Pertanyaan ini seharusnya menjadi pergumulan setiap pemimpin gereja. Di antara semua uang yang dipersembahkan ke gereja, beberapa diperoleh dengan cara yang tidak sesuai Alkitab. Orang Kristen berbohong dan berbuat curang dalam bisnis. Sebagian bahkan mempunyai bisnis yang tidak baik. Sebagian lagi berbisnis tanpa menghiraukan aspek legalitas (peraturan bisnis).
Bagaimana seharusnya gereja menyikapi situasi ini? Apakah gereja akan tetap menerima persembahan seperti itu?
Sebagian orang mungkin dengan cepat akan menjawab secara tegas: “tidak!”. Gereja tidak boleh menerima uang yang diperoleh dengan cara-cara yang keliru. Ibadah kepada Allah harus dilakukan di dalam roh dan kebenaran (Yoh 4:23-24). Allah menginginkan kita memberi persembahan yang hidup, kudus, dan berkenan kepada-Nya (Rm 12:1).
Mereka yang menolak segala bentuk “uang haram” biasanya memberikan dua alasan utama. Allah menghukum Ananias dan Safira yang tidak jujur dengan persembahan mereka (Kis 5:1-11). Jika Allah tidak mau menerima persembahan seperti itu, gereja juga perlu menerapkan sikap yang sama. Alasan lain berkaitan dengan guru-guru palsu. Alkitab berkali-kali mengajarkan bahwa guru-guru palsu seringkali mengeruk keuntungan yang tidak benar dari pelayanan mereka (Rm 16:17-19; 2 Pet 2:1-3). Gereja yang benar tidak sepatutnya mencari keuntungan materi.
Sekilas alasan-alasan di atas sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan bahwa gereja tidak boleh menerima uang haram. Jika kita menyelam lebih ke dalam lagi, kita akan menemukan bahwa persoalan yang ada tidak sesederhana itu. Yang menjadi masalah dalam kisah Ananias dan Safira bukanlah sumber uang. Uang mereka didapat dari cara yang halal, yaitu menjual aset mereka. Yang salah adalah motivasi mereka yang tidak lurus. Senada dengan hal di atas, persoalan utama dengan guru-guru palsu adalah motivasi mereka dalam pelayanan. Mereka menggunakan pelayanan untuk mendapatkan keuntungan materi. Jadi, TUHAN juga mempedulikan motivasi seseorang dalam memberi.
Di sisi lain Alkitab menyediakan beberapa contoh yang menarik tentang persembahan kepada Yesus Kristus yang sumbernya mungkin bermasalah. Contoh pertama adalah perempuan berdosa (Luk 7:37-50). Pada saat Yesus sedang makan di rumah orang Farisi, seorang perempuan berdosa (baca: pelacur) datang dan meminyaki kaki-Nya dengan parfum yang mahal. Tatkala banyak orang mengecam tindakan perempuan ini, Yesus justru memberikan pembelaan. Apakah Dia tidak tahu bahwa perempuan ini orang berdosa? Apakah Dia tidak tahu bahwa parfum itu dibeli dengan uang haram?
Contoh lain adalah Zakheus (Luk 19:1-10). Sebagai seorang kepala pemungut cukai pada zaman dulu, tidak mungkin uang Zakheus diperoleh dengan cara-cara yang benar (bdk. 3:12-13). Dia sendiri menyadari hal ini, seperti tersirat dari perkataannya: “Sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat” (ayat 8). Menariknya, Yesus tidak menolak perjamuan makan yang diadakan oleh Zakheus untuk Dia.
Apakah dua kisah Alkitab di atas memberi dukungan bagi gereja untuk menerima uang haram? Tidak juga. Dari pembelaan Yesus untuk perempuan yang berdosa tadi terlihat bahwa perempuan itu sudah bertobat. Ia tidak harus membuang seluruh harta yang dahulu ia peroleh dengan cara yang salah. Ia juga tidak mungkin mengembalikan semua uang itu kepada para laki-laki yang sudah bersetubuh dengan dia. Yang penting dia sekarang menggunakan harta itu untuk hal-hal yang baik.
Dalam kisah Zakheus, kasusnya sedikit berbeda. Pada waktu bertemu dengan Yesus, Zakheus masih belum bertobat. Namun, Yesus tahu persis bahwa hal itu akan segera terjadi. Keputusan Yesus untuk menginap di rumah Zakheus tidak berarti bahwa Dia menghalalkan harta Zakheus. Sesudah Zakheus bertobat pun, Yesus tidak memaksa dia untuk membuang seluruh hartanya atau memaksa dia untuk memberikan hartanya bagi orang lain. Yang dipentingkan adalah transformasi hati. Orang yang hatinya sudah dijamah oleh kasih Allah seharusnya mengetahui bagaimana menggunakan uangnya untuk kemuliaan Allah.
Karena tidak ada satu teks pun yang eksplisit tentang penggunaan uang haram bagi gereja, kita hanya bisa mengandalkan akal budi Kristiani yang dicerahkan oleh teks-teks lain yang berkaitan, walaupun hanya secara tersirat. Ada beberapa pemikiran yang perlu dipertimbangkan dalam isu ini.
Pertama, gereja sebaiknya menolak persembahan dari seseorang yang jenis pekerjaannya sudah jelas-jelas bertabrakan dengan firman Tuhan. Uang korupsi dan hasil pengedaran narkoba, misalnya, tidak pantas untuk dipersembahkan kepada Tuhan. Jikalau gereja mengetahui secara pasti bahwa ada jemaat yang memiliki pekerjaan haram semacam ini, gereja bisa menyampaikan penolakan secara halus dan pribadi kepada orang tersebut.
Kedua, gereja sebaiknya tidak menaruh kecurigaan berlebihan terhadap semua orang. Pihak gereja kadangkala tidak mengetahui jumlah bisnis yang dilakukan oleh seseorang. Ada kemungkinan orang-orang tertentu menerapkan keuangan terpisah untuk bisnis-bisnis mereka. Mereka mungkin memberikan persembahan hanya dari bisnis yang mereka anggap tidak bermasalah secara moral.
Pihak gereja juga seringkali tidak paham bagaimana seseorang menjalankan bisnis-bisnis itu. Apakah seseorang sudah berusaha semaksimal mungkin untuk berbisnis secara jujur? Bahkan dalam kasus ada pelanggaran dalam cara berbisnis, pihak gereja acap kali tidak mengetahui bagaimana pergumulan spiritual dari masing-masing orang. Ada kalanya seseorang menyadari kesalahannya dalam berbisnis, tetapi ia masih belum mampu melepaskan diri sepenuhnya dari situasi seperti itu. Dalam kasus-kasus seperti ini, penghakiman yang berbelas kasihan perlu diterapkan oleh gereja (bdk. Yak 2:13). Tuhan Yesus menerima persembahan dari Yohana, istri Khuza bendahara Herodes (Luk 8:3), walaupun Ia tahu bahwa Herodes seringkali bertindak keliru dalam mengeruk keuntungan dari pemerintahannya.
Ketiga, pihak gereja seharusnya mengajarkan secara konsisten dan intensif tentang penggunaan uang yang benar. Yang pertama-tama perlu dipersembahkan kepada Allah adalah diri jemaat, bukan uang mereka (2 Kor 8:4-5). Apabila jemaat sudah memberikan seluruh dirinya sebagai persembahan yang hidup, kudus, dan berkenan kepada Allah, mereka juga pasti akan memberikan uangnya sebagai kurban yang serupa (Rm 12:1). Pertobatan harus terwujud dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam pekerjaan (Luk 3:12-14). Transformasi hidup yang sejati di dalam Kristus pasti mencakup cara pandang seseorang terhadap uang (Luk 19:1-10).
Keempat, gereja tidak boleh mengutmakan uang di atas segala-galanya. Keberlangsungan dan perkembangan gereja bukan didasarkan pada jumlah uang yang melimpah. Para donatur besar di dalam gereja tidak perlu diperlakukan secara khusus seolah-olah mereka adalah penopang gereja. Gereja-gereja yang berorientasi pada harta seringkali tidak mampu bersikap objektif terhadap persembahan-persembahan finansial yang mencurigakan. Mereka cenderung bersikap lebih permisif. Ini harus diantisipasi dan dihindari. Allah dan firman-Nya adalah sandaran yang kokoh dalam segala keadaan. Gereja harus meyakini bahwa tanpa uang haram pun gereja akan tetap berdiri dan berkembang.
Terakhir, gereja perlu menunjukkan keseriusan dalam pengaturan keuangan. Apakah gereja telah melakukan transparansi dalam pengelolaan keuangan? Apakah gereja mengelola uang yang ada secara bijaksana? Apakah ada laporan yang jelas dan rapi? Apakah ada pengawasan yang ketat? Melalui keseriusan gereja dalam pengelolaan keuangan, seluruh jemaat juga akan terbantu untuk tidak main-main dengan uang. Mereka akan mendapatkan pesan yang kuat bahwa gereja sangat menekankan kekudusan dalam keuangan. Jikalau suatu gereja lokal tidak mengindahkan kekudusan finansial, bagaimana jemaatnya akan terdorong untuk mengejar kekudusan dalam keuangan mereka? Soli Deo Gloria.