Paulus sudah menerangkan bagaimana kasih merupakan bagian yang sangat esensial dan integral dalam penggunaan karunia-karunia rohani (13:1-3). Tanpa kasih, semua talenta dan karunia rohani kita akan kehilangan makna yang sebenarnya. Semua akan menjadi sia-sia.
Paulus juga sudah menjelaskan karakteristik kasih (13:4-7). Semua karakteristik ini didasarkan pada sifat dan perbuatan Allah bagi kita, terutama dalam karya keselamatan di dalam Kristus Yesus. Dengan kata lain, tatkala kita mengasihi orang lain, kita sedang meneladani sifat Allah dan meniru tindakan-Nya.
Kini Paulus membawa ulasannya sedikit lebih maju. Ia membicarakan tentang keutamaan kasih dibandingkan karunia-karunia rohani (13:8-12). Terlalu mengagungkan karunia rohani tanpa menghiraukan kasih berarti mementingkan yang kurang penting dan meremehkan apa yang paling penting. Keutamaan ini lebih difokuskan pada permanensi atau kekekalan kasih. Inti yang mau disampaikan Paulus cukup sederhana; apa yang kekal lebih bernilai daripada apa yang sementara.
Inti persoalan: kerancuan konsep eskhatologis
Cara Paulus membuktikan keutamaan kasih dibandingkan karunia-karunia rohani di sini cukup menarik. Bagi Paulus, kekekalan sesuatu merupakan kelebihan dari sesuatu itu. Sesuatu yang lebih bertahan lama lebih bernilai daripada yang sementara.
Pendekatan di atas dapat digambarkan seperti melihat sesuatu di masa sekarang tetapi dari perspektif nanti. Dalam kalimat yang lain, kekinian dipandang dari sudut futuris, yaitu kesudahan bagi segala sesuatu. Tatkala momen itu tiba dan segala sesuatu sudah berakhir, apa yang masih bertahan? Kasih, bukan karunia rohani.
Strategi pembelaan semacam ini bukan hanya jenius di segala zaman, tetapi, secara khusus, relevan bagi jemaat Korintus. Mereka terjebak pada konsep eskhatologis (akhir zaman) yang rancu dan keliru. Kekayaan rohani yang mereka miliki (1:5) mendorong mereka untuk berpikir bahwa mereka sudah hidup pada masa-masa terakhir. Mereka adalah saksi dari masa keemasan dalam sejarah keselamatan.
Semua ini turut membentuk sikap mereka yang keliru terhadap karunia-karunia rohani. Memiliki karunia rohani dianggap sebagai salah satu puncak manifestasi zaman akhir. Yang paling penting bagi mereka adalah karunia rohani, terutama yang terlihat spektakuler. Relasi horizontal dengan orang lain dilupakan. Kasih dipinggirkan.
Apa yang terjadi dengan jemaat Korintus sebetulnya tidak terlalu sulit untuk dipahami. Fenomena yang sama sedang muncul di sebagian gereja. Keyakinan bahwa akhir zaman benar-benar akan segera tiba pada masa kini telah membuat orang-orang Kristen tidak menginjak bumi. Yang mereka tekankan adalah relasi mistis dengan Tuhan, tanpa menghiraukan tanggung-jawab terhadap orang lain, keluarga dan masyarakat. Beberapa sekte Kristen bahkan memerintahkan pengikutnya untuk menjual semua harta mereka dan tinggal bersama di suatu tempat tertentu sambil menantikan kedatangan Tuhan Yesus kedua kalinya. Beberapa kelompok yang lain terobsesi dengan berbagai kabar akhir zaman yang diperoleh melalui mimpi, nubuat, dan penglihatan.
Kekekalan adalah keutamaan (ayat 8-10)
Kita hidup dalam budaya yang terus berubah. Salah satu yang tidak berubah adalah kebiasaan kita untuk terus mengikuti perubahan. Dalam beberapa hal, sikap ini positif. Kita menjadi peka terhadap apa yang sedang terjadi, sehingga bisa menghidupi kekristenan kita dengan cara yang lebih relevan. Dalam hal-hal yang lain, sikap ini menandakan semangat hidup yang keliru. Kita terbelenggu dalam “pola hidup trendy”. Apa yang sedang populer dianggap yang paling penting. Apa yang lama dan tidak berubah dipandang kurang bernilai dan memalukan. Ketahanan suatu barang mulai disisihkan dan digantikan dengan model yang kreatif tetapi cepat sirna.
Dalam konteks karunia rohani dan kasih, kekekalan lebih utama daripada kesementaraan. Kasih lebih penting dibandingkan karunia rohani, karena kasih bersifat kekal.
Kasih tidak berkesudahan (LAI:TB/RSV/NRSV/ESV, ayat 8a). Secara hurufiah bagian ini berbunyi: “kasih tidak pernah jatuh” (hē agapē oudepote piptei, bdk. kata piptō di 10:12). Sesuai dengan konteks yang ada (13:8, 10, 11, 13), frase ini sebaiknya diterjemahkan “kasih tidak pernah gagal [untuk terus-menerus ada]” (KJV/ASV/NIV/NASB “love never fails”).
Mengapa kekekalan kasih lebih utama daripada kesementaraan karunia rohani? Pertama, kesementaraan karunia-karunia rohani membuktikan bahwa mereka tidak esensial. Semua karunia rohani akan musnah dan lenyap (ayat 8b). Kata dasar katargeō muncul beberapa kali dalam surat 1 Korintus. Allah memilih orang-orang yang dipandang tidak berarti oleh dunia untuk meniadakan apa yang berarti (1:28). Para penguasa dunia akan ditiadakan (2:6). Perut dan makanan sebagai perwakilan dari hal-hal yang jasmaniah akan dibinasakan oleh Allah (6:13). Di akhir zaman nanti semua kuasa dan maut akan dibinasakan (15:24, 26). Pilihan kata katargeō untuk karunia-karunia rohani menyiratkan bahwa semua itu suatu kali pasti menemui jalan buntu. Mereka suatu kelak akan tidak ada lagi.
Apakah ketika karunia-karunia rohani nanti sudah tidak ada, orang-orang Kristen juga turut musnah? Tentu saja tidak! Kita akan terus ada sebagai komunitas umat percaya di surga. Karakteristik kita yang esensial ditentukan oleh iman, pengharapan, dan kasih. Di 13:8 Paulus berkata: “Demikianlah tinggal ketiga hal ini: iman, pengharapan, dan kasih”.
Jenis dan karunia rohani tidak hakiki bagi kekristenan. Denominasi gereja bukan karakter kekal kekristenan. Orang-orang Kristen akan terus ada sekalipun semua ini sirna. Sebaliknya, jika kasih ditiadakan dalam kehidupan orang percaya, kita akan berhenti menjadi “Kristen”. Kasih bersifat esensial bagi kekristenan.
Kedua, kesementaraan karunia-karunia rohani membuktikan bahwa mereka tidak sempurna. Kata sambung “sebab” di awal ayat 9 memberikan alasan mengapa karunia rohani suatu ketika akan musnah atau berhenti: “sebab pengetahuan kita tidak lengkap dan nubuat kita tidak sempurna”. Apa yang dinyatakan dalam karunia pengetahuan dan nubuat hanya sebagian (versi Inggris “for we know in part and we prophesy in part”). Suatu kali kelak yang sempurna akan tiba. Keberadaan yang sempurna nanti berarti ketidakadaan bagi yang tidak sempurna.
Penjelasan ini merupakan teguran untuk jemaat Korintus yang sering membanggakan pengetahuan mereka (6:12; 8:1, 4; 10:1-4). Mereka menganggap diri sudah dewasa secara rohani, tetapi kenyataan justru sebagai bayi-bayi rohani yang masih duniawi (3:1-3). Walaupun 13:9 merupakan sebuah teguran, hal itu disampaikan dengan cara yang persuasif. Kata ganti “kita” menyiratkan bahwa Paulus pun menggolongkan diri dengan mereka yang pengetahuannya tidak sempurna.
Para penafsir menawarkan tafsiran beragam untuk menjelaskan “yang sempurna” (to teleion). Ada yang memahaminya sebagai terkumpulnya keseluruhan kitab-kitab Perjanjian Baru (kanonisasi PB di abad ke-4 M). Ada pula yang melihat to teleion sebagai kesempurnaan atau kedewasaan kehidupan Kristiani. Dua pandangan yang cukup populer ini bertentangan dengan konteks 1 Korintus 13. Ayat 12 secara eksplisit mengarah pada penggenapan segala sesuatu di akhir zaman: kita akan melihat Tuhan muka dengan muka, kita akan mengenal Dia sebagaimana kita sendiri dikenal-Nya. Jadi, to teleion mengarah pada kedatangan Kristus yang kedua kali untuk menyerahkan segala sesuatu kepada Bapa-Nya dan mengalahkan semua penguasa serta maut (15:24, 26).
Di surga kelak pengetahuan kita tentang Allah akan tetap ada, bahkan disempurnakan. Yang tidak kekal adalah sarana untuk memperoleh pengetahuan itu, misalnya melalui karunia pengetahuan dan karunia nubuat. Sarana akan musnah seiring dengan ketidakadaan segala yang jasmaniah, tetapi apa yang ingin dihasilkan melalui sarana itu akan tetap ada.
Sebagai contoh yang baik adalah telepon. Apakah kita membutuhkan telepon? Belum tentu. Semua manusia pasti membutuhkan komunikasi karena Allah menciptakan kita sebagai makhluk sosial. Sampai kapan pun komunikasi akan menjadi bagian tak terpisahkan dalam diri kita. Namun, sarana untuk melakukan komunikasi tersebut tidak selalu sama. Sarana tidak mutlak dan tidak sempurna.
Ketiga, kesementaraan karunia-karunia rohani membuktikan bahwa mereka bukan tujuan akhir kekristenan. Kehadiran kesempurnaan eskhatologis yang akan menghentikan keberadaan hal-hal yang tidak sempurna bukan berarti hal-hal yang tidak sempurna itu sama sekali tidak berguna. Semua karunia rohani diberikan oleh Allah Tritunggal untuk membawa manfaat bagi umat Allah pada zaman ini (12:7). Paulus tidak menentang karunia-karunia rohani. Ia hanya ingin meletakkan semua itu pada posisi yang semestinya.
Jika demikian, apa fungsi karunia-karunia rohani? Apa yang salah dalam sikap jemaat Korintus yang sangat bersemangat untuk urusan karunia-karunia rohani?
Kesalahan jemaat Korintus dapat diumpamakan seperti seorang turis yang menjadikan petunjuk jalan sebagai tujuan akhir. Petunjuk jalan dan rambu lalu lintas hanyalah alat bantu sementara supaya dia dapat mencapai tempat tujuan dengan selamat. Yang penting adalah tempat tujuan, bukan petunjuk jalan atau rambu lalu-lintas. Tatkala kita sudah tiba di tempat tujuan, semua petunjuk itu tidak lagi berguna.
Demikian halnya dengan karunia-karunia rohani. Semua bermanfaat pada masa kini untuk mengarahkan dan mempersiapkan kita memasuki akhir zaman yang sebenarnya. Pada waktu kita kelak sudah sampai ke sana, karunia-karunia rohani tidak lagi diperlukan. Terlalu mengagungkan karunia rohani sampai mengabaikan kasih sama dengan mementingkan petunjuk jalan dan rambu lalu lintas daripada tempat tujuan.
Kasih bukan hanya sebuah petunjuk jalan menuju kekekalan. Kasih adalah cicipan dari kekekalan itu. Kasih bukan sekadar sebuah kewajiban Kristiani. Kasih merupakan tujuan akhir kekristenan: kasih kepada Allah Tritunggal dan kasih kepada sesama orang kudus di surga kelak. Jadi, esensi kekristenan tidak pernah berubah: kasih kepada Allah dan sesama (Mat 22:36-40). Semua hal dalam kekristenan harus diarahkan kepada dan melayani tujuan ini. Soli Deo Gloria.