Apakah Ketertarikan Secara Fisik Sehat Dalam Sebuah Relasi?

Posted on 20/08/2017 | In QnA | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/images/article/Apakah-Ketertarikan-Secara-Fisik-Sehat-Dalam-Sebuah-Relasi.jpg Apakah Ketertarikan Secara Fisik Sehat Dalam Sebuah Relasi?

Sewaktu saya masih menjadi mahasiswa theologi strata satu (S-1), saya dan teman-teman pria sempat mendiskusikan sebuah  pertanyaan yang mungkin terdengar konyol, tetapi menarik. Bagi sebagian orang, pertanyaan ini bahkan sangat relevan. Kami semua diberi dua opsi dalam hal pemilihan jodoh: perempuan yang sangat rohani tetapi berwajah jelek dan penampilan fisik tidak menarik atau perempuan yang sangat cantik dan seksi tetapi tidak rohani. Hampir semua menjatuhkan pilihan pada perempuan yang kedua. Alasannya? Tidak rohani bisa diubah melalui KKR, Bible Study, dan ibadah. Wajah jelek bersifat mutlak dan permanen.

Tentu saja jawaban di atas bersifat tidak serius. Ada banyak kekeliruan di dalamnya. Cara berpikirnya pun sangat konyol.

Walaupun demikian, pertanyaan seputar wajah dan tubuh seseorang dalam kaitan dengan pacaran atau pernikahan tetap menjadi isu yang pantas dipikirkan secara matang. Benarkah pertimbangan secara fisik sama sekali tidak penting? Sejauh mana hal itu layak untuk dipikirkan? Bagaimana pandangan Alkitab tentang hal tersebut?

Sebelum memberikan tanggapan secara khusus terhadap persoalan ini, saya ingin menegaskan bahwa Alkitab tidak pernah mengecam keindahan dan kecantikan/kegantengan.Beberapa isteri dari para patriakh tergolong cantik, misalnya Sara (Kej 12:11, 14), Ribka (Kej 24:16), dan Rahel (Kej 29:17). Salomo bahkan memuji-muji isterinya, dan ungkapan ini dipergunakan untuk menggambarkankemesraan Allah dengan umat-Nya (Kid 1:15; 4:1, 7).

Poin ini selaras dengan ajaran Alkitab tentang tubuh. Berbeda dengan para filsuf Yunani yang menganggap remeh tubuh, para rasul menempatkan tubuh pada posisi yang cukup tinggi. Kristus Yesus menebus tubuh kita (1 Kor 6:19-20). Persembahan yang berkenan kepada Allah adalah tubuh kita (Rm 12:1). Yang perlu dipelihara sampai kedatangan Tuhan Yesus bukan hanya roh atau jiwa, melainkan tubuh (1 Tes 5:23). Jadi, konsep apapun yang merendahkan tubuh manusia adalah keliru.

Apakah keterangan secara umum di atas dapat menjadi pembenaran untuk melihat penampilan fisik seseorang sebagai salah satu pertimbangan dalam pacaran atau pernikahan?

Pertama-tama kita perlu mengetahui bahwa Alkitab menitikberatkan pada kecantikan di dalam (inner beauty) daripada kecantikan di luar. Karakter lebih dipertimbangkan daripada penampilan. Rasul Petrus melarang para perempuan untuk berdandan seperti dunia. Sebaliknya, mereka dinasihat untuk menunjukkan “perhiasan yang tidak binasa yang berasal dari roh yang lemah lembut dan tenteram, yang sangat berharga di mata Allah” (1 Pet 5:3-4). Amsal 31:30 mengajarkan: “Kemolekan adalah bohong dan kecantikan adalah sia-sia, tetapi isteri yang takut akan TUHAN dipuji-puji”.

Mereka yang sudah menikah, apalagi yang pernikahan sudah berusia beberapa dekade, dengan cepat akan mengamini kebenaran di atas. Ketertarikan secara fisik biasanya hanya terlihat dominan selama masa berpacaran. Ada kebanggaan jika memiliki pasangan yang berparas baik atau bertubuh seksi. Begitu memasuki pernikahan, banyak orang akan sadar bahwa penampilan fisik bukanlah segala-galanya. Apalah artinya hidup serumah dengan perempuan cantik yang cerewet dan pemarah? Apalah artinya hidup bersama dengan seorang pria ganteng yang sangat egois dan kasar?

Hal lain yang perlu diketahui adalah kesementaraan keindahan wajah dan fisik. Siapapun pasti sadar bahwa keistimewaan fisik tidak akan ada untuk selamanya. Tidak ada seorang pun yang mampu melawan kodrat. Semua pasti keriput. Sebagian besar bertambah gendut. Kekuatan tubuh pun semakin merosot. Jika cinta dan gairah diletakkan pada ketertarikan secara fisik, apa yang akan terjadi sesudah 30-40 tahun pernikahan? Bagaimana nasib kemesraan jika salah satu pasangan tidak lagi mampu menjaga tubuh dan penampilannya?

Tekanan di atas tentu saja sangat membebani, jika cinta hanya didirikan di atas ketertarikan secara fisik. Bahkan bagi mereka yang mampu menjaga penampilan fisiknya sedemikian rupa, tekanan itu dalam dirinya tetap besar. Ada tekanan untuk memaksa diri terlihat cantik dan menarik supaya tetap disayangi oleh suami. Apapun dia lakukan dan korbankan demi hal tersebut. Dia tidak ingin cinta suaminya berkurang sedikit pun.

Tekanan lain berkaitan dengan kecemburuan. Jika seorang suami mendasarkan cinta lebih pada pertimbangan fisik, isterinya mudah dilanda cemburu. Begitu pula dengan isteri yang membangun cintanya di atas pondasi ketertarikan secara fisik. Tiap kali pasangannya dekat dengan lawan jenis yang lebih menarik, dia akan merasa tidak aman dan cemburu.

Situasi akan jauh berbeda apabila cinta keduanya lebih dilandaskan pada karakter yang baik dan integritas diri. Masing-masing bisa merasa aman. Masing-masing bisa percaya bahwa pasangannya akan menghormati janji pernikahan dan kekudusan perkawinan.

Jika dipikirkan secara lebih mendalam, mereka yang beranggapan bahwa penampilan fisik yang baik akan mencegah pasangannya berselingkuh sebenarnya sedang menipu diri mereka sendiri. Banyak orang selingkuh bukan dengan orang yang secara fisik lebih baik daripada pasangannya sendiri. Perselingkuhan atas dasar pertimbangan fisik memang ada, namun itu bukan satu-satunya cerita. Penampilan fisik yang sempurna tidak selalu menghasilkan pasangan yang setia. Pendeknya, perselingkuhan lebih merupakan persoalan moral daripada penampilan.

Faktor lain yang perlu digarisbawahi dalam kaitan dengan cinta yang didasarkan pada ketertarikan secara fisik adalah kesepadanan fisik. Maksudnya, mereka yang terlalu menyandarkan diri dan cinta pada penampilan sebaiknya memiliki kualitas penampilan yang tidak jauh berbeda dengan pasangannya. Jika tidak demikian, kecemburuan akan menjadi bahaya besar dalam pernikahan.

Poin ini kadangkala dilupakan oleh anak-anak muda. Seseorang merasa bangga apabila mendapatkan pacar yang secara fisik jauh lebih baik daripada dia. Dia merasa sebagai orang yang paling beruntung. Tidak jarang dia memamerkan pacarnya kepada teman-temannya. Pasangannya pun terlihat tidak terlalu memusingkan masalah fisik. Yang penting senang. Yang penting cocok waktu mengobrol.

Hal ini dapat menjadi bom waktu apabila ketertarikan tersebut tidak ditambah dengan faktor-faktor lain yang sifatnya lebih menetap (kepribadian, kepandaian, kemandirian, dsb). Keberhasilan hidup kadangkala mengubah tuntutan seseorang secara fisik. Tanyakan saja kepada mereka yang sudah menjadi kaya raya. Tingkat pergaulan mulai berubah. Tekanan dalam hal penampilan semakin besar. Bagi yang tidak siap dan tahan dengan perubahan dan tekanan ini, dia pasti akan terpengaruh. Faktor fisik yang dahulu tidak menjadi pertimbangan utama, sekarang mulai menjadi sorotan. Kesederhanaan pasangan yang dahulu menjadi daya tarik, sekarang justru dianggap sebagai sebuah masalah yang harus diselesaikan. Pasangan dituntut untuk menaikkan mutu penampilan. Sayangnya, tidak semua orang dapat memenuhi tuntutan itu. Beberapa keterbatasan fisik tidak dapat diubah, bahkan dengan teknologi sebagus apapun.

Bagi pasangan yang tidak memiliki kesepadanan secara fisik, mereka perlu memastikan bahwa fisik benar-benar bukanlah pertimbangan sama sekali dalam hubungan mereka. Lebih penting daripada itu, mereka perlu menambahkan poin ketertarikan lain yang lebih permanen. Ketertarikan yang akan selalu dipandang lebih berharga daripada penampilan. Soli Deo Gloria.

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community