Lebih dari seabad lalu diskusi seputar keberadaan kisah-kisah kuno penciptaan di luar Alkitab (misalnya Gilgamesh and Enuma Elish) telah mencuri perhatian banyak ahli. Perbandingan antara tradisi Alkitab dan kisah-kisah tersebut menunjukkan beberapa kemiripan yang menarik, misalnya penciptaan manusia dari tanah liat, kisah air bah, dsb. Apakah Alkitab merupakan wahyu Allah yang unik atau sekadar sebuah kisah lain dari dunia Timur Kuno? Bagaimana keterkaitan antara Alkitab dan semua kisah kuno tersebut?
Para teolog liberal telah mencoba menawarkan beberapa teori sebagai penjelasan. Ada yang mengatakan bahwa pemahaman Israel tentang penciptaan muncul dari konteks penulisan ulang puisi-puisi kuno ke dalam bentuk prosa (cerita). Yang lain menganggap bahwa teologi Israel pada tahap tidak berbeda dengan agama-agama Kanaan kuno. Perubahan baru tampak setelah kepulangan dari pembuangan di Babel dan perubahan ini dipaksakan oleh kelompok tertentu yang memiliki pengaruh besar dan kepentingan relijius tertentu. Ahli lain berpendapat bahwa ki-sah di dalam Alkitab merupakan evolusi pemikiran dari bangsa Israel sebagai respon mereka terhadap situasi hidup. Dengan kata lain, bangsa Israel mencoba menjelaskan realita kehidupan mereka dari sudut pandang relijius tertentu yang mereka ciptakan sendiri dan dianggap masuk akal.
Semua usulan di atas gagal untuk menjelaskan seluruh bagian Alkitab. Mereka hanya memfokuskan pada beberapa teks secara selektif, padahal konklusi dari penyelidikan terbatas tersebut seringkali berkontradiksi dengan teks-teks lain. Yang paling penting, semua itu tidak berhasil menerangkan wawasan dunia (worldview) biblikal yang unik dan bagaimana wawasan dunia itu telah membentuk pemahaman bangsa Israel terhadap realita. Poin inilah yang akan diuraikan lebih lanjut berikut ini.
Terlepas dari beberapa kemiripan yang ada, kisah Alkitab menunjukkan perbedaan yang lebih esensial dengan kisah-kisah pada jamannya. Di atas segalanya adalah konsep Alkitab tentang transendensi Allah yang melampaui semua hal di luar diri-Nya (ciptaan). Konsep ini tetap menjadi ide teologis yang sangat unik. Bangsa-bangsa kuno menyamakan Allah dengan ciptaan (misalnya matahari atau binatang tertentu adalah dewa) atau, paling tidak, menganggap Allah tidak terpisahkan dari ciptaan. Konsep teologis lain yang unik adalah monoteisme (keesaan Allah). Konsep ini sa-ngat kontras dengan politeisme (mengakui banyak allah) maupun henoteisme (mengakui satu allah yang tertinggi tetapi tetap menerima keberadaan allah-allah lain yang lebih rendah).
Dua konsep di atas pada gilirannya juga mempengaruhi cara bangsa Israel menilai realita dalam hidup mereka. Semua bagian Alkitab didasarkan pada keyakinan bahwa Allah adalah esa dan tidak dapat disamakan dengan ciptaan, walaupun Ia tetap campur tangan dan memelihara ciptaan-Nya. Seandainya agama Israel adalah modifikasi bertahap dari agama-agama kuno (hal ini tentu saja keliru), maka “modifikasi” tersebut pasti bersifat radikal (sampai keakar-akarnya).
Untuk memperjelas poin ini diperlukan sebuah ilustrasi. Seandainya beberapa bagian tubuh anjing dan manusia dibandingkan, kita pasti akan menemukan beberapa kemiripan. Keduanya me-miliki bulu, mata, telinga, dan organ-organ dalam lainnya. Kemiripan ini hanya terkesan menarik apabila kita membandingkan beberapa bagian. Seandainya kita membandingkan keseluruhan tubuh mereka atau bagian tertentu yang unik dalam diri mereka, maka kita pasti akan menilai bahwa tidak ada kemiripan esensial antara anjing dan manusia.
Begitu pula ketika kita membandingkan kisah-kisah Alkitab dengan cerita-cerita kuno pada jamannya. Tidak ada kemiripan yang fundamental di antara mereka. Jika kemiripan esensial saja tidak dapat ditemukan, bagaimana keterkaitan esensial antara mereka dapat direkonstruksi? Semua teori yang ada pasti hanya berupa spekulasi belaka.
(bersambung)