Dalam pembahasan sebelumnya kita sudah melihat bahwa karunia-karunia rohani bukanlah yang terutama, karena semua itu bersifat sementara dan tidak sempurna. Apa yang terus-menerus ada lebih bernilai daripada yang sementara. Apa yang sempurna lebih berharga daripada yang hanya sebagian.
Di ayat 11-12 Paulus melanjutkan pembahasannya dengan cara memaparkan dua macam ilustrasi. Yang pertama berhubungan dengan transisi dari masa kanak-kanak ke fase dewasa (ayat 11). Yang kedua tentang pengamatan sesuatu melalui cermin (ayat 13). Walaupun menerangkan inti yang sama – yaitu keutamaan kesempurnaan – tetapi dua ilustrasi ini mengandung penekanan yang berlainan.
Sebelum lebih jauh meneliti dua ilustrasi ini, ada baiknya kita memahami sedikit tentang cara menafsirkan sebuah majas (gaya bahasa) figurasi. Kekurangpahaman tentang hal ini telah menyebabkan beberapa penafsir melewatkan maksud Paulus dalam dua ilustrasi di ayat 11-12. Yang paling penting, ungkapan figuratif tidak boleh ditafsirkan secara mendetil, seolah-olah tiap bagian dari figurasi itu memiliki arti. Sebuah figurasi seringkali hanya menyampaikan satu makna utama. Berikutnya, poin utama yang diekspresikan dalam sebuah figurasi ditentukan oleh konteks pembicaraan. Sebuah figurasi bisa ditafsirkan secara beragam, jika figurasi itu muncul tanpa konteks. Di dalam sebuah konteks, figurasi hanya boleh dipahami secara tertentu.
Ilustrasi 1: transisi masa kanak-kanak ke fase dewasa (ayat 11)
Paulus beberapa kali menggunakan transisi hidup sebagai ilustrasi. Di Galatia 4:1-7 ia menggambarkan perbedaan situasi yang dialami seorang anak pada masa kanak-kanak dan masa akil balig. Walaupun orang itu adalah anak orang yang kaya raya, namun selama ia belum dewasa ia harus tunduk pada pengawasan orang lain. Pada periode ini ia tidak jauh berbeda dengan seorang hamba yang tidak memiliki hak apa pun di dalam rumah tuannya. Baru sesudah memasuki masa akil balig, orang itu benar-benar menikmati statusnya sebagai anak dan ahli waris.
Di 1 Korintus 13:11 Paulus memakai ilustrasi yang mirip, namun dengan maksud yang berbeda. Fokus pembahasan Paulus terletak pada perubahan tingkah laku. Seorang yang dewasa pasti berkata-kata, merasa, dan berpikir secara berbeda dengan seorang anak kecil.
Sebagian penafsir mencoba memandang ilustrasi sebagai sebuah isyarat negatif terhadap karunia bahasa roh. Mereka menganggap jemaat Korintus masih kanak-kanak secara rohani. Mereka meyakini bahwa bahasa roh hanyalah bagi mereka yang kerohaniannya masih kanak-kanak. Apabila seorang Kristen sudah semakin dewasa, ia sepatutnya tidak berbahasa roh lagi. Jadi, transisi dalam ilustrasi ini dipahami sebagai transisi dari kerohanian yang kanak-kanak ke kerohanian yang dewasa.
Penafsiran semacam ini tidak tepat. Poin analogi yang ditarik tidak selaras dengan konteks pembicaraan. Pandangan ini terlalu tendensius terhadap teologi yang berseberangan.
Kita perlu menggarisbawahi bahwa transisi yang dimaksud Paulus adalah antara kesementaraan hidup di dunia dan kekekalan di surga. Paulus sedang membicarakan tentang kedatangan sesuatu yang sempurna dan kekal (ayat 10). Sebagaimana kita sudah pelajari bersama, ini mengarah pada kekekalan di surga. Menafsirkan transisi ke arah kanak-kanak rohani ke dewasa rohani tidak sesuai dengan maksud Paulus.
Lebih jauh, ilustrasi di ayat 11-12 tidak hanya berhubungan dengan karunia bahasa roh. Sejak ayat 8 Paulus menyinggung tentang nubuat, pengetahuan, dan bahasa roh. Beberapa penafsir bahkan menduga penggunan tiga kata kerja “berkata-kata, merasa, dan berpikir” (secara hurufiah “berkata-kata, berpikir, dan menalar”) di ayat 11 mungkin berkaitan dengan tiga karunia yang sedang dibicarakan (berkata-kata = bahasa roh, berpikir = nubuat (mengetahui pikiran Allah), menalar = pengetahuan). Terlepas dari apakah tiga kata kerja ini memang benar-benar merujuk pada tiga karunia yang ada, kita tetap perlu menandaskan bahwa ilustrasi yang digunakan Paulus sama-sama berlaku untuk karunia bahasa roh, nubuat, dan pengetahuan. Jika bahasa roh dianggap hanya berlaku untuk orang-orang Kristen yang masih kanak-kanak secara rohani, maka prinsip yang sama seharusnya diterapkan pada mereka yang memiliki karunia nubuat dan pengetahuan. Apakah mereka yang anti terhadap bahasa roh berani menafsirkan secara konsisten seperti ini? Sulit dibayangkan apabila mereka menganggap orang-orang yang dikaruniai nubuat dan pengetahuan sebagai orang-orang Kristen yang kanak-kanak.
Penjelasan ini tidak berarti bahwa jemaat Korintus sudah dewasa. Mereka memang tidak dewasa, sebagaimana dinyatakan Paulus di 3:1-13. Bagaimanapun, bukan hal itu yang sedang dibahas Paulus di 13:11.
Poin yang coba diajarkan adalah kepantasan sesuatu pada tahap usia atau masa tertentu. Beberapa perilaku akan sesuai dan bernilai positif jika dilakukan di masa tertentu, tetapi akan terkesan berlebihan dan aneh jika dilakukan di masa yang berbeda. Dalam kalimat yang sederhana, ada perbedaan besar antara kanak-kanak (memang untuk anak-anak) dan kekanak-kanakan (untuk orang dewasa yang berperilaku seperti anak-anak). Berbagai karunia rohani hanya sesuai dan bermanfaat untuk masa sekarang di dunia ini. Pada saat orang-orang percaya sudah berada di surga, semua itu tidak diperlukan lagi. Itulah maksud Paulus.
Ilustrasi 2: melihat secara langsung dan melalui cermin (ayat 12)
Bahasa figuratif yang menggunakan cermin bisa mengandung banyak arti. Pemunculan kata “cermin” secara figuratif dalam berbagai tulisan kuno menunjukkan bahwa cermin bisa berarti sesuatu yang sangat jelas. Philo dan para rabi Yahudi beberapa kali menggunakan cermin sebagai kiasan untuk pengetahuan ilahi yang transparan. Cermin dianggap sebagai refleksi sempurna dari yang asli. Kata “cermin” secara figuratif juga kadangkala dipergunakan untuk sarana melihat diri sendiri (introspeksi diri). Dengan melihat cermin seseorang dapat mengamati kekurangan dalam dirinya. Metafora cermin juga bisa merujuk pada penglihatan yang tidak secara langsung. Tidak peduli sebening apa pun sebuah cermin, benda yang dipantulkan tetap bukan sesuatu yang asli.
Dari tiga alternatif di atas, yang terakhir terlihat paling cocok dengan konteks 1 Korintus 13:12. Paulus menambahkan “gambaran yang samar-samar”. Ia lalu mengontraskan dengan pertemuan secara langsung (muka dengan muka). Seolah tidak ingin memberi celah sekecil apapun untuk kesalahpahaman, Paulus menerangkan pengetahuan parsial yang kita miliki sekarang dengan pengetahuan lengkap di surga.
Pada saat ia memakai metafora cermin seperti ini, Paulus kemungkinan besar sedang memikirkan keistimewaan Musa sebagai nabi Allah. Dalam Bilangan 12:6-8 TUHAN membandingkan Musa dengan nabi-nabi yang lain. Kepada para nabi Allah menyatakan diri melalui penglihatan dan mimpi. Kepada Musa Ia menampakkan diri secara langsung: muka dengan muka, secara terus-terang, bukan dengan teka-teki. Dalam terjemahan Septuaginta (LXX) kata “teka-teki” menggunakan kata ainigma (bdk. juga 1 Raj 10:1; 2 Taw 9:1; Ams 1:6). Kata yang sama muncul di 1 Korintus 13:12 “gambaran yang samar-samar” (en ainigmati). Keistimewaan Musa inilah yang juga akan dinikmati oleh semua orang percaya. Kita akan memandang wajah Allah muka dengan muka.
Apakah ungkapan ini menunjukkan bahwa di surga nanti kita akan mengenal Allah secara sepenuhnya? Apakah ini mengajarkan bahwa kita akan menjadi mahatahu? Tampaknya bukan demikian. Walaupun Musa mendapat perlakuan istimewa dari Allah, di tempat lain Alkitab menyatakan bahwa tidak ada seorang pun yang pernah melihat Allah (Yoh 1:18; 1 Yoh 4:12). Hanya Yesus Kristus, Anak Allah, yang melihat Allah dengan cara yang unik dan seutuhnya.
Secara teologis kita juga tidak mungkin mampu memahami Allah sepenuhnya. Kita adalah ciptaan. Kita tidak mahatahu. Bahkan sampai di surga pun kita tetap akan menjadi ciptaan. Kita tidak berubah menjadi Allah.
Secara filosofis kita juga tidak bisa menelusuri seluruh keberadaan Allah. Pengetahuan kita di surga memang akan berkembang. Bahkan jika kita membayangkan pengetahuan itu nanti akan terus bertambah setiap hari tanpa berhenti, kita tetap tidak akan bisa memahami Allah. Mengapa? Karena Allah sendiri tidak memiliki batasan. Penambahan pengetahuan dalam waktu yang tidak terbatas tetap tidak akan menolong kita untuk memahami sesuatu yang tanpa batas.
Untuk menggambarkan hal itu, cobalah pikirkan sebuah perpustakaan imajinatif. Kita diberi waktu yang tidak terbatas untuk membaca di tempat itu. Persoalannya, jumlah buku di perpustakaan itu tidak terbatas. Jumlah halaman di tiap buku juga tidak terbatas. Dengan kondisi semacam ini, apakah mungkin kita suatu kali kelak bisa membaca seluruh buku itu? Jelas tidak! Waktu yang tanpa batas tidak akan pernah cukup untuk membaca semua buku dan halaman yang tanpa batas itu.
Demikian pula dengan pengetahuan kita tentang Allah di surga kelak. Ada banyak hal baru tentang Allah yang akan tersingkap di surga. Setiap penambahan pengetahuan tentang Dia akan membuat sukacita kita semakin meluap. Walaupun demikian, Allah tetaplah Allah dan kita tetaplah sebagai ciptaan. Kita tidak akan mampu memahami Allah sepenuhnya.
Dari dua ilustrasi yang dipikirkan oleh Paulus, kita dapat menarik pelajaran penting tentang kerendahhatian dan pengharapan. Dalam kaitan dengan kerendahhatian, kita diingatkan bahwa bagaimana pun keadaan kerohanian kita sekarang, itu masih jauh di bawah keadaan kita kelak di surga. Walaupun kepada Paulus dipercayakan karunia-karunia yang luar biasa oleh Allah, ia tetap menyadari bahwa hal itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan keadaannya kelak. Karena itu, tidak ada alasan bagi kita untuk membanggakan kerohanian kita sekarang. Kematangan rohani untuk didoakan, diupayakan, dan diraih, tetapi bukan untuk disombongkan.
Dalam kaitan dengan pengharapan, kita meyakini bahwa semua orang percaya akan menikmati kesempurnaan di surga. Tidak peduli seberapa banyak pengetahuan kita sekarang di dunia ini, kita semua akan mengenal Allah dengan cara yang luar biasa di surga. Kita semua akan melihat Allah dengan cara yang baru yang jauh melebihi segala pengetahuan di muka bumi ini. Tatkala hari itu tiba, sukacita dan kekaguman kepada Allah akan genap. Soli Deo Gloria.