Ayat ini merupakan salah satu teks favorit bagi banyak orang Kristen, terutama bagi mereka yang berasal dari kalangan tertentu yang menganut gerakan iman (faith movement). Siapa saja yang mencari pasti mendapat, siapa saja yang mengetuk pasti akan dibukakan pintu, siapa saja yang mencari pasti akan menemukan. Ayat yang begitu menghibur dan menguatkan!
Berdasarkan teks ini sebagian orang meyakini bahwa apa saja yang kita minta di dalam doa pasti akan dikabulkan. Yang penting kita memintanya dengan penuh iman. Jika kita memiliki iman, Allah tidak memiliki pilihan. Begitu kira-kira pemahaman mereka terhadap ayat ini.
Benarkah Tuhan Yesus memaksudkan ayat ini seperti itu? Uraian berikut ini akan menunjukkan bahwa pandangan populer di atas adalah salah. Pandangan ini hanya didasarkan pada pengutipan ayat yang sembrono tanpa memperhitungkan konteks yang ada. Sama seperti kita tidak boleh asal kutip perkatan orang lain tanpa mengerti konteks pembicaraannya, demikian pula pada saat membaca Alkitab kita harus menghargai konteks pembicaraan yang ada.
Jika kita mencermati konteks Matius 7:7-11 kita akan mengetahui bahwa apa yang diminta, diketuk, dan dicari tidak mencakup segala sesuatu. Apa yang diberikan adalah apa yang menjadi kebutuhan (ayat 9-10) dan apa yang baik (ayat 11). Marilah kita menguraikan masing-masing poin secara lebih mendetil.
Apa yang menjadi kebutuhan. Di ayat 9-10 Tuhan Yesus menggunakan sebuah ilustrasi tentang seorang anak yang meminta roti dan ikan kepada ayahnya. Dalam budaya Yahudi, roti dan ikan merupakan bagian dari kebutuhan pokok sehari-hari. Mereka setiap hari memakan roti dengan ikan sebagai lauk-pauk utama. Apa yang diminta tergolong kebutuhan, bukan keinginan.
Alkitab secara konsisten memang mengajarkan bahwa Allah akan memenuhi segala kebutuhan kita. Paulus berkata kepada jemaat Filipi: “Allahku akan memenuhi segala keperluanmu menurut kekayaan dan kemuliaan-Nya dalam Kristus Yesus” (Flp 4:19). Di tempat lain kita dinasihati untuk tidak kuatir tentang makanan, minuman, maupun pakaian, karena Bapa di surga tahu bahwa kita memerlukan semuanya itu (Mat 6:32). Orang-orang yang benar tidak akan kekurangan roti (Mzm 37:25).
Dalam dunia yang dikuasai oleh materialisme dan konsumerisme ini banyak orang Kristen mengalami kesulitan untuk membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Apa saja yang mereka inginkan dianggap sebagai kebutuhan. Seni untuk mencukupkan diri dalam segala keadaan (Flp 4:11-12) tampaknya semakin ditinggalkan oleh banyak orang.
Apa yang baik. Di ayat 11 kata “baik” muncul dua kali. Jikalau ayah duniawi yang jahat saja pasti memberi yang baik untuk anak-anaknya, apalagi Bapa surgawi. Ia pasti memberikan yang baik kepada anak-anak-Nya yang meminta kepada-Nya. Jika Bapa di surga memandang bahwa sesuatu tidak baik untuk anak-anak-Nya, Ia pasti tidak akan memberikan hal itu kepada mereka. Tidak mungkin seorang Bapa yang baik memberikan sesuatu yang merusak anak-anak-Nya.
Allah bukan hanya memberi yang baik. Ia memang hanya bisa memberikan yang baik saja. Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna datangnya hanya dari Allah (Yak 1:17). Sulit membayangkan bahwa Allah yang baik akan mengabulkan permohonan doa yang tidak baik.
Di samping konteks Matius 7:7-11, bagian-bagian lain dalam Alkitab juga mengajarkan bahwa tidak semua yang kita minta pasti akan dikabulkan. Ada dua contoh yang paling kentara dan sulit dibantah, yaitu Tuhan Yesus dan Paulus.
Menjelang penangkapan-Nya, Tuhan Yesus berdoa di Taman Getsemani. Doa-Nya yang khusuk dimulai dengan kalimat: “Ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu” (Mrk 14:36a). Ini jelas merupakan sebuah ungkapan iman. Sesudah itu, Ia memohon agar cawan (penderitaan di kayu salib) dilalukan oleh Bapa (Mrk 14:36b). Tidak seperti para pengajar teologi kemakmuran dan gerakan iman yang menganggap penyerahan diri kepada kehendak Allah sebagai musuh dari iman, Tuhan Yesus mengakhiri permohonan-Nya dengan kalimat: “tetapi janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki” (Mrk 14:36c). Dalam kenyataannya, permohonan Tuhan Yesus tidak dikabulkan.
Paulus juga pernah meminta agar duri dalam dagingnya diambil oleh Tuhan (2 Kor 12:7-10). Berkali-kali ia berdoa untuk hal ini. Tuhan ternyata tidak mengabulkan permintaannya. Ada sesuatu yang lebih baik yang disediakan oleh Allah. Melalui duri dalam daging (terlepas dari apapun penafsiran seseorang terhadap ungkapan ini) Allah ingin menjaga Paulus dari kesombongan (ayat 7). Ia juga ingin mengajarkan Paulus untuk mengalami kecukupan anugerah dan kesempurnaan kuasa ilahi melalui berbagai penderitaan, kesusahan, dan kelemahan (ayat 9-10).
Dua contoh di atas sudah cukup jelas menunjukkan bahwa tidak semua yang kita minta pasti akan diberikan. Allah memiliki pertimbangan-pertimbangan yang lain pada saat merespons doa-doa kita. Ia hanya memberikan apa yang kita perlukan dan apa yang baik bagi kita. Tentu saja, apa yang baik di mata Allah belum tentu baik di mata kita. Di sinilah diperlukan penyerahan diri yang total kepada Allah. Soli Deo Gloria.