-masih-berlaku.jpg)
Beberapa pasangan suami-isteri tidak mau memakai alat kontrasepsi dengan alasan hal itu bertentangan dengan perintah Allah kepada manusia untuk berkembang biak dan memenuhi bumi. Mereka membiarkan kehamilan dan menganggap itu sebagai berkat Tuhan, walaupun dari sisi keuangan dan waktu mereka tampaknya kurang mampu membesarkan anak-anak mereka dengan baik. Lebih jauh, bukankah dunia ini sudah sedemikian padat penduduk? Apakah perintah ilahi di Kejadian 1:28 masih berlaku?
Untuk menjawab persoalan ini ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan. Yang pertama adalah konsep yang benar tentang kekekalan perintah Allah. Alkitab berkali-kali memang menegaskan bahwa perintah itu berlaku secara kekal. Bumi bisa berlalu, namun firman Allah akan tetap ada (Mat 5:18; 24:35). Walaupun demikian, kita tidak boleh menafsirkan ayat ini secara sembarangan. Sesaat setelah Tuhan Yesus menegaskan bahwa Hukum Taurat tidak dapat diubah sedikit pun, Ia justru memberikan perintah-perintah yang sekilas “bertentangan” dengan Taurat (Mat 5:21-48). Jika dicermati perintah-perintah itu ternyata bukan hanya tidak bertentangan tetapi menegaskan inti dari perintah yang lama. Sebagai contoh: larangan untuk berzinah (yang biasanya dipahami terbatas pada persetubuhan) diperjelas dengan perzinahan batin. Di luar Matius 5 kita juga masih memiliki banyak contoh bagaimana suatu perintah di Perjanjian Lama ternyata sudah tidak mengikat lagi di masa Perjanjian Baru. Yang paling jelas adalah perintah untuk memberikan kurban tebusan dosa yang akhirnya digenapi secara sempurna oleh Tuhan Yesus sehingga kita tidak perlu lagi mempersembahkan kurban.
Faktor lain yang berkaitan dengan di atas adalah pemahaman yang benar tentang inti dari suatu perintah. Dalam hal ini pertimbangan konteks merupakan hal yang tidak dapat ditawar. Tanpa memperhatikan konteks mengapa suatu perintah diberikan kita akan terjebak pada “metoda asal kutip” yang dalam taraf tertentu sangat tidak masuk akal dan berbahaya. Sebagai contoh, apakah perintah Allah kepada Hosea untuk mengawini seorang perempuan sundal (Hos 1:2) dapat diterapkan secara sembarangan pada semua laki-laki Kristen? Tentu saja tidak. Demikian pula dengan perintah Allah di Kejadian 1:28.
Teks ini tidak membicarakan “perkembangbiakan manusia” sebagai sebuah perintah yang tunggal dan terpisah dari konteksnya. “Berkembang biak” diikuti oleh “bertambah banyak”, “memenuhi bumi”, “menaklukkan” dan “menguasai” bumi. Jika dikaitkan dengan tujuan Allah menciptakan manusia di ayat 26, yaitu untuk menguasai bumi, kita dapat menyimpulkan bahwa perkembangbiakan manusia hanyalah sebuah sarana untuk memenuhi tujuan hidup manusia. Inti dari perintah ini terletak pada penguasaan bumi oleh manusia sebagai gambar Allah. Pada jaman Adam dan setelah air bah di jaman Nuh hampir semua bagian bumi belum dipenuhi, karena itu perintah di Kejadian 1:28 berlaku “dari awal sampai akhir” (dari beranak-cucu sampai menguasai bumi, bdk. Kej 9:1-8). Mengingat sekarang bumi sudah dipenuhi manusia, maka yang masih berlaku hanyalah bagian terakhir. Kita harus terlibat dalam upaya menjadikan bumi menjadi tempat yang lebih nyaman untuk didiami, baik dari secara jasmani (kelestarian alam) maupun mental (moralitas hidup yang baik). Pemberitaan Injil juga harus menjadi aspek yang tidak terlupakan, karena amanat budaya (Kej 1:26, 28) tidak mungkin dipenuhi secara ideal tanpa amanat agung (Mat 28:19-20).
Apakah penjelasan di atas berarti bahwa suami-isteri yang sudah menikah berhak untuk memutuskan untuk tidak memiliki anak dengan alasan tertentu? Persoalan ini akan dikupas dalam edisi warta minggu depan. Tuhan memberkati.