Suatu dosa kadangkala hanyalah sebuah gejala. Ada persoalan lain yang lebih serius sebagai pemicunya. Kecuali akar persoalan tersebut diungkapkan dan diselesaikan, berbagai pelanggaran akan terus bermunculan.
Hal yang sama terjadi pada bangsa Israel. Jenis pelanggaran mereka begitu beragam (2:6-8). Beberapa bahkan terkesan keterlaluan. Ternyata, semua ini hanya di permukaan. TUHAN melihat jauh lebih ke dalam; pada akar persoalan.
Apakah yang menyebabkan bangsa Israel terjebak pada pelanggaran-pelanggaran yang serius seperti itu? Amos menyebutkan dua alasan.
Melupakan kebaikan Allah (ayat 9-10)
Dalam teks Ibrani dua ayat ini dimulai dengan pemunculan kata ganti “Aku” sebanyak dua kali. Pengulangan ini menyiratkan penegasan. Allah sedang menunjukkan bahwa Dia sendiri yang melakukan kebaikan di ayat 9-10. Jika Allah sudah sedemikian baik kepada bangsa Israel, mengapa mereka justru secara sengaja melanggar kekudusan nama TUHAN (2:7)? Perbuatan mereka benar-benar keterlaluan.
Dengan mengingatkan bangsa Israel tentang kebaikan TUHAN di masa lalu Amos sedang mengajarkan bahwa kebaikan Allah mendahului ketaatan manusia. Jika ketaatan kita tidak dijangkarkan pada anugerah-Nya semua itu menjadi tidak bermakna. Ketaatan bukan keterpaksaan. Bukan pula didorong oleh ketakutan terhadap hukuman. Ketaatan seharusnya merupakan wujud ucapan syukur kita terhadap semua kebaikan Tuhan.
Kebaikan yang disorot di bagian ini lebih diarahkan pada penaklukan tanah perjanjian (awal ayat 9 dan akhir ayat 10). TUHAN telah menyerahkan bangsa Amori – sebagai perwakilan utama penduduk Kanaan - ke dalam tangan Israel. Penaklukan ini jelas melibatkan campur tangan ilahi. Penduduk Kanaan sangat tinggi dan kuat, yang digambarkan seperti pohon aras dan tarbantin. Rujukan ini sangat mungkin berkaitan dengan laporan para mata-mata Israel yang menggambarkan penduduk Kanaan seperti raksasa dan mereka sendiri seperti belalang yang kecil dan lemah (Bil. 13:31-33). Walaupun kekuatan mereka sangat tidak berimbang toh akhirnya TUHAN juga yang menganugerahkan kemenangan.
Kemenangan yang diberikan bukan kemenangan yang biasa. Bukan hanya kenenangan dalam satu atau dua pertempuran. Kemenangan ini bersifat total. Hal ini diungkapkan melalui frasa “Aku telah memunahkan buahnya dari atas dan akarnya dari bawah” (2:9b).
Jauh sebelum mengalahkan orang-orang Amori dan menduduki tanah Kanaan, bangsa Israel lebih dahulu dibebaskan dari perbudakan di Mesir (Kel. 13-14). Tangan TUHAN yang kuat dinyatakan atas bangsa Mesir. Kekuasaan Mesir yang sangat besar dan tersohor tidak berarti sama sekali di hadapan TUHAN, Allah Israel.
Bangsa Israel juga dipimpin selama 40 tahun di padang gurun (Ul. 8:1-5). Berbagai perbuatan ajaib dilakukan oleh TUHAN selama perjalanan itu: manna dari surga, daging burung puyuh, bukit batu mengeluarkan air, air pahit menjadi manis, dsb. Walaupun perjalanan tersebut tidak selalu menyenangkan, namun pertolongan TUHAN selalu dinyatakan (Ul. 2:7).
Yang diharapkan TUHAN dari semua ini tentu saja adalah ucapan syukur yang diwujudkan melalui ketaatan. TUHAN sudah menjadikan bangsa Israel sebagai umat pilihan dan umat kesayangan. Sudah sepantasnya apabila mereka juga memerlakukan TUHAN sebagai Allah mereka. Sayangnya, respons seperti ini tidak ditunjukkan oleh bangsa Israel.
Mengapa semua ini bisa terjadi? Banyak kemungkinan. Salah satunya adalah jarak waktu yang lama. Pengalaman ajaib tersebut terjadi ratusan tahun sebelumnya. Belasan generasi sesudahnya belum tentu masih mengingatnya. Beberapa generasi mungkin sudah menganggap cerita itu basi dan tidak memiliki relevansi dengan kehidupan mereka terkini.
Situasi seperti ini akan terjadi apabila sebuah komunitas mengabaikan kekuatan sebuah kisah. Pengalaman-pengalaman yang besar bersama TUHAN perlu terus-menerus didengungkan. Pengalaman bersama seperti ini mempunyai kekuatan yang memersatukan. Bahkan identitas suatu komunitas seringkali ditentukan oleh pengalaman bersama tersebut.
Kemungkinan lain adalah kenyamanan hidup. Pada waktu Amos melayani mereka, bangsa Israel berada dalam kondisi yang cukup baik. Mereka menikmati kebebasan dan kemakmuran di bawah pemerintahan Yerobeam II (2Raj. 14:25, 27-28; Hos. 2:10-15). Dalam kondisi seperti ini, mereka mungkin merasa tidak perlu untuk mengenang pergumulan dan kejayaan masa lalu. Toh tanpa semuanya itu mereka masih bisa memiliki kehidupan yang menyenangkan.
Zona nyaman memang seringkali menjadi zona yang membahayakan. Banyak orang menjadi terlena. Kenyamaman adalah musuh yang seharusnya diperangi, bukan dinikmati. Dalam zona nyaman, seseorang mudah melupakan TUHAN. Mereka merasa bisa mengurus semua kebutuhan mereka.
Menolak pimpinan TUHAN (ayat 11-12)
TUHAN tidak hanya menyediakan tanah perjanjian yang subur untuk didiami. Dia juga menolong bangsa Israel untuk tetap setia terhadap perjanjian. Untuk itu mereka membutuhkan para pemimpin rohani.
Ada banyak kategori pemimpin rohani yang TUHAN sudah berikan. Dalam bagian ini Amos hanya menyebutkan dua kelompok, yaitu para nabi dan para nazir. Mereka dibangkitkan TUHAN bahkan dari bangsa Israel sendiri (“anak-anakmu” dan “taruna-tarunamu”).
Tidak seperti kasus para Lewi dan imam, menjadi nabi dan nazir bukan ditentukan oleh faktor keturunan. Tugas ini merupakan panggilan Allah. TUHANlah yang membangkitkan mereka (2:11). Penekanan pada kedaulatan dan kebaikan Allah lebih kentara dalam kasus para nabi dan para nazir.
Banyak nabi sudah dikirim sebagai panutan dan pimpinan bagi bangsa Israel. Ada Samuel, Nathan, Gad, Ahijah, Elia, Elisa, dst. Daftar ini masih belum termasuk sekian bnayak rombongan nabi yang namanya tidak pernah disebutkan di dalam Alkitab (1Raj. 20:35, 41; 2Raj. 2-9). Pendeknya, dari sisi jumlah nabi bangsa Israel tampaknya tidak pernah berkekurangan.
Walaupun demikian, para nabi itu seringkali mendapatkan penolakan. Mereka bahkan dilarang untuk bernubuat. Amos mungkin memikirkan begitu banyak kisah kelam yang dialami oleh nabi-nabi Allah. Izebel dengan kejam membunuh banyak nabi Allah (1Raj. 18:4, 19:2, 10). Raja Ahab mencoba membungkam nabi Mikha bin Imlah (2Raj. 22:26-27). Yoram berusaha untuk membunuh Elisa (2Raj. 6:31). Amos sendiri juga nanti mengalami penolakan serupa (7:10-17).
Nasib kelam juga dihadapi oleh para nazir Allah. Beberapa nazir telah diberikan, misalnya Samson (Hak. 13) dan Samuel (1Sam. 1). Sebagai nazir Allah mereka diwajibkan menganut gaya hidup tertentu yang lebih ketat daripada orang lain, misalnya mereka tidak boleh meminum anggur, menyentuh mayat, mencukur rambut, dsb (Bil. 6:1-21). Semua ini merupakan wujud dedikasi mereka kepada TUHAN dan komitmen mereka pada panggilan.
Memiliki para nazir yang memimpin mereka pada kebenaran seharusnya merupakan keuntungan. Posisi mereka merupakan kebanggaan bagi suatu bangsa. Sikap Israel ternyata tidak seperti yang diharapkan. Mereka memberi orangnazir minum anggur (ayat 12). Dalam teks Ibrani yang dilakukan bukan sekadar memberikan anggur, tetapi membuat mereka minum anggur (NASB/NIV “you made the Nazirites drink wine”). Ada unsur paksaan dalam tindakan mereka. Bukan sekadar tawaran.
Paksaan di atas menyiratkan bahwa mereka bukan saja tidak menerima kehadiran para nazir, tetapi juga memiliki kuasa atas mereka. Sikap mereka tidak netral. Bukan sekadar mengabaikan. Mereka menyalahgunakan kuasa mereka.
Mungkinkah sikap negatif ini bukan sekadar penolakan tetapi penghinaan terhadap kenaziran? Mungkinkah mereka melakukannya karena merasa diri sudah nyaman dan tidak membutuhkan TUHAN? Mungkinkah mereka menganggap semua warisan rohani ini sebagai barang basi yang tidak memiliki fungsi? Bisa jadi! Teks tidak memberikan keterangan yang pasti. Apapun itu, yang mereka lakukan menyiratkan hati mereka yang tidak mau bersyukur.
Bagaimana dengan kita? Apakah ketaatan kita kepada TUHAN didorong oleh kesadaran kita terhadap anugerah-Nya? Apakah kita sudah memerhatikan teguran dan pimpinan Allah melalui para hamba-Nya? Marilah memeriksa hati kita. Soli Deo Gloria.