Mengapa Allah tidak disebabkan oleh yang lain?

Posted on 15/09/2013 | In QnA | Ditulis oleh Admin | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/images/article/ Mengapa Allah tidak disebabkan oleh yang lain?

             Salah satu argumen yang sering digunakan dalam perdebatan seputar keberadaan Allah adalah argumen kosmologis. Inti dalam argumentasi ini adalah hukum sebab-akibat. Segala sesuatu yang memiliki permulaan pasti disebabkan oleh keberadaan yang lain. Mengingat ilmu pengetahuan sudah membuktikan bahwa alam semesta memiliki permulaan, maka alam semesta tidak kekal dan pasti disebabkan oleh sesuatu yang lain. Mereka yang percaya kepada Allah memberikan doktrin penciptaan sebagai penjelasan yang paling rasional.

Sebagian orang telah melancarkan bantahan terhadap pemikiran di atas. Mereka beranggapan bahwa hukum sebab-akibat harus ditarik mundur secara konsisten dan tanpa batas, sehingga keberadaan Allah pun pasti juga disebabkan oleh yang lain. Bagaimana meresponi serangan semacam ini?

Pertama, sesuai dengan titik awal pemikiran dari argumentasi kosmologis, yang memiliki sebab adalah sebuah keberadaan yang memiliki permulaan (Norman Geisler). Dalam perdebatan seputar keberadaan Allah, definisi kata ‘Allah’ pasti telah diasumsikan sebagai sebuah keberadaan yang kekal dan ada pada dirinya sendiri. Seandainya ‘Allah’ disebabkan oleh yang lain, maka ‘Allah itu’ bukanlah ‘Allah yang sedang diperdebatkan.’ Apa yang menyebabkan dia itulah yang disebut ‘Allah’. Pendeknya, apapun yang dipahami sebagai penyebab pertama dari segala sesuatu (Causa Prima) itulah definisi kata ‘Allah.’ Jadi, secara definisi ‘Allah’ tidak mungkin dimasukkan ke dalam rangkaian sebab-akibat. Tanpa definisi semacam ini, sebuah perdebatan tidak mungkin dilakukan, karena masing-masing pihak memegang definisi ‘Allah’ yang berlainan. Demi kelancaran argumen, definisi ini sejak awal perlu diasumsikan terlebih dahulu.

Kedua, penarikan mundur tanpa batas (infinite regression) dalam argumen kosmologis secara logis tidak mungkin dilakukan. Logika mendorong kita untuk memikirkan sebuah titik awal. Titik tanpa batas (infinite point) secara logis dan (sebagai konsekuensinya) secara aktual sebenarnya tidak ada.

Untuk menjelaskan poin kedua ini, marilah kita membayangkan sebuah perpustakaan hipotetikal (pengandaian). Seandainya dalam perpustakaan itu terdapat jumlah buku yang tanpa batas dan setiap buku itu memiliki halaman yang tanpa batas juga, apakah kita bisa menyamakan membaca sebuah buku dengan membaca semua buku itu walaupun keduanya sama-sama tidak terbatas? Jika keduanya sama-sama tanpa batas, maka seharusnya sama saja. Menariknya, pikiran logis kita pasti menolak konklusi seperti itu. Kita tetap yakin bahwa membaca semua buku pasti berbeda dengan membaca sebuah buku. Mengapa pikiran kita mengarahkan kita untuk membedakannya? Karena logika meyakinkan kita bahwa bagaimanapun ada sebuah titik awal atau titik akhir.

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Admin

Reformed Exodus Community