Berita penghukuman dari Allah tidak selalu disikapi dengan cara yang tepat. Sebagian orang cenderung memandang remeh. Sebagian lagi menganggap hal itu tidak mungkin terjadi. Bahkan ada yang menilai itu sebagai kesalahan: Allah tidak sepatutnya menghukum. Namun, ada juga yang menjadi takut secara berlebihan. Allah dipandang sebagai monster yang haus darah dan dipenuhi harus dipenuhi keinginan-Nya.
Dalam khotbah hari ini kita akan belajar bahwa hukuman dan anugerah bukan musuh bebuyutan. Hukuman ilahi untuk umat-Nya (biasa disebut “disiplin”) merupakan wujud kasih karunia dan tidak bisa dipisahkan dari kasih-Nya kepada kita. Tanpa menyadari kebenaran ini, kita akan menyikapi hukuman dengan cara yang keliru.
Respons yang keliru terhadap berita penghukuman
Hampir semua penafsir Alkitab sepakat bahwa pasal 3-6 (bahkan mungkin sampai 9:10) merupakan penegasan dari pihak Amos bahwa hukuman yang sudah diberitakan di 2:6-16 pasti akan terjadi. Berita yang sama disampaikan ulang berkali-kali, bahkan secara lebih tegas dan detail. Beberapa diucapkan oleh Amos dengan penegasan. Sebagai contoh, frasa “Dengarlah firman ini, yang diucapkan oleh TUHAN tentang kamu” (3:1) menyiratkan ada berita penting yang akan disampaikan. Sejak 2:6 Amos sudah menujukan perkataannya kepada bangsa Israel. Untuk apa dia menggunakan frasa itu di 3:1 kecuali dia ingin mendapatkan perhatian khusus dari bangsa Israel?
Hal penting yang kita perlu ketahui adalah alasan di balik penegasan penghukuman ini. Mengapa Amos perlu menegaskan lagi penghukuman tersebut? Para penafsir meyakini bahwa hal itu berkaitan dengan sikap bangsa Israel yang keliru terhadap berita penghukuman itu. Ancaman hukuman ini dianggap remeh dan tidak mungkin terjadi.
Lantas apa yang membuat mereka berpikir demikian? Ada banyak dugaan. Semuanya mungkin sama-sama benar dan saling berhubungan.
Mereka mungkin berfokus pada kemakmuran yang sedang dinikmati pada zaman Yerobeam II. Militer kuat. Hasil ladang baik. Semua ini dipandang sebagai berkat TUHAN. Dari persepktif Israel yang memegang teologi retribusi sempit (taat – berkat, tidak taat – kutuk), keadaan nyaman ini dinilai sebagai bukti bahwa TUHAN berkenan kepada mereka. Jika benar demikian, tidak mungkin TUHAN akan menghukum mereka. Kira-kira begitulah cara berpikir mereka.
Dugaan lain berkaitan dengan status Israel sebagai umat perjanjian. Sebagai umat milik Allah, bangsa Israel memandang diri mereka unik, berbeda dengan bangsa-bangsa lain. TUHAN akan memerlakukan mereka secara berbeda dengan bangsa lain. Dengan pemikiran seperti ini, mereka pasti sukar menerima berita penghukuman di 2:6-16. Di sana Amos tidak membuat perbedaan apapun antara bangsa-bangsa lain dan umat perjanjian. Semua berdosa, semua akan dihukum. Jika semua diperlakukan sama, lalu untuk apa kekhususan dan kelebihan sebagai umat perjanjian?
Bangsa Israel juga mungkin masih memandang diri mereka sebagai umat perjanjian yang taat. Mereka tidak meninggalkan ibadah kepada TUHAN. Berbagai hari raya dan kurban di Betel dan Dan (sebagai pusat penyembahan di kerajaan Israel) mereka tetap lakukan. Mereka bahkan tidak lupa memberi persembahan binatang yang tambun (5:21-27). Jika ibadah rutin sudah dan terus-menerus dilakukan, mengapa TUHAN masih marah? Bukankah kurban-kurban tetap dipersembahan juga? Mengapa TUHAN mau menghukum mereka?
Dari semua penjelasan di atas terlihat bahwa teologi turut membentuk sikap. Teologi yang benar seyogyanya menghasilkan sikap yang benar. Begitu pula sebaliknya. Bangsa Israel memahami relasi mereka dengan Allah secara sempit. Status sebagai umat perjanjian dipahami secara picik. Yang penting ibadah dan kurban diberikan, apapun boleh dilakukan. Bagi mereka, tanda perjanjian yang terpenting adalah persembahan, bukan ketaatan. Mereka lupa bahwa kesesuaian hidup dengan kehendak Allah yang dinyatakan di dalam Hukum Taurat adalah jauh lebih penting. Apa yang mereka lakukan di 2:6-16 merupakan pelanggaran serius terhadap hal ini.
Respons Allah terhadap bangsa Israel
Allah tidak tinggal diam ketika melihat sikap bangsa Israel terhadap berita penghukuman. Dia ingin berita itu diresponi secara benar. Apa yang Allah lakukan untuk mencapai ini?
Pertama, Allah memberikan konfirmasi. Umat Israel memang umat perjanjian. Untuk meneguhkan hal ini TUHAN mengingatkan mereka pada dua hal penting yang membuat mereka sebagai umat perjanjian: kelepasan dari perbudakan Mesir (3:1) dan pemilihan Allah atas mereka (3:2).
Sebagaimana kita ketahui, peristiwa keluarnya bangsa Israel dari negeri Mesir dianggap sebagai asal-muasal Israel sebagai sebuah bangsa. Bahkan kalender Israel didasarkan pada peristiwa ini. Lebih jauh, kelepasan tersebut dilakukan oleh Allah karena Dia mengingat perjanjian-Nya dengan para leluhur Israel (Kel. 2:24-25). Sukar memisahkan antara kelepasan dari Mesir dan status bangsa Israel sebagai umat perjanjian.
Bukan hanya kelepasan dari Mesir, tetapi juga pilihan TUHAN atas bangsa Israel. TUHAN berkata: “Hanya kamu yang Kukenal dari segala kaum di muka bumi ini” (3:2a). Pernyataan ini jelas menyiratkan bahwa pengenalan yang dimaksud bukan hanya sekadar intelektual. Bukan hanya pengetahuan dari sisi fakta. TUHAN tentu saja mengetahui semua kaum di muka bumi. Maksud “pengetahuan” di sini lebih ke arah pengenalan secara personal (LAI:TB “Kukenal”). Ini merujuk pada pilihan Allah. Di antara segala bangsa yang ada, TUHAN secara khusus memilih Israel sebagai umat-Nya.
Kedua, Allah memberikan kritikan. Apakah konfirmasi ilahi tentang status Israel sebagai umat Allah berarti kelepasan dari murka Allah? Sama sekali tidak! Amos justru menutup ayat 2 dengan: “sebab itu Aku akan menghukum kamu karena segala kesalahanmu”. Kata sambung “sebab itu” menunjukkan kaitan sebab-akibat dengan bagian sebelumnya. Status sebagai umat Allah (3:1-2a) justru membuat TUHAN harus menghukum mereka atas segala pelanggaran yang dilakukan.
Jika bangsa Israel benar-benar memahami konsep perjanjian, mereka pasti akan mengetahui bahwa inti dari perjanjian adalah ketaatan (sesuai Hukum Taurat), bukan ibadah dan persembahan (hanya saah satu bagian dari ketaatan itu). Ulangan 28 memaparkan dua opsi: ketaatan membawa berkat (28:1-15) dan ketidaktaatan membawa kutukan (28:15-68). Sebagai salah satu pihak yang mengikatkan diri ke dalam sebuah perjanjian, bangsa Israel memiliki tanggung-jawab untuk melakukan tugas mereka kepada TUHAN, yaitu menaati Dia. Kegagalan dalam melakukan ini akan mendatangkan hukuman. Jika tidak demikian, Allah justru akan melanggar perjanjian-Nya. Dia sudah mengatur sebelumnya di dalam perjanjian itu bahwa ketidaktaatan akan menghasilkan hukuman. Dalam kenyataannya, bangsa Israel tidak taat (Am. 2:6-16). Sebagai pihak yang tetap setia pada perjanjian berarti TUHAN perlu dan harus menghukum bangsa Israel agar perjanjian itu ditegakkan.
Dari sini kita juga tahu bahwa kemakmuran bangsa Israel pada zaman Yerobeam II sebenarnya tidak bersifat permanen. Itu bukan berkat TUHAN atau tanda perkenanan Allah atas apapun yang mereka lakukan. Apa yang mereka lakukan tetap merupakan pelanggaran. TUHAN akan segera mengambil semua kemakmuran itu dari tangan mereka.
Apakah ini berarti bahwa ketaatan kepada TUHAN boleh dimunculkan melalui ancaman dan ketakutan? Tidak juga. Dorongan utama dalam ketaatan adalah kasih. Kasih TUHAN kepada kita, yang pada akhirnya akan memunculkan kasih kita kepada-Nya. Itulah yang sedang diajarkan oleh Amos di sini.
Kelepasan dari Mesir (ayat 1) bukan upah menjadi umat perjanjian. Bukan iming-iming ketaatan. Sebaliknya, peristiwa ini merupakan landasan perjanjian. Sebagai contoh, sebelum TUHAN memberitakan Sepuluh Perintah, Dia memulai dengan perkataan: “Akulah TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan” (Kel. 20:2). Posisi seperti ini mengajarkan bahwa kasih karunia Allah mendahului ketaatan kita kepada-Nya. Kasih adalah dasar ketaatan (bdk. Mat. 22:37-40).
Pilihan Allah atas bangsa Israel (ayat 2) juga merupakan anugerah. Pilihan ini mendahului terbentuknya Israel sebagai suatu bangsa. Di antara semua bangsa di muka bumi ini TUHAN memutuskan untuk memilih Israel. Apakah itu karena bangsa ini besar dan hebat? Sama sekali tidak! Justru sebaliknya. Pilihan Allah semata-mata karena kasih Allah kepada mereka dan kesetiaan-Nya terhadap sumpah yang Dia ucapkan pada para leluhur mereka (Ul. 7:6-8).
Jadi, kekuatan yang menggerakkan ketaatan kepada Allah seharusnya bukan ketakutan terhadap hukuman. Allah kita bukan dewa-dewa yang suka mengancam jika keinginan-Nya tidak dipenuhi. Dia justru sangat mengasihi kita. Anugerah demi anugerah sudah dicurahkan bagi kita. Anugerah-Nya mendahului ketaatan kita kepada-Nya. Soli Deo Gloria.