Eksposisi 1 Korintus 13:4-7 (Bagian 2)

Posted on 26/10/2014 | In Teaching | Ditulis oleh Admin | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/images/article/ Eksposisi 1 Korintus 13:4-7 (Bagian 2)

Dalam khotbah sebelumnya sudah disinggung bahwa daftar karakteristik kasih di 13:4-7 kemungkinan diperoleh Paulus dari sumber lain, namun sudah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga sesuai dengan keadaan jemaat Korintus. Berdasarkan hal ini, penafsiran detil terhadap tiap karakteristik harus memperhatikan persoalan apa yang sedang terjadi di jemaat Korintus.

 

Kasih itu tidak memegahkan diri (ou perpereuetai)

Kata dasar perpereuomai hanya muncul sekali di Alkitab. Dalam tulisan Yunani kuno di luar Alkitab, kata perpereuomai muncul dengan arti “membual.” Kata ini muncul dalam konteks retorika kuno tatkala puji-pujian atau sanjungan berlebihan diberikan pada seseorang sebagai bumbu-bumbu pidato. Berpijak pada penggunaan seperti ini, terjemahan “memegahkan diri” (LAI:TB) atau “membanggakan diri” (NIV/ESV “boast”) belum sepenuhnya mengekspresikan poin yang ditekankan dalam kata perpereuomai. Ini bukan tentang pemegahan diri atas suatu realita. Ini hanya pembualan yang tidak berdasar atau tidak sesuai dengan kenyataan.

Tidak sulit untuk melihat bagaimana jemaat Korintus telah gagal dalam karakteristik kasih ini. Mereka lebih memilih persuasi retorika Yunani daripada salib Kristus (1:18; 2:1-5). Mereka mengagungkan hikmat duniawi yang kosong daripada hikmat salib yang menyelamatkan (1:23-24; 2:7). Mereka lebih tergiur dengan bentuk luar yang menarik daripada isi yang berbobot. Lebih parah lagi, di atas semua dasar yang goyah inilah mereka membanggakan diri (1:29, 31)! Dengan kata lain, jemaat Korintus telah terjebak pada “pembualan rohani”: melebih-lebihkan sesuatu yang sebenarnya kosong.

Kasih mendorong kita untuk menerima diri sendiri apa adanya. Kasih membuat kita tidak malu mengakui kelemahan-kelemahan kita, bukan malah menyangkali semua kelemahan itu atau menutupinya dengan bualan yang kosong. Kelemahan-kelemahan itu justru menjadi pengingat tentang kasih karunia Allah dalam diri kita (1:25-29). Akui kelemahan kita, berubahlah oleh kekuatan Allah. Itulah kasih.

 

Kasih itu tidak sombong (ou physioutai)

Secara hurufiah kata ini berarti meniup atau menggelembungkan sesuatu (KJV/ASV “[It is] not puffed-up”). Berbeda dengan bualan (perpereuomai) yang lebih mengarah pada ketidaksesuaian dengan kenyataan, kesombongan (physioō) lebih ke arah pelampauan batasan (4:6, 18-19). Orang yang sombong mungkin memang memiliki sesuatu untuk disombongkan, misalnya pengetahuan teologis tertentu yang mereka yakini sebagai kebenaran (8:1). Kalau bualan hampir pasti terlihat dari luar, kesombongan kadangkala mengambil kedok tindakan yang terlihat rendah hati (Kol 2:18). Dengan kata lain, kesombongan juga menyoroti hati seseorang.

Menilik pemunculan kata physioō di Alkitab, kesombongan merupakan dosa yang serius di jemaat Korintus. Dari tujuh kali pemunculan kata physioō di Perjanjian Baru, enam di antara ditemukan di 1 Korintus (4:6, 18, 19; 5:2; 8:1; 13:4). Jemaat Korintus menyombongkan diri atas orang lain (4:6, 18-19). Mereka tidak mau mempedulikan orang lain (8:1, 7).

Berbeda dengan kesombongan yang bersifat egosentris, kasih justru terfokus pada orang lain (8:1). Kesombongan menempatkan kita di atas orang lain dan diri kita yang sebenarnya, sedangkan kasih meletakkan kita di bawah orang lain untuk memahami dan melayani mereka. Kesombongan dan kasih tidak mungkin duduk berdampingan. Yang satu akan meniadakan yang lain.

 

Kasih itu tidak melakukan yang tidak sopan (ouk aschēmonei)

Sebagian versi Inggris menerjemahkan aschēmoneō dengan “kasar” atau “tidak sopan” (RSV/NIV/ESV “rude”). Terjemahan ini tampaknya terlalu sempit. Kata aschēmoneō bisa merujuk pada segala tindakan yang tidak pantas dan hina. Kata kerja ini muncul di 7:36 untuk perbuatan yang tidak senonoh terhadap seorang gadis (berkaitan dengan dosa seksual). Kata benda aschēmosynē muncul dalam konteks homoseksualitas (Rom 1:27) dan ketelanjangan (Why 16:15). Kata sifat aschēmōn digunakan di 1 Korintus 12:23 untuk bagian tubuh yang tidak elok (baca: tidak pantas untuk diperlihatkan). Berdasarkan analisa kosa kata ini, terjemahan tradisional “tidak pantas” (KJV/ASV “unseemly”) lebih baik dipertahankan (juga LAI:TB “yang tidak sopan”). Jadi, apa saja yang dipandang hina oleh masyarakat atau mengakibatkan kehinaan bagi orang lain harus dihindari oleh mereka yang memiliki kasih.

Beberapa tindakan jemaat Korintus masuk dalam kategori pelanggaran terhadap karakteristik kasih ini. Ada yang kawin dengan istri ayahnya (5:1). Ada perempuan yang berpenampilan dan berperilaku tidak pantas di depan umum dalam konteks ibadah (11:2-16). Ada yang merendahkan orang-orang miskin (11:20-22). Semua ini bertabrakan dengan kasih. Kasih selalu menginginkan hal-hal yang agung dan indah untuk orang lain, bukan kehinaan dan ketidaksenonohan.

Tidak sulit mengetahui betapa relevan karakteristik ini bagi situasi modern, terutama yang berhubungan dengan kehidupan remaja/pemuda. Sebagian menganggap hubungan seks di luar pernikahan sebagai bukti cinta, padahal Alkitab secara tegas justru mengajarkan sebaliknya: jika kita mencintai seseorang, maka kita tidak akan melakukan hal-hal yang kurang pantas kepadanya. Salah satu ujian cinta sejati justru terletak pada pengendalian diri dalam hal seks!

 

Kasih itu tidak mencari keuntungan diri sendiri (ou zētei ta heautēs)

Secara hurufiah, frase ini berbunyi: “tidak mencari….sendiri” (KJV/ASV/NASB “seeketh not its/her own”). Para penerjemah berbeda pendapat tentang obyek yang harus diasumsikan. Sebagian mengusulkan “jalan/cara” (RSV/ESV/NLT), yang lain “kepentingan/keuntungan” (NIV/NJB). Alternatif pertama lebih merujuk pada pemaksaan kehendak, sedangkan yang kedua pada sikap egois (tidak mau mempedulikan kepentingan orang lain). Secara tata bahasa dan sintaks dua alternatif ini sama-sama bisa dibenarkan. Menentukan pilihan mana yang lebih tepat harus memperhatikan konteks: Apakah jemaat Korintus cenderung memaksakan cara kepada orang lain atau mereka kurang memperhatikan kepentingan orang lain?

Jawaban yang benar adalah yang terakhir. Mereka tidak mempedulikan pihak lain yang lemah yang bisa tersandung oleh “pengetahuan” dan sikap mereka dalam hal makanan berhala (8:1-13). Dengan alasan kebebasan di dalam Kristus (“segala sesuatu diperbolehkan”), mereka tidak peduli apakah “kebebasan” itu membawa manfaat bagi orang lain atau tidak (10:23). Pada waktu sakramen perjamuan kudus, orang-orang kaya memakan sendiri roti dan anggur yang mereka bawa dari rumah tanpa menunggu kedatangan jemaat-jemaat yang miskin (11:20-22).

Berbeda dengan sebagian besar jemaat Korintus, Paulus mendemonstrasikan karakteristik kasih ini dalam pelayanannya. Ia tidak mau secara sembarangan menggunakan kebebasannya sehingga orang lain merasa syak atau tersandung (8:13). Walaupun ia berhak mendapatkan tunjangan hidup, ia memilih untuk bekerja dengan tangannya sendiri supaya injil tidak terhalang (9:1-18). Ia bahkan rela menjadi segala-galanya bagi semua orang demi keselamatan mereka (9:19-23). Di 10:33 ia berkata: “Sama seperti aku juga berusaha menyenangkan hati semua orang dalam segala hal, bukan untuk kepentingan diriku, tetapi untuk kepentingan orang banyak, supaya mereka beroleh selamat.”

Kasih sejati berfokus pada kepentingan atau kebaikan orang lain. Kasih memampukan kita bahkan untuk mengorbankan hak dan kebebasan kita supaya orang lain bertumbuh. Bukti kasih terbesar adalah karya Kristus di kayu salib. Ia bukan hanya mau meninggalkan kemuliaan sorgawi dan hidup dalam keterbatasan sebagai manusia, Ia bahkan rela mati di kayu salib untuk kepentingan kita (Flp 2:6-8).

 

Kasih itu tidak pemarah (ou paroxynetai)

Kata dasar paroxynomai sebenarnya tidak selalu berhubungan dengan kemarahan. Kata yang secara hurufiah berarti “mempertajam” ini (bdk. Ul 32:41 LXX) hanya merujuk pada gejolak perasaan yang kuat dalam hati seseorang. Jenis gejolak yang ada bervariasi, tergantung pada konteksnya. Sebagai contoh, hati Paulus bergejolak (parōxyneto, LAI:TB “sangat sedih hatinya”) pada saat ia menyaksikan begitu maraknya penyembahan berhala di kota Athena (Kis 17:16).

Walaupun tidak selalu berhubungan dengan kemarahan, hampir semua versi mengarah pada kemarahan, entah mereka menerjemahkan paroxynomai dengan “terprovokasi” (KJV/ASV/NASB) atau “lekas marah” (RSV/NIV/ESV). Pilihan ini jelas bukan tanpa alasan. Dalam deretan karakteristik kasih, Paulus sebelumnya sudah menyinggung tentang “sabar” (13:4a), sehingga gejolak perasaan ini lebih pas apabila dikaitkan dengan kemarahan. Selain itu, dalam kaitan dengan kasih, gejolak perasaan yang paling bertentangan dengan kasih adalah kemarahan atau kebencian.

Apakah hal ini berarti bahwa kasih sama sekali meniadakan kemarahan? Tentu saja tidak! Dalam Septuaginta (LXX), kata paroxynomai bahkan dikenakan pada TUHAN yang sedang memurkai umat-Nya (Ul 9:18 LAI:TB “menimbulkan sakit hati-Nya” = paroxynai auton; Yes 65:3 LAI:TB “yang menyakitkan hati-Ku” = ho paroxynōn). Walaupun TUHAN memurkai dan menghukum umat-Nya, Ia tetap mengasihi mereka. Kemarahan-Nya justru dimaksudkan untuk kebaikan umat-Nya supaya mereka bertobat dan dipulihkan.

Inti yang ditekankan di 1 Korintus 13:5 bukanlah pada kemarahannya, namun pada lekas marahnya. Bentuk present paroxynetai merujuk pada tindakan yang sering atau terus-menerus terjadi. Kasih memang kadangkala melibatkan kemarahan [untuk kebaikan orang lain], tetapi kasih tidak pernah lekas marah (atau “pemarah”). Orang yang mudah tersulut kemarahannya adalah orang yang tidak mengasihi. Ia kurang bisa mengerti orang lain (melihat sesuatu dari perspektif orang lain). Ia gagal menghadirkan suasana kedamaian yang diinginkan pihak lain. Ia tidak mau mengorbankan perasaan atau haknya demi orang lain.

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Admin

Reformed Exodus Community