Pertanyaan yang sangat fundamental ini menyangkut aspek filosofis dan praktis. Para filsuf memikirkannya. Orang biasa pun menggumulkannya. Bagaimana kita dapat mengetahui bahwa hidup memiliki tujuan? Apakah tujuan hidup manusia.
Hidup memiliki tujuan
Hal pertama yang perlu dipikirkan adalah kompleksitas dan keteraturan alam semesta maupun tubuh kita. Semua yang rumit dan teratur pasti menyiratkan sebuah tujuan. Kerumitan tanpa keteraturan adalah kekacauan. Tumpukan sampah, misalnya, mengandung kompleksitas tetapi tanpa keteraturan. Di sisi lain, keteraturan tanpa kerumitan mungkin cuma hasil peristiwa yang bersifat kebetulan. Sebagai contoh, jika kita menemukan sebuah pensil dan buku di suatu kamar, hal itu bisa saja tidak saling berkaitan. Siapa tahu ada dua orang yang berbeda yang menaruh di sana tanpa keterkaitan. Situasinya akan berbeda apabila kita menemukan 10 buku dalam keadaan rapi di rak dengan beberaa pensil yang berada di sebuah kaleng di sebelah buku itu.
Kerumitan dan keteraturan ini terlihat di alam semesta dan tubuh kita. Semua anggota tata surya bergerak dengan pola yang teratur. Dibutuhkan kesesuaian dengan hukum alam yang begitu kompleks untuk memiliki alam semesta seperti sekarang ini. Begitu pula dengan tubuh kita. Perkembangan ilmu biomolekuler menunjukkan bahwa DNA manusia jauh lebih kompleks daripada yang dipikirkan oleh banyak orang. Bukan hanya ada struktur yang jelas dan rumit, tetapi juga mengandung semacam informasi di dalamnya.
Hal kedua yang menyiratkan tujuan hidup adalah pencarian nilai hidup. Semua orang ingin hidupnya bermakna. Nah, makna ini dipengaruhi oleh tujuan yang diyakini oleh orang tersebut. Segala sesuatu yang dianggap tidak selaras atau mendukung pencapaian tujuan tersebut akan dianggap kurang bernilai. Begitu pula dengan sebaliknya. Hal-hal yang berhubungan dengan tujuan itu dipandang bernilai.
Tanpa kesadaran tentang tujuan hidup, seseorang akan merasa hidupnya kurang bernilai. Apalah artinya seorang manusia di antara miliaran yang pernah ada di bumi? Apalah artinya seorang manusia di tengah-tengah alam semesta yang sedemikian besar?
Pada akhirnya, kita mengetahui bahwa hidup mempunyai tujuan karena Alkitab mengajarkan demikian. Misalnya, manusia diciptakan untuk memuliakan Allah (Yes. 43:7). Segala sesuatu adalah dari, oleh, dan untuk Dia (Rm. 11:36).
Apakah tujuan hidup manusia?
Hampir semua orang memikirkan kebahagiaan sebagai tujuan hidup. Manusia ada untuk menikmati kebahagiaan. Begitu kira-kira, pemikiran mereka.
Alkitab maupun theologi Kristen yang benar tidak menampik hal ini. Allah menciptakan dunia yang sedemikian baik untuk didiami oleh manusia (Kej. 1:31). Semua yang baik di dalamnya disediakan untuk dinikmati oleh manusia (1Tim. 4:4). Katekismus Westminster juga mengajarkan: “Tujuan tertinggi hidup manusia adalah untuk memuliakan Allah dan menikmati Dia selama-lamanya”. Ada kenikmatan yang disinggung di sana. Tujuan hidup memang berkaitan dengan kebahagiaan.
Persoalannya, manusia seringkali tidak memahami kebahagiaan. Mereka juga tidak mengetahui bagaimana mencari kebahagiaan. Atau, benarkah kebahagiaan perlu dicari? Mungkinkah kebahagiaan merupakan konsekuensi (hasil) dari mencari yang lain?
Realita hidup mengungkapkan bahwa hal-hal yang non-material membawa kepuasan yang lebih daripada hal-hal yang material. Beragam survei menunjukkan bahwa manusia mendapatkan kepuasan yang lebih pada saat mereka membagi apa yang mereka miliki dengan orang lain daripada menggunakannya untuk diri sendiri. Menghamburkan uang untuk diri sendiri hanya membawa kesenangan. Membaginya dengan orang lain mendatangkan kepuasan.
Banyak orang juga menyetujui bahwa kebahagiaan tidak ditentukan oleh seberapa banyak yang dimiliki oleh seseorang, tetapi seberapa banyak orang itu bisa mengapresiasi apa yang dia miliki. Ada orang kaya yang tidak berbahagia karena selalu merasa kurang. Sebaliknya, ada orang yang hidup sederhana namun bahagia.
Kenyataan juga mengajarkan bahwa orang rela menguras harta mereka demi sesuatu yang non-material. Sebagai contoh, semua orang yang berpikiran jernih pasti akan sependapat bahwa uang pada dirinya sendiri tidak membawa kebahagiaan. Uang hanyalah sarana untuk mendapatkan hal-hal lain yang dianggap memberi kebahagiaan. Dengan uang yang melimpah, seseorang bisa membeli barang-barang yang berharga, sehingga dia mendapatkan pengakuan atau penghargaan dari orang lain. Orang mau kehilangan begitu banyak uang untuk operasi plastik dan perbaikan penampilan, demi mendapatkan pujian dari orang lain. Semua ini menunjukkan bahwa hal-hal non-material membawa kepuasaan dan kebahagiaan yang lebih mendalam daripada materi.
Mereka yang mengagungkan kekayaan seolah-olah harta adalah segala-galanya pasti sedang menipu diri sendiri. Uang tidak mempunyai nilai kebahagiaan yang intrinsik (pada dirinya sendiri). Orang menggunakan uang untuk memperoleh yang lain, yang dipandang lebih berharga daripada harta.
Lebih jauh, di antara semua hal yang non-material, kita menemukan bahwa hal-hal yang bermoral adalah lebih bernilai daripada yang lain. Kita mengeluarkan uang untuk berlibur dan menikmati keindahan alam. Yang kita peroleh dari aktivitas ini juga non-material, yaitu pengalaman, kenyamanan, dan ketakjuban. Orang lain juga mungkin akan mengagumi foto-foto liburan kita. Namun, harus diakui, orang lain akan lebih mengapresiasi apabila kita menggunakan uang kita untuk sesuatu yang mengandung bobot moralitas, misalnya proyek misi atau kemanusiaan di pedesaan atau tempat terpencil. Orang yang membantu membersihkan sampah-sampah di tepi pantai pasti akan terlihat lebih luhur daripada mereka yang hanya bisa berfoto di pantai. Sama-sama mendapatkan hal yang non-material, tetapi yang berkaitan dengan moralitas akan jauh lebih berharga.
Kita masih bisa menelusuri lebih lanjut. Manusia bukan hanya lebih menghargai hal-hal yang non-material atau yang bermoral daripada yang material. Kita pun menghargai hal-hal yang personal. Walaupun sama-sama bermoral, tetapi lebih personal biasanya lebih dikagumi. Sebagai contoh, mengadakan reboisasi dan menolong panti asuhan. Keduanya sama-sama bermoral. Sama-sama untuk kepentingan manusia. Bagaimanapun, menolong panti asuhan terlihat lebih mulia, karena langsung berhubungan dengan manusia. Ada nilai personal yang lebih langsung dan mendalam.
Keutamaan hal-hal yang personal juga terlihat pada saat manusia berada di penghujung hidupnya. Orang tidak lagi memusingkan hal-hal yang material. Bahkan pencapaian-pencapaian moral pun seringkali dianggap kurang begitu penting. Yang diutamakan adalah relasi. Keluarga. Orang-orang yang dia kasihi.
Semua penjelasan di atas – keutamaan hal-hal yang non-material, bermoral, dan personal – seyogyanya menuntun kita untuk memahami tujuan hidup yang sesungguhnya. Apa yang sering ditawarkan oleh dunia sebagai tujuan hidup atau kebahagiaan hidup ternyata tidak esensial, apalagi fundamental. Semua hanya di permukaan belaka (superfisial). Tidak heran, semakin besar upaya mereka untuk memperoleh kebahagiaan, semakin besar kekecewaan mereka.
Allah memang menyediakan kebahagiaan bagi manusia. Namun, jalan menuju ke sana sangat berbeda degan yang diberikan oleh dunia. Kebahagiaan bukan motivasi atau destinasi, konsekuensi. Konsekuensi dari memuliakan Tuhan. Itulah yang diajarkan di dalam Katekismus Westminster pertanyaan dan jawaban ke-1. Tatkala manusia berhasil mencapai tujuan hidupnya – yaitu memuliakan Penciptanya – manusia akan mendapatkan kenikmatan. Nilai hidup. Arti hidup. Tujuan hidup. Inilah pencapaian yang sesungguhnya. Inilah jalan menuju kebahagiaan versi Alkitab. Soli Deo Gloria.