Dalam kisah 2 bersaudara pertama, Kain dan Habel, ada pertanyaan penting yang harus dipahami. Ketika Kain telah membunuh Habel, adiknya, mengapa hukuman dosa yang diberikan Allah kepada Kain seolah-olah terlalu ringan? Habel mati dibunuh Kain; Kain tetap mendapatkan hukuman, namun bukan hukuman mati. Apakah hukuman itu mencerminkan Allah yang adil? Mari melihat hal itu berdasarkan penelitian terhadap ayat-ayat yang membahasnya.
Kej. 4:8 menceritakan bagaimana Kain membunuh Habel. Allah mempertanyakan keberadaan Habel kepada Kain, Kain menyangkalnya (ay. 9), namun Allah menyatakan bahwa ‘darah Habel berteriak-teriak dari tanah” (ay. 10).
Ayat 11 mulai mencantumkan hukuman yang harus ditanggung oleh Kain. Walaupun dari perspektif Kain hukuman tersebut tampak sangat berat (4:13), namun semua itu sebenarnya masih lebih ringan daripada seharusnya. Seorang pembunuh manusia, apalagi yang dilandaskan pada kebencian dan dilakukan secara terencana, harus dihukum mati (9:5-6; Ul 19:11-12). Bagaimanapun, Kain tidak dibunuh oleh Tuhan. Ia bahkan dilindungi dari orang lain yang mau membunuhnya (4:15). Ini menyiratkan aspek anugerah dalam hukuman Allah. Sama seperti Adam dan Hawa juga mendapatkan anugerah di tengah hukuman serius yang mereka harus tanggung, demikian pula Kain tidak menerima setimpal dengan kesalahannya (Mzm 103:10).
Hukuman untuk Kain yang berisi kutukan merupakan hal yang cukup mengagetkan. Di pasal 3 Allah hanya mengutuk ular (3:14) dan tanah (3:17). Untuk pertama kalinya Allah mengutuk seorang manusia. Ini merupakan perkembangan negatif yang serius. Terjemahan NIV dapat memberi kesan bahwa hukuman Kain adalah terkutuk dan terbuang dari tanah (juga NJB/NLT/LAI:TB). Hampir semua versi Inggris lain secara tepat menyatukan keduanya (“terkutuklah engkau dari tanah”). Penerjemah Septuaginta (LXX) sejak lama mengambil pandangan yang sama.
Frase “dari tanah” dimengerti beberapa penafsir sebagai sumber dari kutukan Kain, yaitu darah Habel yang tertumpah ke tanah (bdk. 4:10). Hal ini didukung oleh penjelasan tambahan tentang tanah di bagian terakhir ayat 11 (“yang mengangakan mulutnya untuk menerima darah adikmu itu dari tanganmu”). Sebagian penafsir lain memahaminya tanah di sini sebagai daerah yang subur. Kain tidak mungkin terpisah dari semua tanah. Kenyataannya ia tetap menjadi seorang petani.
Dua konsep tersebut sebenarnya dapat digabungkan. Tanah yang menerima darah Habel (4:10) adalah tanah yang cukup subur tempat Kain biasa bercocok tanam (4:3). Sebagai hukuman atas dosanya, Kain tidak diperbolehkan lagi memanfaatkan tanah ini. Ia harus dihalau ke daerah lain yang akan menghasilkan panen lebih jelek (4:12). Hukuman seperti ini sama dengan cara Tuhan memperlakukan bangsa Israel di kemudian hari. Mereka dilarang menajiskan tanah perjanjian dengan cara apapun (Ul 21:23). Siapa saja yang melanggarnya akan dihalau dari tanah itu (Im 18:24-28; 26:33; Ul 28:64).
Bersambung…………