, mereka akan meniup sangkakala sekeras-kerasnya, sehingga para petinggi kota dan penduduk kota dapat menyiapkan diri, entah mereka akan berperan, berdamai, atau melarikan diri. Bunyi sangkakala dalam situasi seperti ini biasanya menimbulkan kepanikan dan ketakutan. Bencana segera datang. Malapetaka akan menghampiri kita.

Namun, Amos tidak hanya membahas tentang sembarang malapetaka. Di balik semua bencana yang datang ada Allah. Kehancuran adalah bentuk hukuman. Bukan sekadar kecelakaan. Bukan sekadar kesialan. Bukan sekadar kekalahan perang. Bukan sekadar perubahan peta militer internasional. Allah memang mendatangkan kekalahan perang sebagai hukuman (2:13-16). Dia sudah menyiapkan bangsa Asyur sebagai alat hukuman atas bangsa Israel.

Puji Tuhan! Hukuman Allah tidak datang secara tiba-tiba. Allah memberitahukan rencana-Nya pada para nabi dan mengutus mereka untuk memberi peringatan kepada umat-Nya. Para nabi seperti para penjaga kota. Mereka bertugas untuk memberikan peringatan supaya penduduk kota tidak terkena malapetaka.

Peringatan ini adalah kemurahan Allah. Dia tidak wajib menginformasikan apapun kepada nabi-nabi-Nya. Dia berhak merahasiakan semua rencana-Nya. Kenyataannya, Dia memilih untuk mengungkapkannya. Bukan hanya itu, Dia juga memerintahkan nabi-Nya untuk memberi teguran dan peringatan kepada umat-Nya.

Ayat 8 memberi penjelasan lebih lanjut untuk kemurahan Allah. Peringatan TUHAN digambarkan seperti auman singa (ayat 8a). Hal ini jelas sebagai kontras terhadap singa dan anak singa di ayat 4. Singa tidak mungkin memberi aba-aba atau isyarat kepada mangsanya. Bahaya datang begitu tiba-tiba. Tidak demikian dengan TUHAN. Dia mengaum terlebih dahulu sebelum menerkam umat-Nya. Auman ini untuk kebaikan umat-Nya supaya mereka waspada dan menjauhi hukuman melalui pertobatan. TUHAN memberi kesempatan kepada mereka untuk bertobat.

Bagian terakhir dari ayat 8 menunjukkan bahwa para nabi tidak diberi pilihan. Sama seperti auman singa pasti menimbulkan ketakutan (ayat 8a), demikian pula kalau TUHAN sudah berfirman kepada para nabi: mereka pasti akan bernubuat (ayat 8b). Bernubuat menjadi sebuah keharusan bagi mereka. Para nabi tidak akan berani menolak atau melanggar perintah ini. Jadi, TUHAN bukan hanya memberitahukan rencana penghukuman-Nya, tetapi Dia juga mengutus para nabi untuk menyampaikannya kepada umat-Nya. Dia bukan hanya mengutus, tetapi memerintahkan para nabi untuk menyampaikan. Semua untuk kebaikan umat-Nya. Soli Deo Gloria.

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community