Eksposisi 1 Korintus 15:16-19

Posted on 25/06/2017 | In Teaching | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/images/article/Eksposisi-1-Korintus-15-16-19.jpg Eksposisi 1 Korintus 15:16-19

Sebagaimana sudah diterangkan dalam khotbah sebelumnya, teks hari ini sejajar dengan ayat 13-15. Sama-sama bersifat pengandaian negatif (jika Kristus tidak dibangkitkan). Sama-sama diikuti dengan beragam konsekuensi negatif seandainya pengandaian itu benar (dalam kenyataannya, apa yang diandaikan bukanlah kenyataan yang sesungguhnya).

Melalui pengandaian negatif ini Paulus ingin memperingatkan jemaat Korintus tentang konsekuensi serius dari penolakan mereka terhadap kebangkitan orang mati (15:12). Jika tidak ada kebangkitan orang mati, maka Kristus juga tidak dibangkitkan (15:13, 16). Jika ini yang terjadi, seluruh pondasi dan bangunan kekristenan akan runtuh. Seluruh kehidupan Kristiani akan kehilangan nilai, makna, dan tujuan.

Hari ini kita akan melibat beberapa konsekuensi tambahan apabila Kristus tidak dibangkitkan dari antara orang-orang mati. Betapa mengerikan konsekuensi yang ada!

Iman kita menjadi kosong (ayat 17a)

Ungkapan “sia-sialah kepercayaan kamu” sudah muncul sebelumnya di ayat 14b. Namun, Paulus tampaknya memikirkan poin yang agak berbeda di ayat 17a. Kata “sia-sia” (mataios) yang digunakan di sini berbeda dengan yang ada di ayat 14b (kenos).

Secara umum arti kata mataios dan kenos agak tumpang-tindih. Keduanya sama-sama bisa berarti “kosong”, “sia-sia” atau “tidak berguna”. Pertimbangan konteks akan menolong kita untuk mengetahui arti mana yang sedang dimaksud oleh seorang penulis di bagian itu.

Beberapa pertimbangan berikut ini mendorong kita untuk memahami kenos dan mataios secara berbeda: (1) dua kata tersebut muncul di bagian yang berbeda (ayat 12-15 dan ayat 16-19); (2) dalam rangkaian konsekuensi negatif di ayat 12-19 Paulus tidak pernah mengulang secara persis poin yang sudah disebutkan; (3) jika Paulus tidak bermaksud membedakan keduanya, mengapa dia tidak menggunakan kata yang sama saja?

Walaupun kita sudah mengetahui bahwa kata kenos dan mataios seharusnya dibedakan artinya, tetapi mengetahui perbedaan yang dimaksud bukanlah tugas yang mudah. Sesuai dengan konteks yang ada, kita sebaiknya menerjemahkan kenos dengan “tidak berdampak” (lihat khotbah sebelumnya dan ayat 10), sedangkan mataios dengan “kosong”. Maksudnya, tidak ada isi atau dasar sama sekali. Dalam ungkapan lain, apa yang terlihat tidak seperti yang sebenarnya ada. Yang di luar beda dengan yang di dalam.

Ada beberapa alasan yang mendukung arti di atas. Kata mataios di 1 Korintus hanya muncul dua kali. Pemunculannya di 3:20 ditujukan untuk orang-orang dunia yang merasa sok berhikmat, namun ternyata tidak demikian. Hikmat mereka ternyata kosong, tidak seperti sesumbar mereka. Di samping itu, arti seperti ini juga sesuai dengan konteks 15:12-19. Tidak peduli seberapa yakin perasaan kita terhadap apa yang kita imani, namun jika iman itu hanyalah iman yang mataios (kosong, tidak berdasar), iman itu tidak akan membawa kelepasan dari dosa (ayat 17b), kebangkitan (ayat 18) maupun pengharapan (ayat 19).

Kita masih hidup di dalam dosa-dosa (ayat 17b)

Poin ini merupakan konsekuensi negatif paling serius dan mendasar jika Kristus tidak dibangkitkan. Dosa adalah persoalan terbesar umat manusia. Segala kerusakan, kejahatan, dan penderitaan dalam dunia berasal dari dosa. Menyelesaikan persoalan dosa bukan sekadar menyelesaikan sebuah persoalan, melainkan semua persoalan. Hal ini hanya dimungkinkan melalui kebangkitan Kristus.

Sekilas pernyataan Paulus di ayat 17b cukup mengagetkan. Bukankah yang menjadi pokok penyelesaian dosa-dosa kita adalah kematian Kristus (15:3; Kol 1:22)? Mengapa kematian Kristus itu seolah-olah tidak memadai sehingga perlu ditambahi oleh kebangkitan-Nya?

Kunci untuk memahami persoalan tersebut terletak di Roma 4:25. Dalam teks ini disebutkan bahwa Yesus Kristus “telah diserahkan karena pelanggaran kita dan dibangkitkan karena pembenaran kita”. John Calvin secara tepat mengatakan tentang ayat ini: “Oleh kematian-Nya dosa diambil, oleh kebangkitan-Nya kebenaran dibarui dan dipulihkan. Karena bagaimana kematian-Nya dapat membebaskan kita dari kematian apabila Dia kalah pada kuasa kematian? Bagaimana Dia dapat memberikan kemenangan kepada kita apabila Dia sendiri kalah dalam pertempuran? Karena itu keselamatan kita dapat dibagi antara kematian dan kebangkitan Kristus: oleh yang pertama dosa dihapuskan dan kematian dibatalkan, oleh yang terakhir kebenaran dipulihkan dan kehidupan dibangunkan, kuasa dan dampak dari kematian masih harus dianugerahkan kepada kita melalui kebangkitan-Nya” (Inst. II.16.13). Dengan kata lain, jikalau hanya mengandalkan kematian Kristus, keadaan kita hanya sekadar kembali netral, belum tentu berakhir secara positif.

Sebagai sebuah ilustrasi, pikirkanlah sebuah tembok yang sudah kotor dan berlumut. Kita memiliki dua opsi tindakan: membersihkan semua noda yang ada atau sekaligus mengecat ulang. Jikalau Kristus hanya mati tetapi tidak bangkit, tembok itu hanya sekadar dibersihkan. Di kemudian hari bisa berjamur lagi dan rusak parah. Kebangkitan Kristus memulihkan segala sesuatu, bahkan memberikan sifat-sifat baru yang lebih baik daripada sebelumnya.

Kita mengalami kebinasaan (ayat 18)

Ungkapan yang sering digunakan dalam Alkitab untuk “mati” adalah “tertidur”. Ungkapan ini juga muncul di ayat ini (koimaomai, bdk. semua mayoritas versi Inggris). Ini hanyalah sebuah majas. Bukan berarti mereka dalam keadaan tanpa sadar (bdk. Why 5-6). Poin yang ditekankan adalah kesementaraan. Mereka nanti akan dibangkitkan dengan tubuh spiritual yang baru dan menerima kemuliaan.

Pengharapan ini hanya sekadar mimpi apabila Kristus tidak dibangkitkan. Tanpa kebangkitan-Nya, kita akan binasa. Tidak ada alasan untuk berharap. Poin ini disiratkan melalui penggunaan bentuk lampau di ayat 18: “Demikianlah juga orang-orang yang sudah tidur (mati) di dalam Kristus sudah binasa”. Kematian adalah titik akhir perjalanan. Lebih menakutkan lagi, kematian akan menjadi pintu gerbang menuju penghukuman kekal. Jika hal ini yang terjadi, tidak ada perbedaan antara orang-orang percaya dengan yang tidak percaya (bdk. 1:18).

Penderitaan dalam kebinasaan kekal ini tidak terkatakan. Alkitab menggunakan beragam metafora untuk menggambarkannya: kegelapan yang paling gelap (Mat 8:12; 22:13), ulat bangkai yang tidak dapat mati dan api yang tidak bisa padam (Mrk 9:48), dsb. Tidak ada satu metafora pun yang memadai untuk menerangkan realita di baliknya. Bahkan kumpulan semua metafora itu masih belum cukup untuk menggambarkan yang sebenarnya.

Kata “binasa” (apollymi) di 1 Korintus 15:18 juga bersifat kiasan, walaupun apa yang dimaksud benar-benar nyata. Jika dipergunakan secara hurufiah (bukan kiasan), kata apollymi bisa berarti “hilang, hancur, mati, atau luluh-lantak”. Dalam kaitan dengan keselamatan rohani, kebinasaan bukan sekadar pemusnahan. Pada saat kematian, manusia tidak lenyap (kontra doktrin annihilasasi). Mereka akan mengalami “kematian yang kedua” (Why 2:11; 20:6, 14; 21:8). Itulah yang akan terjadi pada semua orang. Bahkan hal yang sama akan terjadi pada orang-orang Kristen seandainya Kristus tidak dibangkitkan.

Kita menjadi orang yang paling malang (ayat 19)

Hampir semua penerjemah Alkitab menafsirkan kata “hanya” (monon) sebagai keterangan bagi “dalam dunia ini”. LAI:TB juga mengambil alternatif ini: “Jikalau kita hanya dalam hidup ini saja menaruh pengharapan pada Kristus” (ayat 19a). Melalui terjemahan semacam ini, pesan yang ingin disampaikan adalah “berharaplah kepada Kristus untuk hidup di dunia maupun sesudahnya”. Jikalau pengharapan kita tidak melampaui kesementaraan dunia ini, kita akan menjadi orang yang paling malang di antara semua manusia.

Kesan yang agak berbeda akan kita dapatkan pada saat kita melihat teks Yunani. Kata “hanya” (monon) muncul di akhir ayat 19a. Kata ini lebih menerangkan frasa “menaruh pengharapan pada Kristus”. Secara hurufiah, bagian ini seharusnya diterjemahkan: “Jikalau dalam hidup ini kita telah berharap pada Kristus saja”. Yang ditekankan adalah Kristus sebagai satu-satunya pengharapan dalam dunia ini.

Paulus ingin mengajarkan bahwa pengharapan tunggal kepada Kristus tidak akan berarti apa-apa apabila Kristus tidak dibangkitkan. Lebih jauh, pengharapan itu justru akan menjadikan kita sebagai orang-orang yang paling malang di antara semua manusia. “Yang paling malang” dapat dimengerti sebagai “yang paling kasihan”.

Poin di atas berhubungan dengan semua penderitaan yang ditanggung oleh orang-orang Kristen selama di dunia. Iman mereka kepada Kristus seringkali harus dibayar mahal. Mereka tiap hari berada dalam tekanan, ancaman, penderitaan, bahkan resiko kematian (15:30-32). Semua ini menimpa mereka karena mereka tidak mau mengkompromikan Kristus dengan yang lain. Mereka hanya berharap pada Kristus saja. Jika Kristus tidak dibangkitkan, semua pengorbanan ini bukan hanya percuma, tetapi mereka juga akan terlihat sebagai orang bodoh yang sudah mengorbankan segala sesuatu demi sesuatu yang tidak ada. Dunia akan bersorak dan mengatakan “amin” pada kalimat: “salib adalah kebodohan” (1:23).

Puji Tuhan! Kristus sungguh-sungguh hidup! Kehidupan-Nya menghidupkan! Kita tidak hanya dipersekutukan dengan kematian-Nya, melainkan juga dengan kebangkitan-Nya (Rm 6:5; Flp 3:10-11). Pengharapan kita dibangun di atas dasar historis yang teguh: Kristus bangkit dari antara orang-orang mati. Soli Deo Gloria.

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community