Bukan Sekadar Ajaran (Filipi 4:9)

Posted on 25/02/2018 | In Teaching | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/images/article/Bukan-Sekadar-Ajaran-Filipi-4-9.jpg Bukan Sekadar Ajaran (Filipi 4:9)

Tidak setiap keluarga mementingkan pendidikan rohani bagi anak-anak. Bagi yang mementingkannya pun, belum tentu mereka melakukan dengan benar. Pola pendidikan yang ada tidak bersifat utuh. Yang ditekankan hanya aspek tertentu saja, sehingga terjebak pada sebuah ekstrim.

Mungkin ada yang terlalu berfokus pada aspek verbal. Pendidikan rohani dipenuhi dengan berbagai ajaran dan aturan, sehingga terkesan kering. Tidak jarang, legalisme tercipta dalam keluarga-keluarga yang demikian.

Ada pula yang sekadar menerapkan kebiasaan etis yang baik. Semua etika dan prinsip moralitas ditunjukkan secara konkrit. Anak-anak belajar dari apa yang biasa dilakukan di dalam rumah. Pendekatan seperti ini, jika tidak diimbangi dengan pengajaran doktrin yang solid, hanya akan menghasilkan moralitas humanis. Tidak beda dengan moralitas di agama-agama lain atau norma umum di masyarakat.

Teks hari ini berbicara tentang pola pembinaan rohani yang dilakukan oleh Paulus kepada anak rohaninya yang bernama Timotius. Apa yang Paulus sampaikan di sini memberikan landasan yang teguh bagi pendidikan rohani yang utuh (ayat 9a-c). Jika kebenaran ini diperhatikan dan diterapkan, niscaya akan ada damai sejahtera ilahi dalam keluarga (ayat 9c).

Pendidikan rohani yang utuh (ayat 9a)

Ada beberapa poin penting tentang pendidikan rohani yang bisa dipetik dari bagian ini. Yang terutama, pendidikan rohani harus melibatkan pengajaran injil, bukan sekadar moralitas secara umum. Paulus sengaja membedakan antara ayat 8 dan 9. Kata “apa” (ha) di awal ayat ini berbeda dengan “semua yang” (hosa) di ayat 8. Kalau ayat 8 lebih banyak menyinggung tentang prinsip moralitas yang umum (lihat eksposisi khotbah sebelumnya), ayat 9 lebih mengarah pada apa yang Timotius pelajari dan terima dari Paulus.

Apa yang diteruskan oleh Paulus dan diterima oleh Timotius? Untuk memahami jawabannya, kita perlu memperhatikan istilah “menerima” di ayat ini. Kata kerja “menerima” (paralambanō) di sini merupakan istilah baku yang digunakan dalam rantai transmisi sebuah tradisi atau ajaran. Generasi A meneruskan (paradidōmi) sebuah tradisi, generasi B menerimanya (paralambanō). Demikian proses ini berulang pada generasi-generasi selanjutnya.

Bagian lain dari surat-surat Paulus mengarahkan kita pada injil Yesus Kristus. Di 1 Korintus 15:1 dia menulis: “Dan sekarang, saudara-saudara, aku mau mengingatkan kamu kepada Injil yang aku beritakan kepadamu dan yang kamu terima, dan yang di dalamnya kamu teguh berdiri”. Beberapa ayat selanjutnya berbunyi: “Sebab yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri, ialah bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci, bahwa Ia telah dikuburkan, dan bahwa Ia telah dibangkitkan, pada hari yang ketiga, sesuai dengan Kitab Suci” (1Kor. 15:3-4)

Jadi, Paulus tidak mau berhenti pada ajaran etika secara umum atau sekadar norma masyarakat (ayat 8). Hal itu tidak akan meletakkan pondasi yang kokoh. Hanya injil yang mampu mengubah seseorang secara radikal (dari kata radix = akar). Tanpa injil, perubahan yang ada hanya bersifat superfisial dan kultural.

Penggunaan istilah paralambanō sekaligus menyiratkan bahwa Paulus berharap Timotius bukan hanya menjadi pengikut setia. Dia ingin agar anak rohaninya ini pada akhirnya juga meneruskan ajaran yang sama ke orang lain. Dengan kata lain, dia memuridkan Timotius supaya Timotius juga bisa memuridkan orang lain. Ada rantai tradisi. Ada rantai pendidikan rohani.

Apakah kita berpuas diri karena anak-anak kita baik? Apakah kita tidak ingin mengharapkan mereka bisa menjadi mentor bagi orang lain?

Poin kedua yang kita pelajari adalah pendidikan rohani mencakup keteladanan seluruh aspek kehidupan (ayat 9b). Ungkapan berikutnya yang digunakan Paulus di bagian ini adalah “apa yang kamu dengar dan lihat padaku”. Penambahan frasa “padaku” (en emoi) di ujung bagian ini tampaknya disengaja untuk menunjukkan perbedaan antara “apa yang kamu pelajari dan terima” dengan “apa yang kamu dengar dan lihat”. Yang pertama lebih mengarah pada berita injil. Yang kedua pada penerapan nilai-nilai injil dalam kehidupan Paulus. Yang pertama lebih objektif (isi injil), sedangkan yang kedua lebih subjektif (aplikasi dalam diri Paulus).

Paulus tidak ragu-ragu untuk menempatkan dirinya di tengah lampu sorot. Dia bersikap terbuka dan apa adanya. Apa yang mereka dengar (perkataan) dan apa yang mereka lihat (tindakan) dari Paulus, itulah yang menjadi salah satu materi penting dalam pendidikan rohani. Maksudnya, Paulus menjadikan keteladan hidupnya sebagai bagian integral dari proses pembelajaran rohani. Di tempat lain dia berkata kepada Timotius: “Tetapi engkau telah mengikuti ajaranku, cara hidupku, pendirianku, imanku, kesabaranku, kasihku dan ketekunanku” (2Tim. 3:10). Hal yang sama juga dia ucapkan kepada jemaat di Korintus: “Jadilah pengikutku, sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus” (1Kor. 11:1).

Poin terakhir, pendidikan rohani mencakup praktik hidup yang konkrit (ayat 9c). Paulus menutup nasihat di ayat 9 dengan “lakukanlah itu”. Mengetahui kebenaran memang baik, tetapi belum memadai. Penyampaian firman Tuhan seyogyanya berakhir pada perubahan kehidupan, bukan pemuasan intelektual. Kebenaran yang hanya berhenti di otak seringkali justru menghasilkan kehidupan yang tidak benar. Kesombongan intelektual dan kecenderungan menghakimi orang lain menjadi jebakan yang sulit dihindari.

Kata penunjuk “itu” dalam teks Yunani berbentuk jamak (tauta). Artinya, kata “itu” merujuk pada berita injil maupun keteladanan hidup Paulus. Semua ini perlu kita lakukan.     

Bentuk kata kerja yang digunakan (imperatif resent prassete) menyiratkan tindakan yang terus-menerus. Bukan hanya jika memungkinkan atau menguntungkan. Kebenaran sederhana ini perlu digarisbawahi. Tidak mudah untuk menghidupi injil (ayat 9a). Sangat sukar meneladani kehidupan seorang yang besar (ayat 9b). Sesulit apapun, kita tetap didorong untuk terus-menerus berusaha dan melakukannya secara konsisten (ayat 9c).

Hasil pendidikan rohani yang utuh (ayat 9d)

Tuntutan yang besar di ayat 9a-c diimbangi dengan konsekuensi yang besar pula di ayat 9d. Semua orang yang mau memperhatikan dan melakukan kebenaran akan mendapatkan damai sejahtera. Hasil yang sangat sepadan!

Pemunculan ide tentang “damai sejahtera” di bagian ini cukup menarik. Sebelumnya Paulus sudah menyinggung tentang kehidupan yang bebas dari kekuatiran (ayat 6a). Lalu dia berbicara tentang damai sejahtera Allah yang akan menguasai hati dan pikiran mereka (ayat 7). Jadi, bukan hanya bebas kekuatiran, tetapi diliputi oleh damai sejahtera.

Ternyata diliputi kedamaian saja tidaklah cukup. Allah tidak hanya memberikan damai sejahtera. Dia memberikan diri-Nya sendiri. Dalam teks Yunani, bagian terakhir ayat 9 secara hurufiah berbunyi: “Maka Allah kedamaian akan bersama (estai) kalian”. Tidak masalah apakah “Allah kedamaian” (ho theos tēs eirēnēs) dipahami “Allah sebagai sumber kedamaian” atau “Allah yang penuh kedamaian”, maknanya tidak berubah banyak. Allah sendiri akan berada bersama jemaat Filipi. Di manapun Dia ada, di situ ada damai sejahtera.

Bagi para orang tua yang mempedulikan pendidikan rohani anak-anak dengan sungguh-sungguh, janji ini jelas sangat melegakan. Kita tidak perlu merasa kuatir tentang anak-anak kita, walaupun mereka berada jauh dari kita. Teks ini mengingatkan kita untuk mengamini penyertaan Allah bagi anak-anak kita. Di manapun mereka berada, Allah juga ada di sana. Mereka akan baik-baik saja. Kita pun akan merasa damai sejahtera.

Sebaliknya, bagi orang tua yang kurang menekankan pendidikan rohani anak-anak, khotbah hari ini merupakan teguran dan peringatan. Anak-anak yang kehidupannya tidak didirikan di atas pondasi injil, yang tidak mendapatkan keteladanan hidup, dan yang tidak diajar melakukan kebenaran, pasti akan membawa banyak kekuatiran bagi orang tua. Tidak ada yang mengontrol hati, pikiran, perkataan, dan tindakan mereka. Mereka berjuang sendirian.

Apakah kita mau meresikokan anak-anak kita seperti itu? Apakah kita mau hidup dalam kekuatiran terus-menerus? Bukankah kita rindu supaya anak-anak kita menjadi pengikut Kristus yang setia? Bukankah kita mendambakan mereka bisa menjadi mentor bagi orang lain? Marilah kita memulai pendidikan rohani yang utuh di rumah kita. Soli Deo Gloria.

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community