Dia Akan Disebut “Orang Nazaret” (Matius 2:19-23)

Posted on 23/12/2018 | In Teaching | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/images/article/dia-akan-disebut-orang-nazaret-matius-2-19-23.jpg Dia Akan Disebut “Orang Nazaret” (Matius 2:19-23)

Seandainya kita bisa memilih sebutan untuk diri sendiri, sebutan seperti apa yang akan kita kenakan pada diri kita? Sebutan yang positif atau negatif? Yang menunjukkan kebesaran atau kehinaan?

Dunia menawarkan sebuah semangat jaman yang mengagungkan kehebatan. Gelar. Prestasi. Jabatan. Banyak orang berlomba untuk menjadi yang terkenal dan terdepan.

Natal membawa semangat yang berbeda. Yang ditekankan bukan kehebatan orang, melainkan realisasi rencana Tuhan. Mengikuti rencana-Nya jauh lebih bermakna daripada mengejar nama. Bahkan demi rencana-Nya kita kadangkala harus kehilangan nama.

Itulah yang dilakukan oleh Yesus Kristus. Dia rela dianggap hina supaya rencana Allah digenapi di dalam kita. Dia dianggap hina supaya kita bisa menjadi anak-anak Bapa.

 

Hidup sesuai rencana Allah

Apa yang kita temukan dalam teks hari ini dalam taraf tertentu sebenarnya merupakan pengulangan teologis dari teks-teks sebelumnya. Ada banyak kemiripan pola dalam perikop-perikop di Matius 1-2. Semuanya mengarah pada satu kesimpulan: kehidupan Yesus Kristus sejak awal sudah menggenapi rencana Allah bagi orang berdosa. Baik kehamilan Maria, ibu-Nya (1:18-25), kelahiran-Nya di Betlehem (2:1-12), pelarian-Nya ke Mesir (2:14-15) maupun konsekuensi dari pelarian itu (2:16-18) semuanya merupakan penggenapan dari rencana Allah.

Poin teologis yang sama dapat ditemukan di 2:19-23. Matius juga menggunakan cara-cara yang sama untuk mengungkapkan poin tersebut.

Pertama, pimpinan ilahi yang spesifik (ayat 19, 22). Kisah-kisah Natal dalam Alkitab diwarnai dengan intervensi ilahi melalui para malaikat. Begitu pula yang kita temukan dalam teks ini. Allah berbicara kepada Yusuf dalam sebuah mimpi melalui malaikat Tuhan (2:19). Walaupun kata “malaikat” tidak muncul di ayat 22, tetapi kita dapat menebak dengan aman bahwa mimpi di ayat ini juga melibatkan malaikat (bdk. 1:20; 2:12-13).

Melalui pimpinan secara supranatural ini Allah ingin memastikan bahwa rencana akan digenapi dengan sempurna. Tidak ada yang dapat menggagalkan atau membelokkan rencana-Nya. Kesalehan Yusuf yang ingin menceraikan Maria dibatalkan (1:19-20). Kelicikan Herodes dibongkar (2:12). Upaya pembunuhan terhadap bayi Yesus dibengkokkan (2:13-15). Kini masa kecil Yesus Kristus – di mana Dia akan menghabiskan masa kecil dan remaja-Nya – juga diarahkan sedemikian rupa oleh Allah melalui malaikat (2:19-23).

Dalam kasus-kasus yang spesifik Allah memang kadangkala melakukan intervensi secara supranatural. Semua dilakukan untuk memastikan bahwa rencana-Nya akan dimengerti dan dieksekusi. Walaupun ini bukan cara kerja Allah yang umum dalam kehidupan kita, tetapi Dia bisa dan akan melakukan hal itu jika dipandang perlu. Di satu sisi, kita perlu membuka diri jika hal itu terjadi. Di sisi lain, kita harus berhati-hati dalam menguji suatu “pimpinan ilahi”. Iblis atau suara hati kita sendiri bisa menipu dan membawa kita semakin menjauhi rencana Allah.

Kedua, penggenapan nubuat Perjanjian Lama (ayat 23). Petunjuk tentang penggenapan kitab suci dalam teks ini sebenarnya cukup beragam. Yang paling eksplisit memang pemunculan formula pengutipan: “Hal itu terjadi supaya genaplah” (2:23). Frasa ini muncul beberapa kali dalam Injil Matius (bdk. 1:22; 2:15). Apa yang Allah sudah nyatakan secara gamblang melalui para nabi pasti akan Dia genapi. Dia tidak pernah berdusta. Dia tidak pernah lupa.

Petunjuk lain adalah melalui tipologi Musa – Yesus. Maksudnya, apa yang terjadi pada Musa sangat mirip dengan apa yang terjadi dengan Yesus. Dengan demikian Yesus ditampilkan sebagai “Musa yang baru”. Misalnya, kedua tokoh ini sama-sama terancam pembunuhan oleh penguasa (Musa oleh Firaun, Yesus oleh Herodes). Penyelamatan mereka dari kematian sama-sama melibatkan Mesir (Musa dibawa ke istana Firaun, Yesus dilarikan ke Mesir). Keduanya sama-sama sempat menjadi orang asing (Musa di Mesir dan Midian, Yesus di Mesir). Keduanya juga sama-sama dipanggil oleh Allah untuk kembali sesudah penguasa yang ingin membunuh mereka telah mati (Kel. 4:19 “"Kembalilah ke Mesir, sebab semua orang yang ingin mencabut nyawamu telah mati.”; Mat. 2:20 “Bangunlah, ambillah Anak itu serta ibu-Nya dan berangkatlah ke tanah Israel, karena mereka yang hendak membunuh Anak itu, sudah mati”).

Studi tipologi menunjukkan bahwa Allah kreatif, setia, dan konsisten. Kreatif, karena Dia menggunakan benda, orang, atau peristiwa tertentu di Perjanjian Lama sebagai simbol atau petunjuk ke masa depan. Setia, karena apa yang Dia sudah siratkan melalui tipologi pasti akan digenapi. Konsisten, karena menunjukkan bahwa Allah yang dulu bekerja dalam suatu peristiwa adalah Allah yang sama yang bekerja di kemudian hari.

 

Pimpinan ilahi dan akal budi Kristiani

Jika kita hanya membaca teks hari ini secara sekilas, kita mungkin akan mendapatkan kesan yang keliru. Kita mungkin akan berpikir bahwa memahami dan mengikuti rencana Allah merupakan hal yang mudah. Kesan seperti ini jelas keliru. Memahami dan mengikuti rencana Allah membutuhkan proses yang tidak gampang dan seringkali membingungkan. Sebagai contoh, para majus sempat bingung karena tidak lagi melihat bintang Natal, karena itu mereka terpaksa menanyakan ke Herodes (2:2, 9).

Ketika pimpinan Allah tidak terlalu jelas, kita harus mengoptimalkan akal budi kita. Allah juga bekerja melalui pikiran kita. Roma 12:2 bahkan mengajarkan bahwa pembaruan akal budi merupakan cara untuk memahami kehendak Allah. Jadi, tidak ada pertentangan antara pimpinan Tuhan dan pikiran manusia, selama pikiran itu dibarui terus-menerus oleh Roh Kudus.

Itulah yang dilakukan oleh Yusuf di 2:19-23. Malaikat Tuhan hanya memerintahkan Yusuf untuk kembali ke tanah Israel (ayat 19). Sebutan “tanah Israel” bisa merujuk pada tempat manapun di propinsi Galilea maupun Yudea. Yusuf sendiri pada awalnya langsung memikirkan Yudea. Dia mungkin ingin kembali ke Betlehem. Rencana ini terpaksa diubah, sebab Yusuf mendengar bahwa Arkhelaus, salah seorang anak Herodes Agung, telah diangkat menjadi raja di Yudea. Menurut catatan Falvius Josephus, penulis sejarah Yahudi di abad ke-1 Masehi, ada sekitar 3000 pengunjung Hari Raya Paskah yang dibunuh oleh Arkhelaus pada masa awal pemerintahannya. Kemelut politik dan kebengisan Arkhelaus sudah cukup menjadi alasan bagi Yusuf untuk membatalkan tujuan perjalanannya ke propinsi Yudea. Ini adalah pemikiran yang bijaksana. Pimpinan Allah tidak mengabaikan akal budi. Roma 12:2 bahkan mengajarkan: “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan (akal) budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna”.

Penalaran Yusuf hanya cukup untuk membatalkan tujuan awal. Namun, dia tidak tahu ke mana kakinya harus melangkah. Pada saat seperti inilah Allah memberikan petunjuk lain yang lebih spesifik (2:22-23a). Dia memerintahkan Yusuf untuk pergi ke propinsi Galilea (2:22). Persoalannya, ada banyak kota di propinsi ini. Kota mana yang harus dituju?

Yusuf pun memutuskan untuk tinggal di Nazaret. Apakah keputusan ini sembarangan? Tidak juga. Dia dan Maria pernah tinggal di sana (Luk. 1:26; 2:4). Wajar kalau akhirnya mereka kembali ke sana pula. Ternyata, dalam kedaulatan ilahi, keputusan ini justru merealisasikan sebuah rencana Allah. Mesias memang akan disebut “orang Nazaret”.

Banyak penafsir sudah mengusulkan teks-teks tertentu dalam Perjanjian Lama sebagai nubuat di balik penggenapan ini. Ada yang mengusulkan Yesaya 11:1 (“Suatu tunas akan keluar dari tunggul Isai, dan taruk yang akan tumbuh dari pangkalnya akan berbuah”), karena kata Yunani Nazōraios memiliki kemiripan bunyi dengan kata Ibrani nēşer yang berarti “taruk”. Ada pula yang mengaitkan nazōraios dengan nāzîr (Hak. 13:5, 7; 16:17). Masih ada beragam teori lain untuk menjelaskan “orang Nazaret”.

Di antara semua opsi yang ada, kita sebaiknya tidak mengaitkan penggenapan ini dengan teks tertentu dalam Perjanjian Lama. Kata “Nazaret” tidak pernah muncul sama sekali dalam Perjanjian Lama, apalagi frasa panjang “Dia akan disebut orang: ‘Orang Nazaret’”. Matius sendiri secara jelas smenggunakan bentuk jamak “para nabi” di 2:23 (dia tōn prophētōn). Dia tidak sedang memikirkan nabi tertentu. Dia juga menambahkan kata sambung hoti (“bahwa”), yang menyirtakan bahwa bagian itu bukanlah sebuah kutipan langsung. Matius sedang merangkum sebuah ide mesianis yang berasal dari tulisan beberapa nabi. Ide itu berkaitan dengan sebutan “orang Nazaret”.

Sebutan ini sebaiknya dihubungkan dengan kehinaan kota Nazaret. Kota ini terletak di propinsi Galilea. Penduduknya pada waktu itu tidak lebih dari 500 jiwa. Letaknya di area pegunungan Galilea dan dikelilingi oleh kota-kota bergaya Yunani. Kota ini tidak terpandang sama sekali, bahkan dipandang agak negatif. Sebagai contoh, Natanael sempat berkata: “Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?” (Yoh. 1:46).

Sama seperti kota Nazaret, demikian pula dengan Mesias. Beberapa nabi menubuatkan bahwa Mesias akan terlihat hina dan tidak dianggap oleh orang lain, bahkan ditolak dan dibunuh. Zakaria berbicara tentang Mesias sebagai gembala yang tidak diterima oleh domba-dombanya sendiri (11:4-14), bahkan ditikam oleh penduduk Yerusalem (12:10) maupun pedang Allah (13:7). Yesaya menubuatkan kedatangan seorang Mesias yang menderita (52:13-53:12). Dia akan ditolah dan dihina banyak orang.

Jadi, memahami dan mengikuti rencana Allah memang tidak mudah. Ini membutuhkan pergumulan intelektual. Kadangkala bahkan memerlukan intervensi ilahi secara spesifik. Ketika rencana itu sudah diketahui, prosesnya masih tidak mudah. Rencana Allah kadangkala membawa kita pada kehinaan untuk sementara waktu. Siapkan kita ditolak oleh banyak orang demi penggenapan rencana Allah dalam hidup kita? Soli Deo Gloria.

 

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community