(Lanjutan tgl 7 Juni 2020)
- Kehidupan orang-orang itu telah berakhir di Yehuda namun mereka harus terus melanjutkan hidup mereka di pembuangan di Babel. Hal ini bisa dipandang secara negatif atau positif; secara negatif karena pembuangan ini menjadi wujud murka Allah kepada umatNya, tetapi juga positif karena pembuangan itu merupakan kehendak Allah kepada umatNya, bahkan dalam hal pemilihan kondisi yang akan dihadapi umat Allah. Pembuangan ini menjadi ajang mereka hidup bertahan dalam banyak sisi, termasuk bagaimana menjalani hubungan mereka dengan Allah di daerah pembuangan. Dengan kata lain, kondisi dan lokasi mereka di pembuangan Babel merupakan tantangan untuk mereka menyesuaikan kondisi asing di pembuangan dengan identitas mereka sebagai umat Allah. Mereka tidak dapat melarikan diri secara fisik ataupun dari situasi di pembuangan, termasuk dalam hal ketertundukan mereka kepada raja Babel. Inilah letak tantangan dan dilema yang mereka hadapi, yaitu bagaimana cara mereka mempertahankan identitas mereka agar tidak terpengaruh kebiasaan dan agama di Babel, tetapi pada saat yang sama mereka harus hidup di bawah kekuasaan raja Babel. Gambaran tantangan dan dilema ini akan banyak ditemukan dalam cerita-cerita kitab Daniel.
- Yang menarik adalah bahwa secara eksklusif, Daniel dan beberapa teman Yahudi-nya terpilih menjadi para pegawai yang kelak akan bekerja pada raja Babel. Mereka ‘dikarantina’ selama sekitar 3 tahun sebelum dinyatakan ‘lulus’ untuk bekerja di istana raja. Mereka diajarkan tulisan dan bahasa orang Kasdim (1:4). Nama mereka pun diganti dari nama-nama yang mengandung nama Allah Israel seperti Elohim dan Yahweh menjadi nama-nama yang mengandung nama dewa-dewa Babel (1:7):
- Daniel diganti Beltsazar (artinya ‘Bel, lindungi hidup raja’; Bel adalah dewa Babel)
- Hananya diganti Sadrakh (artinya ‘perintah dari Aku‘; Aku adalah dewa Babel)
- Misael diganti Mesakh (artinya ‘Siapakah Aku‘; Aku adalah dewa Babel)
- Azarya diganti Abednego (artinya ‘hamba dari Nebo/Nabu‘; Nebo/Nabu adalah dewa Babel)
Pembelajaran tulisan dan bahasa Kasdim serta tindakan penggantian nama Daniel dan kawan-kawannya merupakan cara orang Babel mengubah orang-orang Yahudi untuk tunduk pada kekuasaan raja Babel (semacam indoktrinasi).
- Daniel dan kawan-kawannya seakan tidak berdaya untuk menolak upaya pihak Babel mengindoktrinasi mereka sedemikian rupa. Ternyata tidaklah demikian. Dari sisi sastra bahasa, ada kata yang menarik yang muncul bersamaan dengan ketika Daniel menolak makanan raja. Dalam Dan. 1:7 dikatakan pemimpin pegawai istana memberi (wayyasem) nama; Daniel 1:8 mengatakan Daniel berketetapan (wayyasem). Kata wayyasem berasal dari akar kata sayam, yang artinya ‘to place, to put, to set’. Artinya pada saat pemimpin pegawai istana ‘mengatur’ nama bagi para tawanan Yahudi, maka Daniel juga ‘mengatur’ hatinya (berketetapan, bertekad) untuk menolak makanan raja yang dipersiapkan pemimpin pegawai istana atas perintah raja Babel. Di tengah bentuk-bentuk indoktrinasi yang diberlakukan kepada Daniel dan kawan-kawannya, mereka tetap berusaha untuk melimitasi bentuk indoktrinasi yang memungkinkan diberlakukan untuk mereka. Tema ini muncul beberapa kali dalam kitab Daniel, misalnya dalam kisah Sadrakh, Mesakh dan Abednego yang menolak untuk menyembah patung Nebukadnezar dan dimasukkan ke perapian yang menyala-nyala (Daniel 3). Daniel 6 juga mencatat kisah Daniel yang tetap berdoa dan beribadah kepada Allah Israel daripada menaati beribadah kepada raja Media, Darius. Akibatnya Daniel dihukum dengan cara dimasukkan ke gua singa. Tema in berulang-ulang muncul di kitab Daniel untuk menegaskan bahwa Daniel dan kawan-kawan Yahudinya tetap berjuang untuk mempertahankan identitas Yahudi mereka (politis dan religi) di tengah keterbatasan status mereka sebagai tawanan pembuangan di Babel.
Bersambung…………