Apakah Telesakramen Perjamuan Kudus Alkitabiah?

Posted on 15/11/2020 | In QnA | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/images/article/apakah-telesakramen-perjamuan-kudus-alkitabiah.jpg Apakah Telesakramen Perjamuan Kudus Alkitabiah?

Beberapa bulan yang lalu saya sempat mengunggah sebuah artikel mengenai telesakramen perjamuan kudus. Di sana saya memaparkan berbagai alasan teologis dan praktis mengapa sakramen perjamuan kudus tetap perlu diperlukan, walaupun tanpa kebersamaan secara ragawi. Sikap teologis dalam artikel tersebut tentu saja tidak mewakili semua denominasi. Pro dan kontra akan selalu ada.

Dalam artikel ini saya tentu saja tidak akan mengulang atau merevisi apa yang sudah tertulis di sana. Sebaliknya, saya hanya akan memberikan tanggapan terhadap beberapa rohaniwan yang berseberangan pendapat dengan saya. Dengan kata lain, saya hanya akan memberikan pembelaan terhadap tuduhan beberapa orang bahwa telesakramen perjamuan kudus hanyalah tiruan, bahkan berbahaya.

Pertama-tama saya ingin menegaskan kesamaan-kesamaan dalam pandangan saya dan mereka. Jumlah kesamaan yang ada juga cukup signifikan. Saya menyetujui bahwa kebersamaan umat perjanjian dalam pelaksanaan sakramen adalah sangat penting. Sakramen akan kehilangan makna yang seutuhnya jika tidak dilakukan dalam sebuah kebersamaan. Penekanan pada kebersamaan ini muncul beberapa kali dalam Alkitab (Kis. 2:42, 46; 1Kor. 11:18-34). Berbagai pengakuan iman dan katekismus Reformed juga menyuarakan poin yang sama. Saya sepenuhnya sepakat bahwa kebersamaan adalah harga mati yang tidak boleh ditawar-tawar.

Kesamaan lain berkaitan dengan kesadaran bahwa teleibadah maupun telesakramen bukanlah sebuah situasi yang ideal. Umat Allah seharusnya berkumpul bersama-sama secara ragawi. Ada banyak kekayaan rohani yang hilang tanpa kebersamaan ragawi. Jika situasi seperti ini terjadi dalam jangka waktu yang lama, berbagai dampak buruk mungkin saja mulai bermunculan dalam kekristenan. Sebagian orang mungkin tidak lagi merasa nyaman dengan ibadah tatap muka.

Jika dua hal terpenting di atas memang sama, mengapa saya bersilang pendapat dengan mereka yang menentang telesakramen? Ada beberapa keberatan saya terhadap argumentasi yang digunakan untuk menentang telesakramen.

Pertama, jika kebersamaan dalam sakramen dipahami secara kaku (dalam arti hanya secara ragawi), prinsip yang sama seharusnya diterapkan pada telesakramen dan teleibadah. Bukankah ibadah dan sakramen sama-sama membutuhkan “kebersamaan”? Bukankah kebersamaan dalam ibadah juga ditekankan dalam Alkitab dan berbagai kredo/katekismus Reformed? Mengapa mereka yang menolak telesakramen tetap menjalankan teleibadah?

Salah satu kemungkinan alasan adalah natur ibadah yang dianggap harus ada setiap Hari Minggu sedangkan frekwensi pelaksanaan sakramen perjamuan kudus tidak harus sesering itu. Namun, penjelasan seperti ini tetap tidak menjawab esensi analogi yang dipaparkan tadi. Apakah kebersamaan ragawi harga mati dalam ibadah dan perjamuan kudus? Jika iya, prinsip yang sama harus diberlakukan pada keduanya.

Kedua, jika telesakramen perjamuan kudus dipandang bisa menghilangkan (atau paling tidak, mengaburkan) kekayaan simbolis dalam sakramen, bukankah kerisauan yang sama sepatutnya diterapkan pada teleibadah? Kita perlu memahami bahwa ibadah juga mengandung banyak simbol teologis dalam setiap elemennya, bahkan pengaturan sarana dan ruangannya. Beberapa makna tersebut tentu saja tidak sepenuhnya bisa tersampaikan secara ideal dalam teleibadah. Jika telesakramen ditolak gara-gara kekuatan seluruh simbolnya tidak dapat tersampaikan dengan utuh, bukankah pemikiran yang sama seharusnya diterapkan pada teleibadah?

Di samping itu, kekuatiran bahwa makna simbolis sakramen perjamuan kudus akan hilang ketika dilakukan tanpa kebersamaan ragawi juga perlu dikaji ulang. Sakramen merupakan kebenaran firman Tuhan (terutama penebusan Tuhan) yang diwujudkan sedemikian rupa sehingga lebih bisa dialami dengan berbagai macam indera kita. Jika setiap jemaat tetap memegang roti dan anggur sambil mengikuti arahan rohaniwan dalam telesakramen, saya tidak melihat “kehilangan makna” seperti yang dirisaukan. Bukankah roti dan anggur itu tetap bisa dilihat, dipegang dan dikecap? Bukankah kebersamaan umat perjanjian terutama didirikan di atas pencurahan darah Tuhan dan bukan pada kebersamaan ragawi orang-orang Kristen?

Ketiga, penggunaan Alkitab dan tulisan-tulisan Reformed kurang memperhatikan perbedaan konteks antara dulu dan sekarang. Apakah sakramen dalam Alkitab dan tradisi Reformed selalu dilakukan dalam sebuah kebersamaan ragawi? Tentu saja! Begitulah cara mereka memahami kebersamaan dalam sakramen.

Pertanyaannya, seandainya para penulis Alkitab dan pemikir Reformed tersebut hidup pada masa pandemi seperti sekarang, apakah mereka akan memahami kebersamaan seperti itu? Saya rasa tidak. Mereka akan tetap menekankan kebersamaan, namun mereka sangat mungkin akan menafsirkan ulang kebersamaan itu tanpa membuang esensinya.

Secara pribadi saya tidak melihat bahwa kebersamaan teologis menjadi hilang ketika ibadah atau sakramen dilakukan tanpa kebersamaan ragawi. Sebaliknya, saya melihat sebuah bahaya dalam kekuatiran tersebut, seolah-olah esensi kebersamaan adalah secara jasmani dan ditentukan oleh lokasi. Jika ini yang dipikirkan, hal itu justru menodai kebersamaan rohani di dalam Kristus. Kesatuan kita dilandaskan pada penebusan Kristus yang dikerjakan oleh Roh Kudus.

Keempat, kekuatiran berdasarkan dampak buruk atau berlebihan yang mungkin ditimbulkan merupakan sebuah kekeliruan logika. Segala sesuatu berpotensi untuk disalahgunakan, tetapi bukan berarti segala sesuatu pada dirinya sendiri adalah keliru. Doktrin anugerah yang diajarkan oleh Paulus bahkan dianggap sebagai antinomianisme (Rm. 3:8). Apakah hal itu berarti doktrin yang diajarkan menjadi keliru? Tentu saja tidak, bukan?

Begitu pula dengan telesakramen. Potensi penyalahgunaan pasti ada. Namun, itu bukan alasan untuk menentangnya. Lagipula, beberapa bahaya yang dikuatirkan menurut saya terlalu dilebih-lebihkan. Sebagai contoh, ada seorang rohaniwan yang menuduh bahwa telesakramen berpotensi menggiring jemaat pada sejenis gnostisisme. Menurut saya kekuatiran seperti ini kurang jelas dan kurang tepat. Karakteristik gnostisisme mana yang mungkin muncul? Dalam gnostisisme yang ditekankan adalah pengetahuan mistis yang personal, sedangkan dalam teleibadah maupun telesakramen tetap ada firman yang sama yang diberikan kepada semua. Tidak ada ruang bagi seorang jemaat untuk menganggap dirinya menerima wahyu khusus dari Allah.

Jika yang dirisaukan adalah dikotomi antara materi dan non-material dalam gnostisisme, hal itu terlalu dipaksakan. Telesakramen tetap melibatkan materi. Jemaat tetap memegang roti dan anggur. Yang materi dan makna di baliknya sama-sama ditekankan.

Terakhir, sebagian melakukan telesakramen bersama keluarga. Anggapan bahwa telesakramen benar-benar tidak melibatkan kebersamaan ragawi merupakan tuduhan yang keliru. Dalam logika jenis kekeliruan ini disebut generalisasi yang terburu-buru (hasty generalization). Dalam banyak kasus jemaat merayakan sakramen bersama dengan keluarga. Jika kita serius dengan ucapan Yesus bahwa dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Nya maka Dia akan hadir di situ, kita tidak boleh mengesampingkan keabsahan persekutuan dalam keluarga. Kebersamaan mereka tetap merupakan sebuah persekutuan orang-orang percaya. Jadi, tuntutan kaku tentang “kebersamaan ragawi” juga tetap terpenuhi. Nah, jika tuntutan tadi dapat dipenuhi oleh sebagian orang, apakah bijaksana untuk meniadakan kesempatan telesakramen hanya gara-gara ada kekuatiran bahwa sebagian orang akan menyalahgunakannya?     

Sebagai penutup, artikel ini tidak ditulis sebagai sebuah bahan polemis. Sama sekali tidak. Saya hanya ingin memberikan penjelasan dan sedikit pembelaan. Kiranya kita semua dapat terus memikirkan ulang keyakinan kita. Perbedaan pendapat akan menajamkan pandangan masing-masing. Sola Deo Gloria.

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community