
Tidak ada yang lebih membahayakan daripada tempat perlindungan yang semu. Ada tempatnya untuk bersembunyi dari bahaya, tetapi tempat itu tidak menyediakan perlindungan apa-apa dari bahaya. Yang disediakan hanyalah rasa aman yang palsu. Lebih baik seseorang tidak memiliki tempat persembunyian sehingga dia sadar bahwa dia berada dalam bahaya dan terus siaga. Dia akan lebih waspada terhadap bahaya yang mungkin menimpa.
Keadaan bangsa Israel dulu seperti seorang yang merasa aman di dalam tempat perlindungan yang semu. Mereka merasa aman-aman saja. Mereka tidak menyadari bahwa mereka sangat dekat dengan bahaya.
Apa saja yang dijadikan tempat berlindung yang palsu oleh bangsa Israel? Apa yang dilakukan TUHAN terhadap mereka?
TUHAN mengamati apa yang terjadi. Dia melakukan intervensi. TUHAN siap menghancurkan perlindungan yang palsu dalam hidup kita supaya kita menyadari keadaan kita yang sebenarnya, dan akhirnya akan mencari Dia.
Kata “dengarlah” dan “peringatkanlah” di ayat 13 tidak ditujukan pada Amos. Bentuk orang ke-2 jamak pada dua kata perintah itu menyiratkan bahwa TUHAN sedang mengarahkan kalimat ini kepada bangsa Asyur dan Mesir di ayat 9.
Kata kerja “peringatkan” (LAI:TB, ‘ûd) mengandung arti “bersaksi” (semua versi Inggris). Kata ini menunjukkan bahwa konteks pembicaraan di sini masih legal (seolah-olah ada pengadilan ilahi). TUHAN memanggil bangsa-bangsa lain untuk menjadi juri atas umat-Nya sendiri. Ini menyiratkan betapa seriusnya pelanggaran yang dilakukan oleh bangsa Israel.
Sebagai Hakim, TUHAN akhirnya menegaskan keputusan-Nya. Dia akan menghukum bangsa Israel. Hukuman yang diberikan dimaksudkan untuk menghancurkan rasa aman yang palsu dalam diri bangsa Israel. Mereka merasa baik-baik dan aman-aman saja. Mereka beranggapan bahwa selama ibadah terus berlangsung dan kenyamanan hidup juga lancar berarti tidak ada sesuatu yang serius. Tidak ada yang perlu dirisaukan. Dua tempat perlindungan yang palsu ini – ritual rutin dan kemewahan – segera akan dihancurkan.
Semangat religius tanpa ketaatan (ayat 14)
Hukuman ilahi di bagian ini ditujukan pada mezbah-mezbah di Betel. Sejak kematian Salomo kerajaannya terpecah menjadi dua: kerajaan selatan (Yehuda) dan utara (Israel). Yang di selatan tetap menjadikan bait Allah di Yerusalem sebagai pusat ibadah. Yang di utara memilih Betel (1Raj. 12:29, 33).
Pemilihan Betel bukan tanpa alasan. Beberapa peristiwa penting dalam sejarah Israel terjadi di sana, misalnya Abraham mendirikan mezbah pertama untuk TUHAN di dekat Betel. Yang paling penting, Yakub pernah berjumpa dengan Allah di Betel (Kej. 28:19). Nama “Betel” sendiri berarti “rumah Allah”. Semua ini menjadikan Betel sebagai salah satu opsi untuk lokasi ibadah yang cukup wajar. Selain Betel, Yerobeam juga mendirikan mezbah di tempat-tempat lain. Salah satunya adalah di kota Dan (1Raj. 12:29).
Ibadah di Betel dimaksudkan sebagai tandingan terhadap ibadah di Yerusalem. Faktor pemicu utama lebih ke arah politik. Yerobeam tahu betapa pentingnya ibadah dalam sejarah bangsa Israel. Pada saat kerajaan terpecah menjadi dua, bait Allah di Yerusalem otomatis menjadi wilayah kekuasaan bangsa Yehuda. Tidak mungkin bagi penduduk di utara untuk berkunjung di sana. Jika itu tetap dilakukan, ada banyak dampak kontraproduktif yang bisa terjadi atas kerajaan di utara. Jadi, pendirian tempat ibadah di Betel (dan beberapa kota lain) lebih merupakan sebuah strategi politis daripada teologis.
Walaupun beberapa elemen ibadah di Yerusalem dipertahankan di Betel – misalnya penentuan hari ibadah, bentuk mezbah, dsb. – yang paling penting justru tidak dipertahankan, yaitu ibadah yang khusus bagi TUHAN dan yang sesuai dengan perintah TUHAN. Ketentuan-ketentuan yang diberikan oleh Musa tentang ibadah dilanggar (1Raj. 12:29-33). Penyembahan berhala dilakukan di berbagai mezbah yang ada.
Situasi ini tidak berarti bahwa ibadah kepada TUHAN dihentikan. Bangsa Israel tetap menjalankan ritual religius mereka kepada TUHAN (Am. 5:21-27). Kurban bakaran tetap dipersembahkan. Berbagai hari raya diperingati dengan keramaian dan kegembiraan. Persoalannya, mereka juga tetap menyembah berhala-berhala dan menjalankan kehidupan yang berdosa. TUHAN tidak dijadikan sebagai objek ibadah satu-satunya. Mereka tidak menjadikan seluruh kehidupan sebagai ibadah kepada TUHAN. Mereka beranggapan bahwa ibadah ritual terpisah dari kehidupan. Ada dikotomi palsu yang didirikan.
Yang lebih parah, bangsa Israel merasa telah menjalankan kewajiban mereka kepada TUHAN. Mereka menyamakan TUHAN dengan dewa-dewa lain yang hanya membutuhkan sesajen dan kurban. Tidak ada situasi yang lebih parah daripada orang yang bersalah tetapi tidak merasa hal itu sebagai masalah. Itulah yang terjadi dengan bangsa Israel.
TUHAN tentu saja tidak tinggal diam. Tempat perlindungan yang palsu akan digoncang dan dihancurkan. Tujuannya adalah untuk membangkitkan kesadaran dan kewaspadaan. Kesadaran bahwa tempat perlindungan tidak dapat diandalkan. Kewaspadaan bahwa bahaya bisa sewaktu-waktu datang. Tujuan yang ultimat di balik penghancuran itu adalah untuk menemukan TUHAN sebagai satu-satunya tempat perlindungan.
Kenyamanan hidup di atas penindasan (ayat 15)
Kemewahan bangsa Israel di ayat ini ditunjukkan dengan rumah-rumah yang banyak dan megah. Pada zaman itu cukup umum bagi orang-orang kaya untuk memiliki beberapa rumah sesuai dengan perubahan musim dan lokasi rumah. Ada rumah untuk musim dingin, ada pula untuk musim panas.
Bukan hanya jumlahnya, tetapi juga kemewahannya. LAI:TB menggunakan kata “gading” (shÄ“n, juga semua versi Inggris). Kesan pertama yang ditangkap dari pemilihan kata ini bangunan yang dibuat dengan bahan gading gajah. Kesan ini ternyata perlu dipikirkan ulang. Dalam Septuaginta (LXX) kata yang digunakan merujuk pada bangunan dengan kubah yang tinggi (ton oikon ton peripteron). Berbagai penemuan arkheologis mengungkapkan bahwa istilah “rumah gading” lebih merujuk pada struktur atau desain bangunan, bukan bahannya (bdk. “leher bagaikan menara gading,” Kid. 7:4). Kesan utama yang ditekankan melalui istilah ini adalah kemegahannya. Bagaimanapun juga, bahan dari gading juga tidak bisa sepenuhnya dibuang. Beberapa bagian mebel atau bangunan mungkin saja memang dibuat dari bahan gading (bdk. 1Raj. 10:22; Yeh. 27:6).
Terlepas dari bagaimana seseorang menafsirkan istilah ini, rumah gading memang menjadi simbol kemewahan. Raja Salomo memiliki tahta besar dari gading yang disalut dengan emas (1Raj. 10:18). Raja Ahab mendirikan istana gading (1Raj. 22:39). Kata “gading” sering dikaitkan dengan barang-barang mewah lainnya (Mzm. 45:9; Kid. 5:14).
Apa yang dimaksud dengan “rumah gedang” (LAI:TB, rab)? Kata “gedang” di sini berarti “gadang,” yaitu besar (mayoritas versi Inggris). Jika kata “gading” dan “gadang” digabungkan, kita akan mendapatkan kesan kemewahan yang luar biasa.
Amos 3:15 tentu saja tidak melarang seseorang menjadi kaya. Kekayaan bersifat netral. Semua tergantung dari bagaimana seseorang menjadi kaya dan bagaimana seseorang menggunakan kekayaannya.
Orang-orang kaya yang disinggung oleh Amos meraup kekayaan mereka secara tidak halal. Sebagaimana yang kita sudah pelajari di khotbah-khotbah sebelumnya, mereka mengeksploitasi orang-orang miskin. Mereka mengumbar kekayaan tanpa mempedulikan orang-orang lain yang berkekurangan. Pendeknya, mereka hidup dalam kemewahan dan tidak memiliki kepekaan sosial.
Apa yang mereka banggakan akan diambil oleh TUHAN. Siapa tahu dengan kehilangan apa yang dibanggakan mereka akan menemukan TUHAN. Kehilangan kita atas sesuatu seringkali menjadi penemuan terhadap sesuatu yang lain. Biasanya yang lebih berarti.
Apakah Anda sedang bersembunyi di sebuah tempat perlindungan yang semu? Apa Anda merasa hidupmu baik-baik saja padahal Anda dalam bahaya? Mari akui kelemahan dan ketidakberdayaan kita. Mari datang kepada Kristus sebagai satu-satu harta yang berharga. Soli Deo Gloria.