Kej. 2:9 menyatakan bahwa Allah menumbuhkan “berbagai-bagai pohon” (KJV/NASB/NJB/RSV/NRSV “setiap pohon” atau NIV “semua jenis pohon”). Dalam konteks Alkitab, pepohonan atau tanaman yang subur seringkali dipakai sebagai gambaran dari berkat Allah, misalnya pohon yang ditanam di tepi aliran air (Mzm 1:3; Yer 17:8). Dalam tradisi keagamaan kafir kuno, ibadah mereka seringkali dilakukan di daerah yang subur (Ul 12:2) untuk menunjukkan bahwa dewa tertentu (terutama dewa hujan, kesuburan, dan tanah) adalah pemberi kehidupan bagi manusia.
Pohon yang ditumbuhkan Allah bukan hanya banyak, tetapi semua pohon ini juga menarik untuk dilihat dan baik untuk dimakan. Ungkapan “setiap/segala jenis”, “menarik”, dan “baik” menunjukkan betapa indah dan melimpah pemberian Allah kepada manusia. Hal ini jelas berbeda dengan tuduhan ular bahwa Allah telah bersikap pelit terhadap manusia (3:1). Penjelasan “menarik untuk dilihat” dan “baik untuk dimakan” yang diterapkan pada segala jenis pohon berguna untuk memahami betapa bodohnya manusia ketika memakan buah dari pohon pengetahuan yang baik dan jahat hanya gara-gara buah itu terlihat “baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya” (3:6a). Ini sekaligus memberikan petunjuk bahwa inti godaan yang diberikan ular adalah “pohon itu menarik hati karena memberi pengertian” (3:6a).
Di 2:9 disebutkan bahwa pohon kehidupan terletak di tengah taman, sedangkan posisi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat tidak diberi keterangan apapun. Dari 3:3 kita dapat mengetahui bahwa pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat juga terletak di tengah taman. Kata “di tengah” (beţôķ) tidak berarti bahwa pohon ini terletak persis di pusat taman (bdk. 1:6; 3:8; 9:21; 18:24, 26; 23:10). Beberapa penafsir berspekulasi bahwa letak dua pohon tersebut adalah berdekatan. Berkaitan dengan dugaan ini, kita tidak memiliki petunjuk yang cukup untuk menyetujui maupun menolak.
Berdasarkan konteks yang ada, dua jenis pohon ini sama-sama memegang peranan penting dalam Kejadian 2-3. Pohon kehidupan muncul di awal dan akhir kisah manusia di Taman Eden (2:9; 3:22, 24). Pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat muncul beberapa kali di bagian sentral (2:9, 17; 3:3). Pohon ini bahkan menjadi perhatian sentral dalam cerita, walaupun sebutan eksplisit “pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat” tidak muncul (3:6, 11, 12, 17).
Di luar kisah yang dicatat di Kejadian 2-3, popularitas pohon kehidupan tampaknya mengungguli jenis pohon lainnya. Pohon kehidupan dalam periode selanjutnya juga sering muncul secara figuratif dalam tulisan Yahudi, baik dalam PL (Ams 3:18; 11;30; 13:12; 15:4), kitab kuno non-biblikal (1 Hen 24:4; 2 Hen 8:3, 5, 8; 9:1; 2 Esd 8:52), dan PB (Why 2:7; 22:2, 14, 19). Pohon kehidupan juga muncul dalam mitologi kuno, sedangkan pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat sama sekali tidak ditemukan.
Dalam sebuah mitos kuno dikisahkan bahwa Utnapishtim, yang sebelumnya sudah diberi kekekalan oleh para dewa, memberikan sebuah tanaman kepada Gilgamesh yang dapat membuat dia menjadi muda di usia tua. Tanaman ini akhirnya dimakan oleh ular ketika Gilgamesh sedang mandi. Dalam kisah-kisah kuno lain diterangkan adanya usaha-usaha manusia untuk membuat dirinya kekal dengan cara mencari dan memakan buah atau makanan tertentu.
Semua konsep ini jelas berbeda dengan ajaran Alkitab. Yang ditekankan di 2:9 adalah Allah sebagai pemberi pohon kehidupan, bukan khasiat khusus dalam buah pohon tersebut. Walaupun kesan magis dari buah ini tersirat di 3:22 tetapi tetap Allah yang menentukan apakah manusia bisa makan buah tersebut atau tidak. Lebih jauh, dalam mitologi kuno diceritakan bahwa kematian manusia disebabkan oleh hilangnya pohon kehidupan, sedangkan Alkitab mengajarkan bahwa kematian manusia disebabkan oleh dosa (2:17; 3:19, 22).
Popularitas pohon kehidupan di atas sangat kontras dengan pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat. Pohon ini hanya muncul di Kejadian 2-3. Di luar kisah ini tidak ada rujukan sama sekali. Mitologi kuno pun tidak ada yang menyinggung hal ini sama sekali.
Apa yang dimaksud dengan pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat? Pertanyaan ini telah menguras pemikiran para panafsir sepanjang abad. Kesulitan ini berkaitan dengan pemunculan pohon ini yang hanya ada di Kejadian 2-3 dan beragamnya arti frase “mengetahui yang baik dan yang jahat” dalam Alkitab. Konteks Kejadian 2-3 sendiri dapat dipahami dapat “dipaksakan” untuk mendukung pandangan tertentu. Dari semua teori yang diusulkan, tiga di antaranya perlu mendapat perhatian secara khusus.
Pandangan pertama mengaitkan pengetahuan ini adalah kesadaran seksual. Beberapa alasan yang diyakini sebagai dukungan bagi teori ini antara lain: (1) respon spontan manusia setelah kejatuhan ke dalam dosa adalah kesadaran bahwa mereka telanjang (3:7); (2) kata Ibrani untuk “mengetahui” adalah yāda‘, yang juga dipakai dalam arti “bersetubuh” (4:1, KJV/RSV “Adam knew Eve”); (3) ketidakadaan pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat kadangkala merujuk pada ketidakadaan atau ketidakmampuan seksual (Ul 1:39; 2 Sam 19:35); (4) dalam salah satu mitos kuno diceritakan bahwa Enkidu berhasil memperoleh pengetahuan dan menjadi seperti dewa setelah ia berhubungan seksual dengan pelacur selama satu minggu; (5) latar belakang tempat dari kisah ini adalah di taman, yang menggambarkan ide tentang kesuburan.
Teori di atas memiliki dua keberatan serius. Di 3:22 Allah mengatakan bahwa setelah memakan buah pohon tersebut manusia mempunyai pengetahuan seperti Allah. Seandainya pengetahuan ini berkaitan dengan kemampuan seksual, maka hal ini jelas berkontradiksi dengan ajaran Alkitab. Memang dalam mitologi kuno para dewa seringkali digambarkan memiliki hubungan seksual, baik dengan dewa lain maupun manusia, tetapi dalam Alkitab ide seperti itu sama sekali tidak diajarkan.
Di samping itu, jika pengetahuan ini memang berkaitan dengan aktivitas seksual manusia, mengapa Allah perlu mencegahnya (2:17)? Bukankah Allah menciptakan laki-laki dan perempuan supaya mereka menjadi satu tubuh (2:24) dan menghasilkan banyak keturunan sehingga mereka bisa memenuhi dan menguasai bumi (1:26, 28)? Bukankah sebelumnya manusia juga sudah sama-sama telanjang (2:25)?
Pandangan kedua mencoba melihat pengetahuan ini sebagai kesadaran moral. Dukungan utama bagi pandangan ini berkaitan dengan penggunaan frase “mengetahui yang baik dan jahat” di bagian Alkitab lain. Dari pemunculan ini terlihat bahwa frase ini seringkali dikenakan pada anak-anak kecil (Yes 7:15-16) atau remaja yang belum memiliki kemampuan legal dalam hal moralitas (Ul 1:39). Kitab Kejadian sendiri memberikan dua contoh tentang hal ini dan semuanya berhubungan dengan Laban. Ia tidak bisa mengatakan apa yang baik dan buruk (24:50) ketika ia menyadari bahwa TUHAN telah mempertemukan hamba Abraham dengan Ribka (24:45-49). Ia juga dilarang untuk mengatakan “yang baik atau buruk” (KJV/NASB/RSV/NIV “jangan mengucapkan sesuatu kepada Yakub, baik yang baik maupun yang jahat”, kontra LAI:TB “sepatah katapun”) tentang Yakub. Dua contoh ini dipahami sebagai bukti bahwa Laban tidak mau melakukan sesuatu yang salah (penilaian moral). Contoh paling jelas terdapat dalam doa Salomo (1 Raj 3:9). Ia meminta agar Tuhan memberi dia kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang jahat dalam konteks pengadilan perkara.
Pandangan di atas juga tidak luput dari kesalahan serius. Teori tersebut tidak bisa menjelaskan makna “mengetahui yang baik dan jahat” dalam ucapan Barzilai (2 Sam 19:35). Sesuai konteks yang ada, tidak mungkin Barzilai di usia 80 tahun justru tidak bisa mengadakan pembedaan secara moral. Kelemahan lain berkaitan dengan konteks Kejadian 2-3. Seandainya kemampuan ini adalah kemampuan moral, mengapa Allah mencegah sesuatu yang positif seperti ini (2:17)? Selain itu, tidak ada bukti bahwa Adam dan Hawa sebelum kejatuhan ke dalam dosa tidak memiliki kemampuan moral seperti ini. Berdasarkan perintah dan larangan di 2:15-17 tersirat bahwa manusia dalam taraf tertentu sudah mampu membedakan mana yang baik dan yang jahat secara moral.
Pandangan ketiga menganggap ungkapan “mengetahui yang baik dan yang jahat” sebagai sebuah gaya bahasa merisme yang mencakup segala sesuatu. Dengan demikian, pengetahan ini menjadikan manusia mahatahu. Dukungan untuk dugaan ini ditarik dari keterangan Alkitab bahwa mengetahui yang baik dan yang jahat identik dengan “menjadi seperti Allah” (3:5, 22). Dukungan lain terdapat di 24:50 (“tidak dapat mengatakan baiknya atau buruknya” = “tidak dapat mengatakan apapun”) dan 31:24 (“jangan mengucapkan yang baik atau yang jahat” = “jangan mengucapkan sepatah kata pun”). Contoh paling jelas adalah kemampuan Daud dalam hal mengetahui yang baik dan jahat (2 Sam 14:17) yang disamakan dengan para malaikat yang mengetahui segala sesuatu di bumi (2 Sam 14:20).
Pandangan di atas tidak sesuai dengan teks-teks lain. Jika mengetahui yang baik dan jahat berarti tahu segala sesuatu, maka beberapa pemunculan ungkapan ini menjadi tidak memiliki arti apapun. Mengapa Allah perlu membatasi pendudukan tanah Kanaan pada mereka yang tidak “mahatahu” (Ul 1:39)? Bukankah semua orang Israel tidak “mahatahu”? Mengapa Barzilai perlu mengatakan bahwa ia tidak “mahatahu” (2 Sam 19:35)? Setelah Salomo mendapatkan jawaban doanya (1 Raj 3:9-12), ia bahkan tetap tidak menjadi mahatahu. Seandainya Adam bisa menjadi mahatahu, maka telah terjadi perubahan hakekat dari manusia yang terbatas menjadi Allah yang mahatahu. Konsep seperti ini jelas bertabrakan dengan konsep seluruh Alkitab. Alkitab hanya mengajarkan inkarnasi (Allah menjadi manusia), bukan apotheosis (manusia menjadi Allah).
Solusi paling bijaksana dalam hal ini adalah dengan melihat pengetahuan tentang yang baik dan jahat sebagai otonomi moral. Yang harus dicamkan adalah bahwa pengetahuan ini merupakan sesuatu yang negatif, karena itu dilarang oleh Allah (2:17). Pengetahuan ini juga seharusnya hanya dimiliki oleh Allah (3:22). Berangkat dari dua petunjuk ini kita secara aman dapat menafsirkan pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat sebagai otonomi moral. Hak untuk menilai sesuatu – apakah baik atau tidak baik – sebelumnya hanya menjadi milik Allah (1:4, 10, 12, 18, 21, 25, 31; 2:9, 18).
Dalam bagian Alkitab yang lain diajarkan bahwa kemampuan menilai yang baik dan jahat – seringkali disebut “hikmat” – bersumber dari Allah (Ams 2:6). Manusia harus mencari hikmat ini melalui takut kepada Tuhan (Ams 1:8; 9:10), bukan melalui usaha sendiri yang terpisah dari wahyu Allah (Ay 15:7-9; 28:12-28; 40:1-5; Ams 30:1-4). Kesalahan fatal Hawa adalah mengambil hak prerogatif ini (3:6). Ia ingin menjadi seperti Allah (3:5).
Seandainya pandangan ini kita ambil, maka teks-teks lain yang memuat ungkapan “mengetahui yang baik dan jahat” dapat dijelaskan secara konsisten. Ucapan Laban di 24:50 berarti bahwa ia tidak mau menentukan sikap apapun menurut apa yang ia pandang baik, karena pimpinan Tuhan dalam pernikahan Ribka sudah sedemikian jelas. Dengan cara yang sama ketika ia diperintahkan Tuhan untuk tidak mengatakan suatu apapun yang baik dan yang jahat terhadap Yakub (31:24), hal ini bukan berarti bahwa ia tidak boleh mengadakan percakapan apapun (bdk. 31:26-30). Ia hanya dilarang untuk mengambil keputusan moral menurut pikirannya sendiri (31:29). Ucapan Barzilai bahwa ia tidak mengetahui yang baik dan jahat (2 Sam 19:35) menunjukkan bahwa ia tidak mau mengambil keputusan sendiri dan memilih untuk menyerahkan keputusan final pada Daud (ayat 37 “perbuatlah kepadanya apa yang tuanku pandang baik”). Anak-anak kecil (Yes 7:14-15) atau remaja (Ul 1:39) dikatakan belum mengetahui yang baik dan jahat dalam arti bahwa mereka secara hukum dan budaya belum bisa mengambil keputusan moral sendiri. Kemampuan Daud untuk mengetahui yang baik dan jahat (2 Sam 14:17, 20) menunjuk pada posisinya sebagai raja yang berhak menentukan sebuah perkara.
NK_P