(Lanjutan tgl 6 Januari 2019)
Kedua, pemakaian kata ’eţ di depan kata yhwh (“TUHAN”). Kata ini bisa digunakan sebagai kata depan yang berarti “dengan” atau sebagai penunjuk obyek. Seandainya pilihan ke-1 diambil, maka ’eţ memiliki fungsi yang sama dengan kata depan min yang lebih umum dipakai. Contoh dari penggunaan ini adalah 49:25 (“dari [min] Allah nenek moyangmu yang menolong engkau, dari [’eţ] Allah Yang Mahatinggi yang memberkati engkau”). Seandainya pilihan ke-2 yang benar, maka Hawa sedang mengatakan “aku telah mendapatkan laki-laki, [setara dengan] TUHAN”.
Di samping mendapat peneguhan dari 49:25, pilihan ke-1 juga didukung oleh pemunculan kata Akkadian yang mirip dengan ’eţ di tulisan kuno selain Alkitab, yaitu ungkapan Akkadian šamû ’itti yang mengandung makna “membeli dari”. Persoalan utama terletak pada penggunaan kata ’eţ dengan arti yang tergolong tidak biasa ini. Seandainya yang dimaksud adalah “dari”, mengapa tidak digunakan kata depan min yang lebih umum?
Pilihan ke-2 didukung oleh fakta bahwa kata ’eţ memang seringkali dipakai sebagai penunjuk obyek. Ini adalah arti yang lebih natural. Kesulitan utama dari pandangan ini adalah bagaimana kita menjelaskan hubungan antara “laki-laki” (’îš) dan “TUHAN” (yhwh) yang sama-sama berfungsi sebagai obyek dari kata kerja “mendapatkan” (qānîtî). Mereka yang memegang pandangan ke-2 biasanya berusaha menambahkan kata “seperti” antara ’îš dan yhwh, sehingga terjemahannya menjadi “laki-laki seperti [setara dengan] TUHAN”. Persoalannya, seandainya ini yang dimaksud oleh Hawa, maka kemungkinan besar penulis kitab Kejadian akan memakai kata depan ke yang lebih umum.
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa argumen kedua tidak memberikan petunjuk yang konklusif. Masing-masing posisi memiliki kelebihan dan kelemahan sendiri yang sulit untuk dipecahkan. Dalam hal ini kita sebaiknya melihat argumen ini dari kacamata argumen lain yang lebih meyakinkan.
Ketiga, pemunculan kata kerja qānâ (LAI:TB “mendapatkan”). Kata yang muncul sebanyak 82 kali dalam PL ini memiliki jangkauan arti yang sangat luas, sehingga para penerjemah pun belum mencapai konsensus tentang makna kata qānâ di 4:1. Beberapa terjemahan yang diusulkan antara lain “memperoleh” (ASV/KJV/RSV/NASB/ESV “have got[ten]”; NJB “acquired”), mengeluarkan (NIV “have brought forth”), “menghasilkan” (NRSV/NLT “have produced”). Di luar deretan usulan tersebut, kata ini sebenarnya juga dapat berarti “menciptakan”, terutama jika dikenakan pada Allah (14:19, 22; Ul 32:6; Mzm 139:13).
Di antara semua kemungkinan ini, sulit dipastikan makna mana yang paling tepat untuk kata qānâ di 4:1. Seandainya yang dimaksud adalah “melahirkan”, mengapa tidak dipakai kata yālad yang lebih umum (4:17)? Mengapa pula kata qānâ diikuti kata “laki-laki”, bukan “bayi laki-laki”? Keanehan penggunaan kata qānâ dalam konteks kelahiran ini mungkin dimaksudkan sebagai petunjuk khusus bagi kita untuk menangkap pikiran Hawa dengan tepat. Hawa mungkin berusaha menyamai Allah: kalau TUHAN menciptakan laki-laki pertama, maka Hawa menciptakan yang kedua. Bagaimanapun, hal ini sulit untuk dipastikan.
Keempat, konteks kitab Kejadian secara keseluruhan. Dalam kitab ini tema yang berulang kali muncul adalah usaha dan kegagalan manusia dalam memperoleh berkat yang hanya bisa diberikan oleh Allah saja. Allah berkali-kali menjanjikan berkat kepada manusia tetapi mereka cenderung berusaha mencapai berkat itu melalui usaha sendiri. Yakub berusaha memperdayai kakak dan ayahnya, padahal sebelum lahir pun Allah sudah menjanjikan hak kesulungan kepadanya (25:23). Kasus yang mirip dengan kegagalan usaha Hawa adalah tindakan Abraham yang mengambil Hagar sebagai isteri supaya ia bisa memiliki keturunan (16:1-4), padahal Allah sudah menjanjikan hal ini beberapa kali (12:1-3; 15:4-5). Dari perspektif seperti ini, sangat mungkin Hawa ditampilkan sebagai contoh awal bagaimana usaha manusia dalam membantu Allah merealisasikan janji-Nya justru seringkali berbuahkan kemalangan dan penderitaan.