Hari ini kita tidak mungkin membahas perikop ini secara tuntas. Untuk memudahkan pemahaman, hari ini kita hanya akan belajar beberapa poin penting berkaitan dengan karunia-karunia rohani yang disebutkan Paulus di ayat 7-11. Pertemuan berikutnya akan menjelaskan arti dari masing-masing karunia tersebut. Hal-hal apa saja yang perlu kita pahami sehubungan dengan karunia-karunia rohani?
Pertama, keberadaan karunia-karunia tersebut mencerminkan keberadaan Allah Tritunggal. Sebagaimana sudah dikupas dalam khotbah sebelumnya, ayat 4-6 menggambarkan bagaimana tiga Pribadi dalam Tritunggal terlibat dalam pemberian karunia, pelayanan, dan pekerjaan ajaib. Tiga hal ini – karunia, pelayanan, dan pekerjaan ajaib – bukanlah tiga hal yang berbeda dan saling terpisah. Perbedaan dan kesamaan dalam diri Tritunggal juga terlihat dari keberadaan karunia-karunia rohani. Walaupun tiap-tiap orang percaya diberi karunia tertentu yang spesifik dan berbeda dari orang lain (ayat 7, 11), tujuan dari pemberian itu adalah satu: kepentingan semua jemaat (ayat 7). Walaupun ada beragam karunia (kejamakan), tetapi semua bersumber dari Roh yang satu dan yang sama (ketunggalan, ayat 11). Penggunaan frase “yang satu dan yang sama” menyiratkan penekanan, karena “satu” sudah menyiratkan “sama”.
Demikian halnya dengan Allah Tritunggal: walaupun menyatakan diri dalam tiga Pribadi, tetapi tetap satu hakekat yang sama. Kita mempercayai satu Allah (monotheisme) yang menyatakan diri dalam tiga Pribadi (Tritunggal). Kesatuan di dalam kekristenan tidak harus dipahami sebagai keseragaman. Perbedaan memang ada, namun semua itu tidak boleh meniadakan kesatuan yang lebih esensial.
Kedua, jenis karunia yang disebutkan di ayat 7-11 tidak mencakup seluruh karunia. Pada penutup bagian ini (12:28-30) Paulus menyebutkan kembali berbagai macam karunia, tetapi beberapa karunia ternyata tidak ada di ayat 7-11. Yang termasuk hal ini adalah karunia sebagai rasul, nabi, pengajar, karunia untuk melayani, dan untuk memimpin. Dalam daftar karunia di Roma 12:6-8 Paulus menyebutkan karunia untuk melayani, mengajar, membagi-bagikan sesuatu, memimpin, dan menunjukkan kemurahhatian.
Dari jenis dan urutan karunia yang disebutkan di 1 Korintus 12:7-11 juga bagaimana Paulus memaparkannya secara kontekstual. Maksudnya, urutan itu menyiratkan situasi riil yang dihadapi jemaat di Korintus. Hal ini terlihat dari cara peletakan hikmat dan pengetahuan di urutan awal (jemaat Korintus sangat menyukai pengetahuan dan hikmat, bdk. 1:5 dan frekwensi pemunculan kata “hikmat” di pasal 1-3) maupun bahasa roh dan penafsirannya di urutan terakhir (jemaat Korintus menganggap bahasa roh sebagai karunia yang paling spektakuler dan indikasi kerohanian).
Poin ini sangat penting untuk diperhatikan. Beberapa orang menjadi kecewa dengan Tuhan karena merasa tidak dipercayakan satu karunia pun. Perlu diingat, tatkala kita tidak memiliki salah satu karunia yang disebutkan di ayat 7-11, hal itu tidak berarti bahwa kita tidak memiliki karunia apapun. Masih ada beragam karunia lain. Sebagian bahkan mungkin tidak kita sukai (karunia untuk membagi-bagikan sesuatu dan menunjukkan kemurahan!).
Ketiga, keberadaan karunia rohani merupakan penyataan Roh Kudus (ayat 7). Penggunaan istilah “penyataan” (phanerōsis) di sini bukan hanya sekadar menunjukkan kekayaan kosa kata Paulus. Ada maksud di balik kata phanerōsis. Sayangnya, terjemahan LAI:TB “penyataan” masih belum menyiratkan asli yang sebenarnya. Kata “penyataan” bisa menimbulkan kesan bahwa apa yang dinyatakan sebelum tidak nyata (tidak ada). Kata phanerōsis sebenarnya lebih merujuk pada pengungkapan apa yang sebelumnya tersembunyi. Jika terjemahan hurufiah ini dipertahankan, kita dapat menebak dengan lebih mudah apa maksud Paulus menggunakan kata ini. Sebagaimana iman kepada Yesus sebagai Tuhan membuktikan bahwa Roh Kudus telah bekerja di dalam diri orang percaya (ayat 3), demikian pula keberadaan karunia menunjukkan keberadaan dan pekerjaan Roh Kudus (ayat 7).
Kebenaran ini seringkali dilupakan oleh gereja-gereja modern. Karunia-karunia yang tampak ‘biasa’ (ayat 8-9a) memiliki bobot yang sama dengan yang terlihat dasyat (ayat 9b-10). Adalah memprihatinkan apabila sebagian orang Kristen pada aliran-aliran tertentu hanya membatasi pekerjaan Roh Kudus pada karunia yang terlihat spektakuler, seperti bahasa roh, kesembuhan, dan mujizat. Mereka lupa bahwa semua karunia berasal dari Roh yang satu dan yang sama (ayat 11). Mereka tidak paham bahwa karunia apa pun yang kita miliki tetap menunjukkan pekerjaan Roh Kudus dalam diri kita. Tidak ada satu karunia pun yang lebih hebat daripada karunia yang lain.
Keempat, setiap orang percaya pasti diberi karunia rohani. Sebelum dan sesudah memaparkan beragam karunia rohani, Paulus secara eksplisit memakai ungkapan “tiap-tiap orang” (ayat 7, 11). Di ayat 11 ia bahkan menambahkan kata “secara khusus”, yang dalam beberapa versi Inggris secara tepat diterjemahkan “to each one individually” (RSV/ESV “kepada tiap-tiap orang secara pribadi”). Walaupun beberapa penafsir masih ragu-ragu menandaskan hal ini, tetapi metafora “tubuh [Kristus]” di ayat 12-27 secara jelas menyiratkan bahwa “Allah telah memberikan kepada anggota, masing-masing secara khusus, suatu tempat pada tubuh, seperti yang dikehendaki-Nya” (ayat 18) dan bahwa “Kamu semua adalah tubuh Kristus dan kamu masing-masing adalah anggotanya” (ayat 27).
Penjelasan di atas seharusnya menjadi penghiburan bagi setiap orang Kristen. Setiap orang yang percaya pasti dipercayakan karunia rohani! Walaupun kata “talenta” memiliki konotasi yang lebih luas daripada “karunia roh”, namun prinsip dalam perumpamaan tentang talenta yang diajarkan Tuhan Yesus mungkin tetap relevan: setiap orang pasti diberi karunia, minimal satu. Apabila kita mendapati diri kita tidak memiliki satu karunia pun, itu mungkin disebabkan kekurangpekaan kita terhadap karunia yang Allah berikan atau ketidaktahuan kita tentang beragam karunia yang disediakan Allah. Kita mungkin hanya membatasi karunia roh pada hal-hal tertentu yang terlihat spektakuler. Jika ini yang terjadi, kita perlu berkonsultasi dengan hamba Tuhan atau orang Kristen yang lebih dewasa rohani, sehingga mereka dapat membimbing kita menemukan karunia roh dalam diri kita.
Kelima, karunia-karunia rohani dimaksudkan untuk kepentingan bersama (ayat 7). Dalam teks Yunan ungkapan “untuk kepentingan bersama” secara hurufiah berarti “membawa semua” atau “menjadi berguna [bagi semua]”. Versi Inggris yang lebih tradisional memilih “profit withal” (‘berguna untuk semua’, KJV/ASV), sedangkan yang lebih modern menggunakan “the common good” (‘kebaikan bersama’, RSV/NASB/NIV/ESV). Poin ini akan diuraikan Paulus secara lebih jelas di bagian selanjutnya pada saat ia memakai metafora tubuh Kristus di ayat 12-27.
Jika keragaman karunia dimaksudkan untuk kepentingan bersama, maka apa yang terjadi di tengah-tengah jemaat Korintus merupakan sebuah ironi. Keragaman ilahi yang seharusnya mempersatukan ternyata telah diputarbalikkan sebagai sumber konflik. Kesombongan dan kesalahpahaman sebagian jemaat terhadap terhadap karunia tertentu telah membutakan mata rohani mereka sehingga mereka tidak memahami tujuan ilahi yang agung di balik semua karunia tersebut.
Hal ini tidak berbeda dengan apa yang sering terjadi dengan anak-anak kita. Orang tua biasanya membelikan hanya satu perangkat alat permainan untuk tiap jenisnya. Maksud dari sikap ini adalah supaya anak-anak kita belajar berbagi dan tidak egois: setiap mainan adalah milik bersama. Dalam kenyataannya, mainan yang dimaksudkan untuk menyatukan itu justru menjadi sumber perkelahian.
Berpijak pada tujuan yang mempersatukan seperti itu, tidak heran di pasal 13 Paulus dengan tegas mengajarkan kesia-siaan karunia rohani jika tidak disertai dengan kasih (13:1-3). Kepemilikan karunia yang beragam dan spektakuler tidak akan mencapai tujuannya apabila tidak didorong oleh kasih. Kasihlah yang memampukan kita untuk melakukan kebaikan bagi orang lain. Sebagian jemaat Korintus bukan hanya tidak mau memikirkan kebaikan seluruh jemaat, mereka bahkan memanfaatkan karunia-karunia rohani untuk kepentingan diri mereka masing-masing. Mereka lupa untuk apa Allah memberikan semua karunia tersebut.
Terakhir, karunia-karunia rohani diberikan menurut kedaulatan Roh Kudus. Kata kerja “memberikan” (didōmi, LAI:TB “mengaruniakan”) di ayat 7-11 hanya muncul di ayat 7 dan 8. Setiap kali muncul, kata ini selalu dalam bentuk pasif (didotai). Bentuk pasif di ayat 8 tidak tampak dalam terjemahan LAI:TB (“Roh memberikan karunia” = lit. “diberikan oleh Roh”). Penggunaan bentuk pasif dimaksudkan untuk menekankan aktivitas Roh dan kepasifan jemaat. Pemunculan kata “Roh” secara berulang-ulang di ayat 7-11 turut mempertegas kebenaran ini. Sebagai puncaknya, Paulus menutup ayat 11 dengan frase “seperti yang Ia [Roh] kehendaki”.
Satu hal lagi yang perlu dicermati adalah penggunaan bentuk kekinian (present) pada kata “diberikan” (didotai). Pemberian karunia roh merupakan tindakan yang terus-menerus. Paulus sangat mungkin ingin menyampaikan bahwa keberadaan karunia bukan dalam arti kepemilikan. Setiap orang percaya harus bergantung terus-menerus kepada Roh Kudus. Kita tidak dapat seenaknya menggunakan karunia roh kapan pun kita mau dan untuk kepentingan apa pun yang kita inginkan. Soli Deo Gloria.