
Salah satu isu yang sensitif dan kontroversial dalam pelayanan pastoral adalah perkawinan antar suku (pernikahan interrasial). Tidak dapat dipungkiri, setiap suku memiliki karakteristik sendiri-sendiri (stereotipe), entah yang positif atau negatif. Lebih jauh, sebagian etnis merasa diri lebih superior daripada etnis yang lain. Perkawinan antar suku bisa dianggap aib bagi keluarga.
Bagaimana orang-orang Kristen menyikapi hal ini?
Sebelum menjawab isu ini saya ingin memberikan klarifikasi terlebih dahulu tentang beberapa teks Alkitab yang melarang bangsa Israel untuk kawin campur dengan bangsa-bangsa lain. Jika kita menyimak konteks setiap ayat tersebut dengan seksama, kita akan mendapati bahwa yang dipersoalkan bukanlah masalah rasial, tetapi spiritual. Allah melarang umat-Nya untuk menikah dengan bangsa-bangsa lain supaya umat-Nya tidak dicemari dan dipikat oleh dewa-dewa yang disembah oleh bangsa-bangsa itu (Ul. 7:3-4). Sikap ini terus dipertahankan sampai zaman pasca pembuangan (Mal. 2:11). Jadi, larangan-larangan tersebut tidak boleh dijadikan alasan untuk melarang perkawinan antar suku.
Nah, sekarang kita akan fokus untuk menjawab di atas. Alkitab tidak memberikan jawaban yang eksplisit tentang hal ini. Maksudnya, Alkitab tidak memerintahkan maupun melarang perkawinan antar suku.
Walaupun demikian, jika kita mengandalkan beberapa petunjuk tersirat dalam Alkitab, kita akan menemukan bahwa perkawinan antar suku tidak dilarang oleh Alkitab. Beberapa perkawinan antar suku di Alkitab bahkan ditampilkan secara positif. Sebagai contoh, dalam silsilah Yesus (Mat. 1:1-17) muncul beberapa nama perempuan asing sebagai nenek moyang Mesias (Tamar, Rahab, Ruth, Betsyeba).
Catatan ini tidak mengherankan. Alkitab secara konsisten memang mengajarkan kesetaraan semua ras. Semua orang sama-sama berdosa dan kehilangan kemuliaan Allah (Rm. 3:23). Tidak ada kelebihan bangsa Yahudi dibandingkan dengan bangsa lain (Rm. 3:9). Di dalam Kristus semua perbedaan rasial dan sosial menjadi tidak penting lagi (Gal. 3:28; Kol. 3:11). Di sorga kelak begitu banyak orang dari berbagai bahasa, bangsa dan suku bangsa akn berdiri di depan tahta Allah dan memuji Dia (Why. 7:9). Jika semua etnis di mata Tuhan adalah sama, kitapun wajib memiliki pandangan demikian.
Apakah penjelasan ini berarti dukungan atau rekomendasi untuk perkawinan antar suku? Tidak juga. Penjelasan tadi hanya menunjukkan bahwa perkawinan antar suku tidak bertabrakan dengan firman Tuhan. Allah bisa memberkati dan menggunakan perkawinan semacam itu untuk penggenapan rencana-Nya.
Bagaimanapun, kita juga patut menyadari bahwa perkawinan antar suku menyediakan tantangan tertentu. Tidak semudah yang dibayangkan. Masing-masing suku memiliki cara pandang dan kebiasaan sendiri-sendiri. Tanpa disadari semua itu akan diadopsi oleh anggota suku masing-masing. Jika dua orang dari suku yang berbeda mengikatkan diri dalam sebuah pernikahan, mereka pasti membutuhkan penyesuaian lebih banyak dibandingkan dengan pasangan lain yang berlatar belakang seragam. Pada dirinya sendiri perbedaan ini tidak buruk. Hanya saja, hal itu tetap perlu dipertimbangkan.
Di samping penyesuan antara suami-isteri, mereka juga perlu beradaptasi dengan keluarga besar pasangan. Beberapa suku atau keluarga tertentu memberi ruang yang lebih besar bagi keterlibatan keluarga besar. Sebuah persoalan dalam pernikahan, misalnya, bisa dipandang sebagai urusan seluruh keluarga besar. Mereka tidak merasa melakukan intervensi ke privasi suatu keluarga karena begitulah cara mereka memandang pernikahan. Lebih jauh, cara mereka menyelesaikan persoalan juga pasti mengikuti kebiasaan dalam suku mereka (apa yang dianggap baik oleh suku tersebut). Nah, apa yang dipandang baik ini belum tentu sama dengan pandangan di suku lain.
Akhirnya, saya ingin menutup pembahasan ini dengan mengatakan bahwa yang terpenting adalah kedewasaan rohani seseorang. Semakin dewasa seseorang di dalam Tuhan, semakin mandiri orang tersebut terhadap nilai-nilai dalam etnisnya yang mungkin kurang selaras dengan firman Tuhan. Jika suami dan isteri sama-sama menjadikan firman Tuhan (dan teologi yang benar dan seragam) sebagai landasan dan pedoman kehidupan, penyesuaian yang diperlukan tidak akan serumit yang dibayangkan. Soli Deo Gloria.