
Pendahuluan:
Kekristenan memang sangat mementingkan aspek rohani, namun hal ini tidak membuat kekristenan mengabaikan moralitas. Orang yang kerohaniannya sehat akan menghasilkan moralitas yang baik sehingga kehidupannya mencerminkan kesucian Kristus dan menjadi kesaksian yang hidup bagi orang-orang yang belum mengenal Allah. Beberapa orang suka mengumpamakan kehidupan orang Kristen sehari-hari sebagai Alkitab yang terbuka yang dibaca banyak orang. Itu sebabnya disiplin gereja akan menjadi bagian penting untuk kehidupan internal seorang Kristen dan juga kehidupan eksternal seorang Kristen. Dosa apa dan bagaimana yang harus mendapat disiplin gereja? Kita bisa belajar dari Surat Paulus di dalam 1 Korintus 5:1-13.
I. Karakteristik dosa yang bisa dikenai disiplin gereja
Semua manusia telah berdosa, bahkan seorang Kristenpun masih bisa jatuh di dalam dosa. Itu sebabnya tidak seadanya pelanggaran harus dikenai disiplin gereja. pelanggaran yang dikenai disiplin gerejawi adalah yang karakteristiknya diberitahukan oleh Paulus di 1 Korintus 5 ini.
Yang melampaui batas. Dosa percabulan di ayat 1 bahkan tetap terbilang melampaui batas menurut ukuran kafir.
Paulus memberikan sebuah informasi bahwa ada percabulan yang terjadi yaitu ada orang yang hidup dengan "isteri ayahnya". Siapakah yang dimaksud dengan istri ayahnya? apakah ibunya? kemungkinan tidak, karena jika yang dimaksud adalah ibunya, tentu Paulus lebih sederhana menyebut "ibumu". Kemungkinan frase ini merujuk pada ibu trinya..
Dari sudut pandang orang Yahudi sendiri, hubungan semacam itu merupakan pelanggaran serius terhadap hukum ilahi. Imamat 18:8 dan Ulangan 22:22 jelas melarang hal ini, dan menurut tradisi rabi, pelanggar itu dapat dikenai hukuman dilempar dengan batu. Yang membuat situasinya semakin genting, seperti dinyatakan dalam 1 Korintus 5: 1, adalah hubungan seksual tersebut "tidak terdapat sekali pun di antara bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah." Perhatikan frase "Memang orang mendengar". Kata "memang" atau holōs muncul dalam I Korintus beberapa kali (lih. 5:1; 6:7; 15:29). Istilah holōs artinya "sepenuhnya" yang berarti "dikenal luas" (lih. NJB). Gereja Korintus memegahkan diri, padahal mereka sedang mengalami kemerosotan moral dan kemerosotan ini sedang diperbincangkan di gereja-gereja lain. Paulus harus berurusan dengan tindakan di luar batas dan sikap gereja ini karena kalau tidak, kenegatifan mereka akan mempengaruhi semua gereja.
Dosa kedua yang dilakukan oleh orang Korintus terkait respon mereka terhadap kejatuhan dan kegagalan ini. Dosa ini kelihatannya lebih serius di mata Paulus karena rupanya mereka tidak berduka cita terhadap kegagalan ini, sebaliknya mereka memiliki sikap hati yang sombong (ayat 2,6). Mereka sangat toleransi dengan orang-orang yang hidup dalam dosa ini. Orang dunia berpikir bahwa "toleransi" adalah salah satu kebajikan yang di dalam masyarakat modern, tapi ternyata tidak bagi Paulus. Menurut Paulus ini justru tambah menunjukan kemerosotan moral bahkan lebih ngeri dari yang dilakukan oleh orang yang tidak mengenal Allah.
Yang terus-menerus dilakukan.
Kata "mendengar" (1a) bisa diterjemahkan “dilaporkan” (akouetai) memakai bentuk present tense menunjukkan bahwa laporan ini bukan hanya sekali ini saja didengar Paulus. Sebelumnya dia sudah mendengar dan membahas masalah ini (5:9). Apa yang dia nasehatkan waktu itu tampaknya tidak sepenuhnya dipatuhi oleh jemaat Korintus (5:10-11). Dengan demikian kita tahu bahwa perzinahan ini bukan tindakan yang sekali dilakukan (bukan “jatuh dalam perzinahan”), tetapi terus-menerus. Ini pula yang menjadi salah satu alasan mengapa Paulus mengambil sikap yang sangat tegas di 5:3-5.
Frase “hidup dengan istri ayahnya” (5:1c). Kata kerja yang dipakai secara hurufiah berarti “memiliki” (KJV/ASV/NASB/NIV). Kata ini merupakan istilah umum yang bermakna “mengambil sebagai istri” (Mat. 14:4; 22:28; 1Kor. 7:2, 29). Jadi, tindakan ini bukan sekadar berbuat zinah satu kali, tetapi secara terus-menerus.
Semua orang bisa jatuh dalam dosa, namun gereja tidak memberikan disiplin rohani kepada mereka yang terjatuh dalam dosa, karena jikademikian gereja akan kosong. Firman Tuhan jelas memberikan kriteria dosa yang harus diberikan disiplin yaitu yang dilakukan terus menerus.
Yang membawa pengaruh besar bagi jemaat.
Paulus mengajarkan bahwa sedikit ragi (satu orang yang berbuat dosa) dapat mengkhamirkan seluruh adonan (seluruh jemaat). Bagaimana tindakan satu orang dapat membawa pengaruh buruk bagi seluruh jemaat? Paulus sangat mungkin memikirkan dua hal: (1) tindakan tersebut menyebabkan gereja kehilangan kesaksiannya, apalagi kalau hal itu sudah diketahui oleh banyak orang (5:1); (2) tindakan ini dapat menyebabkan orang lain tergoda untuk menirunya bahkan menjadi alasan pembenaran bagi tindakan dosa mereka (15:33).
Dalam PB ragi menjadi lambang dari kejahatan yang menyebar secara diam-diam dan berbahaya dalam satu komunitas sampai akhirnya keseluruhan komunitas itu tercemar. Demikian juga dengan jemaat Korintus. Persoalan mereka adalah mereka tidak menanggapi hal tersebut secara serius baik dosa itu sendiri maupun bahaya tercemar karena dosa tersebut.
Dosa yang melampaui batas dan dilakukan terus menerus bukan hanya membinasakan pelakunya tetapi seluruh jemaat juga akan tercemar. Mereka akan terbiasa dengan dosa sehingga akhirnya tidak takut lagi berbuat dosa. Karena itu dosa harus dibenci, orang yang berdosa terus menerus dan mengabaikan teguran harus didisiplin. Disiplin yang dijatuhkan kepada orang berdosa itu adalah bukti bahwa jemaat mengasihinya. Disiplin gerejawi dijalankan demi menjaga kekudusan jemaat secara pribadi dan seluruh jemaat. Tuhan menghukum bukan untuk menghancurkan tetapi untuk memulihkan dan memurnikan orang yang dikasihi-Nya.
Jemaat tidak dapat memenangkan orang kepada Kristus jika ia serupa dengan dunia ini (Mat. 5:13). Dunia mengamati perilaku dan kehidupan gereja. Ketika kehidupan gereja tidak berbeda dari dunia itu kehilangan kredibilitasnya (1 Pet 2: 11-18; 3: 8-16; 4: 1-4).
II. Bentuk disiplin: Diserahkan kepada iblis.
Ungkapan: “Orang itu harus kita serahkan dalam nama Tuhan Yesus kepada iblis, sehingga binasa tubuhnya, agar rohnya diselamatkan pada hari Tuhan” merupakan uangkapan yang sulit. Pengertian yang konkrit masih diperdebatkan. Ungkapan ini bisa berarti pengucilan orang tersebut dari kumpulan orang percaya (lihat I Tim 1:19-20).
Persekutuan dengan orang percaya memberkati orang yang tidak percaya. Ada beberapa contoh dalam Alkitab yang kita temukan, (bdk. 7:13-15, dikuduskan oleh suami/istri yang beriman = diperlakukan khusus oleh Allah, Potifar diberkati karena Yusuf (Kej. 39:5), Jika keputusan ini tidak diambil, orang itu tetap merasa sebagai bagian dari umat Tuhan dan tidak ada dorongan untuk bertobat. Ketika pezinah diserahkan ke dalam tangan iblis – dalam arti dikeluarkan dari kumpulan orang percaya – maka dia tidak akan diperlakukan secara khusus lagi oleh Tuhan.
Frase ini kemungkinan hanyalah ungkapan yang merujuk kepada pengusiran dari kumpulan orang percaya? Paulus mungkin memaksudkan pengusiran ini sebagai cara untuk membuat orang itu malu dan kehilangan rasa nyaman secara rohani, sehingga dia menyadari betapa dirinya dalam dosa dan bahaya yang besar. Dugaan ini sesuai dengan ajaran Paulus di tempat lain (2Tes. 3:14 “jika ada orang yang tidak mau mendengarkan apa yang kami katakan dalam surat ini, tandailah dia dan jangan bergaul dengan dia, supaya ia menjadi malu”).
III. Sifat disiplin gereja
1. Komunal (bersama-sama, dalam konteks ibadah)
Kita harus berhenti melihat disiplin gereja sebagai negatif. Kita harus melihatnya sebagai tindakan yang penuh kasih. Kita tidak bisa berpikir "Apa yang dia lakukan adalah urusannya." Ini mungkin benar di mata dunia, tapi itu tidak benar menurut Firman! Ketika seorang Kristen berdosa, itu bukan hanya urusannyanya. Ini urusan pemimpin gereja. Apa yang akan saudara katakan kepada orang yang saudara cintai yang sedang menderita kanker, "itu urusanmu? Terserah kamu, apakah kamu ingin pergi ke rumah sakit atau tidak? "Jika seseorang tertabrak mobil dan terhempas di jalan raya apa yang akan saudara katakan?," Ini adalah urusanmu? Saya tidak ingin ikut campur?" Itu bukan cara kerja sebuah keluarga. Ketika salah satu anggota keluarga sakit, kita semua berbagi rasa sakit. Itulah cara kerja gereja yang seharusnya.
Urusan kita adalah bukan mengatasi dosa yang ada di dalam negara ini, di negara lain. semua itu adalah urusan Allah. Urusan kita adalah mengatasi dosa yang ada di dalam dinding gereja. Dosa orang kafir adalah urusan Allah, dosa orang percaya di dalam gereja adalah urusan gereja.
Paulus dalam 1 Korintus 9, ia rela menjadi segalanya bagi semua orang untuk menyelamatkan beberapa orang. Demikian juga, Paulus mengharapkan kita untuk memberikan dampak bagi dunia. Yesus juga menunjukan hal yang sama, Ia makan bersama para pemungut cukai dan orang berdosa. Dia memanggil kita menjadi garam dan terang bagi dunia. Kehidupan dalam dosa tidak akan membuat Paulus memiliki pengaruh bagi dunia. kehidupan yang berdosa tidak akan membuat kita memberikan pengaruh dan menjadi garam dan terang bagi dunia.
2. Otoritatif
Karena jemaat Korintus terkesan mengabaikan nasehat Paulus, maka Paulus langsung mengambil tindakan. Dia menjatuhkan hukuman atas orang yang berbuat cabul itu sekalipun ia tidak hadir di tengah jemaat (5:3). Tindakan tegas yang diambil Paulus tidak didasarkan pada otoritasnya secara pribadi. Sesuai dengan ajaran Yesus (Mat. 18:15-17), Paulus sadar bahwa disiplin gereja harus menjadi keputusan semua orang percaya. Walaupun dia tidak hadir tetapi secara roh ada kesatuan antara dia dengan jemaat Korintus. Dalam kesatuan ini (5:3) dan ketika jemaat berkumpul (5:4a) hukuman secara resmi dijatuhkan. Dasar dari tindakan ini adalah janji Tuhan Yesus bahwa Dia akan hadir jika dua atau tiga orang percaya berkumpul dalam nama-Nya (Mat. 18:20), dan janji ini diucapkan dalam konteks disiplin gereja (Mat. 18:15-19). Paulus mungkin mengharapkan agar jemaat berkumpul dan mengamini isi surat Paulus yang dibacakan dalam ibadah mereka. Dengan demikian jemaat dan Paulus dapat bersama-sama bersehati secara rohani (5:4).
Kesatuan dalam konteks ibadah tersebut sekaligus mengajarkan bahwa otoritas disiplin yang sejati terletak pada kehadiran Tuhan Yesus. Karena itulah Paulus mengatakan bahwa tindakannya ini adalah “dengan kuasa Tuhan Yesus” (5:4b) dan dilakukan “dalam nama Tuhan Yesus” (5:5a). Paulus maupun jemaat lain tidak punya kuasa untuk mengadakan disiplin. Mereka hanya bertindak atas nama Kristus. Ketika tubuh Kristus yang seharusnya kudus (1:2) ternyata dinodai oleh dosa, maka orang percaya lain harus mengambil sikap.
3. Transformatif (untuk keselamatan orang itu)
Tindakan disiplin ini sebenarnya bukan didasari pada kebencian, karena tujuan dari semua ini adalah untuk kebaikan. Maksud dari semua ini adalah supaya tubuh (sarx) orang tersebut binasa (5:5b). Sebagian penafsir memahami “binasa tubuhnya” dalam arti kematian fisik. Pendapat seperti ini memiliki banyak kelemahan serius. Paulus tidak mungkin memiliki konsep bahwa tubuh adalah sumber kejahatan yang harus dibinasakan supaya roh mendapat perhentian. Konsep ini sama seperti konsep dualisme Yunani yang menganggap bahwa materi jahat dan roh adalah baik. Di samping itu, jika “binasa tubuhnya” berarti “mati”, bagaimana orang ini akhirnya dapat diselamatkan (5:5c)? Apakah ada unsur pertobatan yang terlibat di dalamnya? Apakah sekadar kematian fisik sudah cukup membuat orang ini diselamatkan?
Kita sebaiknya memahami “tubuh” (sarx) di sini sebagai “kedagingan”, karena dalam tulisan Paulus kata sarx sering kali berarti “kedagingan” apabila dikontraskan dengan roh, sebagaimana kita temukan di 5:5. Dengan demikian ungkapan “binasa tubuhnya” dapat diidentikkan dengan “menyalibkan kedagingan” (Gal. 5:24; Rm. 7:5-6). Tafsiran ini sesuai dengan tujuan di 5:5c (“supaya rohnya diselamatkan”). Pertobatan akan membawa pada keselamatan.
Di 5:8 Paulus memberi nasehat agar jemaat berpesta dengan adonan yang baru. Kata “berpesta” di ayat ini berbentuk present tense, sehingga menunjukkan tindakan yang terus-menerus. Karya Kristus memang harus terus menjadi fokus dalam hidup kita. Kita bukan hanya mengingatnya, tetapi juga merayakannya. Pemakaian frase ini bisa jadi merupakan teguran akan sikap jemaat Korintus yang telah melakukan hal yang sebaliknya yaitu bukan saja melakukan dosa percabulan yang melampaui batas, tetapi ketiadaan penyesalan sebaliknya kesombongan atas hal-hal yang dianggap rohani padahal mereka sedang berada dalam kesuraman rohani. Mereka memiliki kemegahan yang salah, Paulus memakai kata "tidak baik". Karena mereka dasarkan pada kesombongan rohani, padahal jika mereka sungguh-sungguh menilai hidup mereka, mereka seharusnya berdukacita dan malu.
Dalam sebuah persekutuan orang percaya, prinsip ini perlu dipegang. Sebagai tubuh Kristus kita tidak boleh berkompromi dengan dosa apa pun. Kita harus berdukacita karena dosa tersebut. Kita perlu membiasakan diri saling menegur di dalam kasih. Jika semua ini tetap tidak membuat seseorang bertobat, maka gereja harus mengambil sikap tegas dengan cara menjauhkan orang itu dari tengah-tengah jemaat.