DIA Yang Menang Atas Pencobaan (Matius 4:1-11)

Posted on 14/02/2016 | In Teaching | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/images/article/DIA-Yang-Menang-Atas-Pencobaan-Matius-4-1-11.jpg DIA Yang Menang Atas Pencobaan (Matius 4:1-11)

Pembacaan sekilas sudah cukup untuk menunjukkan bahwa kisah baptisan (Mat 3:13-17) dan pencobaan (Mat 4:1-11) memiliki keterkaitan yang erat. Kata sambung “maka” (tote) di 4:1 menyiratkan kesinambungan. Sebutan “Anak Allah” untuk Yesus juga muncul di dua bagian ini (Mat 3:17; 4:3, 6), yang menyiratkan bahwa Yesus dicobai dalam kapasitas-Nya sebagai Anak Allah.

Status sebagai Anak Allah ini harus dilihat dalam perbandingan dengan Israel sebagai anak Allah (Kel 4:22). Yesus adalah Anak secara hakekat, sedangkan Israel secara pilihan. Yesus adalah Anak yang berhasi memang atas pencobaan, sedangkan Israel berkali-kali gagal. Pendeknya, kisah pencobaan secara jelas menampilkan Yesus Kristus sebagai Israel yang baru.

Beragam petunjuk mengarah pada kesimpulan ini. Sama seperti Israel yang dibebaskan dari Mesir, bayi Yesus juga keluar dari Mesir (Mat 2:19-20). Sama seperti Israel yang keluar dari Laut Teberau, Yesus keluar dari dalam air pada saat baptisan (Mat 3:16). Sama seperti Israel dicobai di padang gurun, Yesus juga dicobai di padang gurun (Mat 4:1). Sama seperti Israel di padang gurun selama 40 tahun, Yesus berpuasa di padang gurun selama 40 hari (Mat 4:2). Sama seperti Israel dibekali oleh firman TUHAN melalui Musa selama menghadapi pencobaan di padang gurun, Yesus selalu mengutip firman Tuhan dari tulisan Musa (Mat 4:4//Ul 8:3; Mat 4:7//Ul 6:16; Mat 4:10//Ul 6:13).

Walaupun pencobaan di Matius 4:1-11 bersifat khusus, bukan berarti nilai-nilai teologisnya tidak relevan bagi kita. Kisah ini mengajarkan tentang kedaulatan Allah atas pencobaan dan rahasia memenangkan pencobaan.

Kedaulatan Allah atas pencobaan (ayat 1, 11)

Matius 4:1 secara eksplisit menunjukkan bahwa Yesus dibawa oleh Roh ke padang gurun untuk dicobai. Keterangan ini bukan hanya menyiratkan sebuah pimpinan ilahi (“dibawa oleh Roh”), melainkan sebuah tujuan ilahi (“untuk dicobai”). Allah berdaulat atas setiap pencobaan.

Kedaulatan Allah juga terlihat melalui kedatangan para malaikat untuk melayani Yesus Kristus sesudah Ia menang atas pencobaan (4:11). Allah berhak mengutus para malaikat-Nya untuk memberi pertolongan. Ia juga berhak memutuskan kapan pertolongan itu diberikan. Sekali lagi, Allah berdaulat atas setiap pencobaan.

Konsep tentang kedaulatan Allah atas pencobaan juga diajarkan di bagian Alkitab yang lain. Kita pasti ingat bagaimana TUHAN berdaulat atas rangkaian pencobaan yang dialami oleh Ayub. Walaupun semua pencobaan itu dilakukan oleh Iblis melalui para perampok dan bencana alam, Ayub tetap meyakini campur tangan dan kedaulatan Allah (Ay 1:21; 2:10). Bahkan di akhir pergumulannya Ayub memandang semua yang terjadi sebagai rencana Allah yang tidak dapat gagal (42:2).

Siapa yang tidak ingat dengan 1 Korintus 10:13 yang mengatakan: “Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya” ? Bukankah kedaulatan Allah juga terpampng jelas di sana? Dia yang menentukan tingkat pencobaan kita. Dia yang memberi izin kepada Iblis untuk mencobai kita dalam taraf tertentu. Dia juga yang menemani dan memberi pertolongan.

Konsep ini sangat perlu untuk digarisbawahi. Tatkala sebuah pencobaan datang – apalagi yang begitu besar dan menyakitkan – kita cenderung mempertanyakan kuasa Allah. Kita mungkin hanya menganggap pencobaan itu sebagai sebuah kecelakaan atau peristiwa kebetulan. Kita ragu bahwa di balik peristiwa-peristiwa yang tampaknya kacau ternyata ada sebuah pola ilahi yang indah. Tidak jarang kita juga putus asa menghadapi pencobaan. Kita merasa bahwa kekuatan pencobaan itu jauh melebihi kekuatan kita. Tanpa sadar kita telah menganggap Allah sudah salah memberikan dosis pencobaan kepada kita.

Rahasia memenangkan pencobaan (ayat 2-10)

Kedaulatan Allah atas pencobaan tidak boleh dijadikan alasan untuk bersikap sembarangan. Allah yang berdaulat juga telah menetapkan dan mengajarkan rahasia memenangkan pencobaan. Tugas kita adalah mengikuti setiap petunjuk-Nya.

Apa saja rahasia kemenangan atas pencobaan? Tiga teks kitab suci yang dikutip oleh Yesus sekaligus menjelaskan tiga rahasia kemenangan-Nya atas pencobaan.

Pertama, menyandarkan diri pada Allah (4:3-4). Dalam pencobaan yang pertama ini Yesus sebenarnya memiliki segala alasan untuk mengikuti perkataan Iblis. Dia sedang dalam keadaan lapar yang luar biasa. Puasa yang dilakukan juga sudah berakhir. Dia sendiri memiliki kuasa untuk mengubah batu menjadi roti. Siapa yang akan berkeberatan apabila Ia menggunakan kuasa-Nya untuk memenuhi kebutuhan-Nya?

Iblis bahkan sangat menyadari poin yang terakhir ini. Ucapan “jika Engkau Anak Allah” (4:3, 6) sebenarnya lebih tepat dipahami “karena Engkau Anak Allah” (bdk. 3:17; 8:29). Iblis tidak meragukan status tersebut. Ia justru sedang menggoda Yesus untuk menggunakan kuasa-Nya sebagai Anak Allah.

Jawaban Yesus Kristus benar-benar di luar dugaan Iblis maupun kita semua.

Memiliki kuasa bukan berarti berkuasa menggunakan kuasa itu semau-Nya sendiri. Ada yang lebih penting daripada kuasa, yaitu penyerahan diri pada Allah. Menunggu pertolongan Allah seperti seorang yang tidak berdaya adalah jauh lebih baik daripada menggunakan kekuatan dan kekuasaan sendiri secara keliru.

Kelaparan bukanlah alasan untuk makan seenak dan sepuasnya. Ada yang lebih penting daripada makanan, yaitu firman TUHAN. Di tengah padang gurun yang sunyi dan kelaparan yang begitu melilit perut, secara manusiawi tidak ada yang lebih penting kecuali makanan. Deposito, berlian, maupun pakaian mewah pun seakan-akan tidak bernilai di tengah situasi semacam ini. Menariknya, Yesus tetap memposisikan firman Tuhan di atas makanan (Mat 4:4//Ul 8:3).

Apakah kita sudah menemparkan firman Allah sebagai hal terpenting dalam hidup kita? Bahkan lebih penting daripada hal yang paling kita butuhkan sekalipun?

Kedua, tidak mencobai Allah (4:5-7). Yang ditawarkan Iblis di pencobaan ke-2 ini adalah demonstrasi mujizat yang spektakuler. Menjatuhkan diri dari bubungan bait Allah sendiri sudah cukup memberikan tontotan keberanian yang hebat. Ditangkap oleh para malaikat sebelum kaki menyentuh tanah akan menjadi pertunjukan yang lebih hebat lagi. Bukankah skenario seperti itu juga akan menunjukkan kuasa Allah dan pemeliharaan-Nya yang sempurna bagi Yesus?    

Pencobaan yang menggiurkan ini sekarang dibarengi dengan segala kelicikan dan kepintaran Iblis. Tidak seperti sebelumnya, kali ini ia mengutip firman Tuhan (dari Mazmur 91:11-12). Ia tahu bahwa Yesus bersandar pada perkataan Allah. Iblis juga tidak sedikit pun meragukan teks yang sedang ia kutip. Lebih jauh, situasi pencobaan ini adalah di kota kudus dan di bait kudus. Ada Anak Allah, ada firman Allah, ada kota Allah, dan ada rumah Allah. Apa lagi yang masih kurang? Tidak mungkin tidak, Allah pasti akan menopang Yesus apabila Ia menjatuhkan diri-Nya dari bubungan bait Allah. Tawaran yang menggiurkan dan meyakinkan!

Jawaban Yesus Kristus sekali lagi mengagetkan Iblis dan kita semua.

Dengan tetap mengutip tulisan Musa (Ul 6:16), Ia menolak untuk mencobai Allah. Sesuai dengan konteksnya, larangan untuk mencobai TUHAN berkaitan dengan kisah bangsa Israel kekurangan air di Masa. Mereka mencobai TUHAN dan meragukan kehadiran-Nya di tengah-tengah mereka (Kel 17:2, 7). Mereka memaksa TUHAN untuk menolong mereka secara ajaib. Dari sini dapat disimpulkan bahwa mencobai TUHAN berarti meragukan pertolongan TUHAN dengan cara memaksa dan memanipulasi Dia untuk menunjukkan kuasa-Nya.

Yesus dicobai Iblis untuk mencobai Allah. Seandainya Yesus benar-benar terjun dari bubungan bait Allah untuk membuktikan janji ilahi di Mazmur 91:11-12, maka Ia telah meragukan janji itu (Ia masih memerlukan bukti bagi iman-Nya) dan memanipulasi Allah untuk mengikuti kemauan-Nya sendiri (Allah ditempatkan pada situasi “harus menolong secara ajaib”). Terhadap pencobaan ini, Yesus menolak tegas. Janji Allah bukan untuk diuji, melainkan untuk dipercayai. Janji Allah bukan alat untuk mengontrol Dia.

Sudahkah kita mempercayai janji Allah sepenuhnya? Ataukah kita hanya mau percaya sesudah Allah merealisasikan janji itu?

Ketiga, memberi penyembahan yang tunggal kepada Allah (4:8-10). Cobaan yang ke-3 ini memiliki cakupan yang sangat luas, yaitu seluruh dunia. Yang ditawarkan adalah kekuasaan dan keindahan dunia.

Sebagian orang menganggap perkataan Iblis ini sebagai dusta, karena Iblis tidak berkuasa atas dunia. Dunia adalah milik Allah. Iblis adalah bapa segala dusta (Yoh 8:44). Ia sedang menawarkan kebohongan kepada Yesus.

Dugaan di atas tampaknya kurang beralasan. Di pencobaan ke-1 dan ke-2 Iblis terlihat bersungguh-sungguh (Yesus memang mampu mengubah batu menjadi roti, Allah pasti akan mengirim malaikat untuk menopang Yesus). Seandainya ia sekadar berbohong, mengapa Yesus tidak langsung membongkar kebohongan itu? Mengapa jawaban Yesus tidak berkaitan dengan kebohongan Iblis?

Kita sebaiknya memahami bahwa inti godaan yang ke-3 sebagai kekuasaan secara negatif atas dunia. Alkitab beberapa kali dan secara jelas menyebut Iblis sebagai “penguasa dunia ini” (Yoh 12:31), “penguasa kerajaan angkasa” (Ef 2:2) atau “ilah zaman ini” (2 Kor 4:4). Yohanes secara gamblang menyatakan bahwa – di luar orang-orang yang berasal dari Allah – “seluruh dunia berada di bawah kuasa si jahat” (1 Yoh 5:19). Kekuasaan semacam inilah yang sedang ditawarkan oleh Iblis kepada Yesus.

Godaan ini sangat menarik. Sejak awal Matius memang sudah menampilkan Yesus sebagai raja. Ia lahir dari keturunan Daud, raja Israel yang paling terkemuka (Mat 1:1-17). Para majus pun menyadari dan mengakui status Yesus sebagai raja (2:2, 5-6). Ia adalah Anak Allah yang mulia (3:17, bdk. ayat 11, 14).

Walaupun demikian, Yesus tidak mau asal menjadi raja. Jalur yang Ia tempuh adalah loyalitas tunggal pada Allah, bukan jalan pintas menuju kebesaran. Pada akhir proses loyalitas yang sudah teruji ini, Yesus dapat berkata: “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi” (28:18). Ia bukan hanya mendapatkan kuasa atas bumi, tetapi juga surga. Bukan hanya kuasa di bumi seperti versi Iblis (secara negatif), tetapi kuasa di bumi versi Allah (secara positif).

Adakah kekuasaan, kenikmatan, dan keindahan duniawi telah merampas Allah dari tahta-Nya dalam hati kita? Relakah kita menjalani proses loyalitas kepada Allah demi keagungan yang sejati? Soli Deo Gloria.

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community